Liputan6.com, Aceh - Enam bulan yang lalu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mengirim tim ke Desa Negeri Antara, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, untuk menangani konflik gajah versus manusia di sana. Tim itu membawa tiga ekor gajah jinak untuk membantu upaya penggiringan.
Sekawanan gajah liar yang suka melintas di kawasan permukiman dilaporkan telah mengakibatkan sejumlah bangunan kayu rusak, kebun warga porak-poranda, bahkan menyebabkan korban jiwa. Situasi ini ikut berdampak pada sektor ekonomi masyarakat.
Advertisement
Baca Juga
Mayoritas masyarakat yang sebelumnya bercocok tanam kini tidak berani pergi ke kebun karena takut akan berpapasan dengan mamalia berbelalai. Jumlah petani di Negeri Antara pun semakin menipis karena banyak yang beralih jadi buruh di perusahaan di kabupaten tetangga.
"Dulunya, warga setempat 90 persennya merupakan petani. Namun, kini petani di desa itu tinggal 10 persen lagi, itupun dengan cara membuka kebun di pekarangan rumah," kata Kepala Desa Negeri Antara, Riskanadi, dalam konferensi pers di kantor Walhi Aceh, Kamis (30/11/2023).
Upaya menemukan kawanan gajah liar yang berlangsung selama hampir satu pekan (23-28 Mei 2023) oleh tim BKSDA Aceh ternyata tidak membuahkan hasil. Menurut Riskanadi, saat itu tim BKSDA memutuskan menghentikan pencarian dengan alasan masa berlaku surat penugasan telah habis.
Merasa tim kiriman BKSDA Aceh lari dari tanggung jawab, warga pun menahan truk berisi gajah jinak yang dibawa tim BKSDA Aceh. Beberapa bulan berlalu hingga rumput liar tumbuh di atas truk tersebut, tim penanganan konflik satwa versus manusia tak kunjung kembali.
"Masalahnya di desa saya ini belum pernah sekalipun keluar gajah liar tersebut, sampai detik ini," kata Riskanadi.
Konflik gajah versus manusia di dataran tinggi Gayo (Bener Meriah dan Aceh Tengah) sendiri kian karut-marut dan tak kunjung selesai. Interaksi negatif antara gajah dengan manusia di sana telah mencapai belasan tahun lamanya.
Beberapa kepala desa mengungkap sejumlah masalah yang terjadi akibat konflik gajah versus manusia dalam konferensi yang berlangsung di Walhi Aceh, Kamis (30/11/2023).
Kepala Desa Musara 58, Farid Wazdi, mengeklaim bahwa konflik gajah versus manusia berdampak pada 15 desa di Kecamatan Pinto Rime Gayo dan 20 lagi desa di Aceh Tengah.
Kondisi ini ikut menganggu keberlangsungan pendidikan anak-anak desa setempat. Banyak anak-anak yang enggan pergi ke sekolah karena riskan, sebab gajah kerap melintas di jalur yang mereka lewati.Â
"Karena jarak rumah ke sekolah itu ada yang dua kilometer berjalan kaki. Kalaupun diantar sama orang tuanya, orang tuanya juga takut kalau kita naik motor, gajah menyeberang," kata Farid Wazdi.
Menurut Kepala Desa Negeri Antara, Riskanadi, pernah suatu hari anak-anak batal masuk sekolah karena pekarangan rumah sekolah tiba-tiba dimasuki oleh gajah liar.Â
Sebelumnya, Riskanadi, mengatakan bahwa sebagian besar warga di desa berhenti berkebun dan memilih bekerja sebagai buruh di perusahaan karena .Â
Namun, pekerjaan sebagai buruh harian lepas di perusahaan dengan upah rendah juga berdampak pada ketaksanggupan para orang tua untuk membiayai anak-anak mereka sekolahÂ
Riskanadi mengatakan bahwa desanya bukan merupakan lintasan gajah liar sehingga tidak mungkin mereka terlibat konflik dengan gajah karena alasan koridor satwa lindung itu terganggu.Â
"Desa saya ini bukan lintasan gajah, bukan rute gajah, gajah tersebut masuk ke desa saya, dan enggak keluar-keluar. Walaupun keluar, sebentar habis itu masuk lagi," tutur Riskanadi.
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Ekspansi Konsesi Sawit Gerus Lumbung Satwa
Ketua Relawan Tim Penanganan Flora dan Fauna (TPFF), Muslim, yang selama ini ikut melakukan penggiringan gajah liar ke luar permukiman warga, mengatakan keberadaan konsesi sebuah perkebunan kelapa sawit di kawasan Bireuen diyakini jadi salah satu penyebab konflik gajah versus manusia di Bener Meriah dan Aceh Tengah.
Ribuan hektare lahan perkebunan kelapa sawit menurut Muslim telah mengekspansi wilayah yang selama ini menjadi "lumbung" satwa termasuk gajah. Akibatnya, kawanan gajah liar mulai hijrah dari koridornya dan akibatnya bersinggungan dengan permukiman sehingga memicu terjadinya konflik.
Segendang sepenarian dengan Muslim, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh, Afifuddin mengatakan bahwa kawasan tutupan hutan yang semakin tergerus mengakibatkan ruang satwa semakin sempit.
"Ruang yang semakin sempit itu berpotensi juga gajah pindah ke Bener Meriah ataupun Aceh Tengah," cetus Afifuddin di dalam konferensi pers di kantor Walhi Aceh, Kamis (30/11/2023).Â
Masalah yang muncul ditakutkan akan jauh lebih serius apabila otoritas membiarkannya berlarut-larut. Pasalnya, kawanan gajah liar yang dihalau oleh warga biasanya akan berpindah ke desa tetangga karena terdesak.Â
Ini boleh jadi akan memicu terjadinya konflik horizontal antardesa karena akan muncul sikap saling menyalahkan sebab gajah yang berhasil diusir dari desa asal tetiba merangsek masuk ke desa terdekat. Kondisi saling halau gajah liar ini menurut Muslim sudah berlangsung antara sejumlah desa di Kecamatan Ketol, Aceh Tengah.
"Contohnya sekarang di Kampung Karang Ampar, Bergang, dan Pantan Reduk. Jadi, gajah itu ada satu di tengah-tengah, antar desa ini membuat kekuatan masing-masing," ungkap Ketua Relawan Tim Penanganan Flora dan Fauna (TPFF), Muslim.
Masing-masing desa mempersiapkan diri dengan mercon untuk menghalau gajah yang berupaya melintas. Akibatnya gajah-gajah tersebut akan memilih jalan lain yang akan membawanya ke desa tetangga.
Muslim yang terbakar emosi menuding BKSDA Aceh telah gagal dalam menangani konflik gajah versus manusia di Gayo dan mengatakan bahwa "BKSDA Aceh adalah BKSDA yang paling gagal di Indonesia."
Soal penanganan konflik gajah versus manusia oleh BKSDA Aceh yang dinilai belum maksimal, Walhi Aceh bersama sejumlah kepala desa Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah telah melapor ke Ombudsman RI Perwakilan Aceh.
Menurut Deputi Direktur Walhi Aceh, M. Nasir, BKSDA Aceh menerapkan standar ganda dalam penanganan konflik gajah versus manusia.Â
"Pada saat warga melakukan pengaduan bahwa ada kehadidan gajah di lahan permukiman di lahan perkebunan, maka butuh waktu lebih dua minggu baru mendapat respons dari BKSDA. Sebaliknya, ketika ada gajah mati, maka dalam hitungan 24 jam, tim terpadu dari BKSDA turun ke lapangan," kata M. Nasir dalam konferensi pers di kantor Walhi Aceh, Kamis (30/11/2023).
Selain ke Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Walhi Aceh bersama sejumlah kepala desa juga mendatangi instansi seperti Lembaga Wali Nanggroe, DPR Aceh, termasuk BKSDA Aceh.
Kata Deputi Direktur Walhi Aceh, M. Nasir, Komisi IV DPRA sepakat untuk memasukkan poin pengusulan penetapan wilayah Tahura atau Taman Hutan Raya ke dalam naskah revisi Qanun RTRW yang sedang digenjot sebagai solusi jangka panjang penyelesaian konflik satwa versus manusia mencakup wilayah Bireuen, Bener Meriah, dan Aceh Tengah.
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, menjelaskan bahwa Tahura adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan/atau bukan asli.Â
Sementara itu, selain berkomitmen ikut mendukung penetapan Tahura dengan segera memanggil para kepala daerah untuk membicarakan strategi pengusulan, BKSDA Aceh berjanji akan kembali menurunkan tim ke Desa Negeri Antara untuk menyelesaikan pekerjaan mereka yang dulu sempat terhenti.Â
Kepala BKSDA Aceh, Gunawan Alza tidak kunjung menjawab pertanyaan dari Liputan6.com soal lambannya penanganan konflik gajah versus manusia di Bener Meriah. Awalnya yang bersangkutan menyahuti salam, tetapi kemudian bergeming saat disosor dengan pertanyaan.Â
Advertisement