Walhi Aceh Sebut Degradasi Ekologis Jadi Biang Kerok Banjir di Aceh Tenggara

Walhi Aceh menilai bencana banjir yang melanda sejumlah kecamatan dan menyebabkan warga mengungsi akibat tutupan hutan yang kian menyusut.

oleh Rino Abonita diperbarui 26 Agu 2023, 01:00 WIB
Diterbitkan 26 Agu 2023, 01:00 WIB
Banjir di Aceh Tenggara (dok. BPBA)
Banjir di Aceh Tenggara (dok. BPBA)

Liputan6.com, Aceh - Otoritas di Aceh baru-baru ini melaporkan terjadinya bencana banjir yang terpusat di Aceh Tenggara yang melanda sepuluh kecamatan di kabupaten itu. Lembaga lingkungan melihat ini sebagai akibat dari terjadinya degradasi ekologis.

Banjir di Aceh Tenggara sendiri menyebabkan sejumlah prasarana dan sarana rusak. Ekspose otoritas terkait menyebutkan jumlah korban terdampak sebanyak 8.101 jiwa, yang 326 jiwa di antaranya dinyatakan mengungsi.

Menurut Direktur Walhi Aceh, Ahmad Salihin, banjir di Aceh Tenggara merupakan tanda masifnya kerusakan tutupan hutan atau deforestasi. Ini ditengarai akibat adanya penebangan liar, munculnya perkebunan kelapansawit, hingga pembukaan jalan baru dari Jambur Latong, Kutacane, sampai perbatasan Sumatera Utara.

Catatan lembaga lingkungan itu mengungkap bahwa pembangunan jalan tembus sepanjang 18,52 kilometer tersebut, selain melintasi hutan lindung sepanjang 7,75 kilometer, juga akan membuka akses masuk ke dalam kawasan hutan tersebut. 

Dari sinilah kejahatan lingkungan seperti penebangan liar, perburuan satwa, perambahan areal kawasan hutan hingga konflik satwa akibat habitat dan koridor terganggu dimulai. Ironisnya lagi, dari luas wilayah Aceh Tenggara 92 persennya dinyatakan masuk ke dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

"Padahal KEL merupakan salah satu hamparan hutan hujan tropika terkaya di Asia Tenggara, serta lokasi terakhir di dunia yang ditempati gajah sumatra, badak sumatra, harimau sumatra, dan orang utan sumatra dalam satu area," terang Salihin, dalam rilis kepada Liputan6.com, Rabu (24/8/2023).

Menurut Salihin, kerusakan tutupan hutan di Aceh Tenggara rata-rata terjadi di dalam Hutan Lindung (HL) dan Taman Nasional (TN). Inilah yang kemudian dapat memicu terjadinya banjir apabila hujan turun dengan intensitas tinggi,

"Karena daya tampung semakin berkurang karena hutan sudah gundul," tegas Salihin.

Data Walhi Aceh menyebut bahwa Hutan Lindung di Aceh Tenggara berdasarkan SK 580 sebelumnya memiliki luas 79.267 hektare, tetapi kini hanya tersisa 68.218 hektare. Pada 2022, kawasan ini mengalami kehilangan tutupan hutan seluas 11.049 hektare, atau hampir dua kali lipat luas Kota Banda Aceh.

Luas Taman Nasional (TN) di Aceh Tenggara juga mengalami penyusutan dari 278.205 hektare menjadi 257.610 hektare. Kawasan ini dinyatakan kehilangan 20.595 hektare pada 2022, yang angkanya setara empat kali luas Kota Banda Aceh.

“Kondisi hutan di Aceh Tenggara terus menyusut setiap tahunnya sejak 2014 lalu,” ungkap Salihin.

Revisi Qanun RTRW

Kawasan hutan di Jambur Latong (sumber foto WALHI Aceh, diambil pada 1 Maret 2023)
Kawasan hutan di Jambur Latong (sumber foto WALHI Aceh, diambil pada 1 Maret 2023)

Walhi Aceh mendesak Pemerintah Aceh agar memproteksi kerusakan hutan di Aceh Tenggara yang terus terjadi setiap tahunnya yang ditengarai sebagai penyebab mengapa daerah itu menjadi langganan banjir tahunan. 

Catatan juga diberikan terhadap program pembangunan jalan baru yang ditarik dari Jambur Latong, Kutacane, sampai perbatasan Sumatera Utara. Ketimbang membuka jalan baru, pemerintah diminta oleh Walhi Aceh untuk memaksimalkan jalan yang sudah ada agar mudah diakses.

Sebagai salah satu kawasan hutan yang masuk ke dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), hutan lindung Serbo Langit, yang akan dilintasi oleh proyek pembangunan jalan tembus, itu memiliki vegetasi yang relatif masih baik dan merupakan habitat kunci orangutan dan kambing hutan. Masyarakat dari tiga kecamatan, yakni Deleng Pokhkison, Lawe Bulan, dan Lawe Sumur, juga menggantungkan sumber air mereka dari sana.

Hutan lindung Serbo Langit sendiri menjadi salah satu hutan di mana perambahan liar dan illegal logging banyak terjadi dalam rentang waktu 2019-2020 yang menjadi penyebab banjir bandang sehingga sejumlah infrastruktur rusak parah. Termasuk merusak lahan pertanian warga di tiga kecamatan.

Selain itu, menurut Direktur Walhi Aceh, Ahmad Solihin, dari sejumlah kecamatan yang dilanda banjir di Aceh Tenggara, lima di antaranya berada di dalam Wilayah Sungai Strategis Nasional Alas-Singkil yang meliputi DAS Singkil seluas 327.829,24 hektare.

Ironisnya, di dalam Qanun RTRW Aceh Tenggara, Nomor 1 tahun 2013 tahun 2013-2033, yang saat ini dalam proses revisi, lima kecamatan tersebut tidak masuk ke dalam sistem pengendali banjir dan sistem pengamanan sungai. Dari sini Solihin menilai bahwa Aceh Tenggara memiliki masalah dalam konteks pengaturan ruang.

“Sudah saatnya Aceh Tenggara memasukkan mitigasi bencana banjir dalam merevisi qanun RTRW kabupaten sebagai salah satu solusi untuk menanggulangi bencana banjir dalam jangka panjang,” tegas Solihin.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya