Lily Soeryadjaya, Perempuan Berani yang Pernah Diculik Tentara dan Pengaruhnya di Balik Sukses Pengusaha William Soeryadjaya

Kabar duka menyelimuti keluarga Soeryadjaya. Lily Soeryadjaya, istri pendiri Astra International William Soeryadjaya meninggal pada usia 97 tahun.

oleh Agustina Melani diperbarui 30 Jun 2021, 09:41 WIB
Diterbitkan 29 Jun 2021, 15:45 WIB
Peluncuran Menara Astra
Istri pendiri PT Astra International Tbk William Soeryadjaya, Lily Soeryadjaya. Istimewa

Liputan6.com, Jakarta - Kabar duka menyelimuti keluarga Soeryadjaya. Lily Soeryadjaya, istri pendiri Astra International William Soeryadjaya tutup usia pada 29 Juni 2021 pukul 01.40 WIB di RS Medistra, Jakarta.

Lily Soeryadjaya meninggal pada usia 97 tahun. Lily menyusul kepergian sang suami William Soeryadjaya yang tutup usia pada April 2010.

Pasangan yang menikah pada Rabu, 15 Januari 1947 ini dikaruniai empat anak yaitu Edward Seky Soeryadjaya, Edwin Soeryadjaya, Joyce Soeryadjaya, dan Judith Soeryadjaya.

Seperti ada pepatah pria yang sukses ada perempuan hebat di belakangnya. Demikian juga dengan Lily. Ia mendampingi William membangun usaha. Sifat Lily yang tak bisa diam dan lincah juga membantu suami dengan berbisnis. Berikut cerita singkat William dan Lily Soeryadjaya ketika awal bertemu hingga menikah seperti dikutip dari buku biografi Man of Honor, Kehidupan, Semangat, dan Kearifan, William Soeryadjaya karya Teguh Sri Pambudi dan Harmanto Edy Djatmiko.

William dan Lily Soeryadjaya mengawali perjalanan pernikahan di Amsterdam, Belanda. Saat itu, William menemani sang adik Kian Tie yang mendapatkan beasiswa sekolah di negeri kincir angin. Mengingat kondisi sang adik yang mudah sakit, William menemaninya. Tidak mudah menjalankan kehidupan di Belanda. Apalagi saat itu, kondisi Belanda sedang kurang baik setelah perang dunia II. 

Mengutip buku biografi Man of Honor, Kehidupan, Semangat dan Kearifan, William Soeryadjaya karya Teguh Sri Pambudi dan Harmanto Edy Djatmiko, perempuan yang mendampingi pendiri Astra International ini dikenal sebagai sosok yang cantik, ramah dan lincah.

Selain itu, Lily dikenal sebagai anak pebisnis yang cukup berhasil di Bandung, Jawa Barat. Orangtua Lily berdagang, dan memiliki toko terbesar yang berada di Jalan Astana Anyar.

Lily bertemu William di kegiatan Palang Merah di Bandung. Kegiatan palang merah yang dikenal Chinese Red Cross tersebut diketuai oleh kakak Lily, Hans Anwar yang populer dipanggil Oom dolar.

William terpikat pada pandangan pertama dengan Lily saat bertemu di Hotel Lok Pin Bandung. Lokasi itu menjadi tempat kegiatan Chinese Red Cross.

"Ketika lihat saya, mata Yong (maksudnya Liong, panggilan sayang Lily kepada William-red) ga kemana-mana. Yong terus liatin saya. Waktu itu saya pakai kelom dan rok biasa,” kenang Lily.

"Tapi saya juga langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Waktu itu umur saya sekitar 18-19 tahun," ia menambahkan.

Meski demikian, kisah cinta mereka harus dipendam dulu. Saat itu, William sudah memiliki pacar. Demikian juga Lily. Ia memiliki hubungan akrab yang dikenal baik oleh William yaitu sang adik Tjia Kian Tie.

William dan Lily Soeryadjaya pun makin sering bertemu karena kegiatan Palang Merah. "Tapi lucu loh waktu itu. Ike(ik/saya) sering diboncengin sama si Yong ketika mau beli telur di pasar, tapi adiknya tidak sirik. Kami semua tetap rukun,” ujar Lily.

Makin Dekat Lewat Kegiatan Palang Merah

Lily Soeryadjaya, istri pendiri Astra International William Soeryadjaya (Foto: Istimewa)
Lily Soeryadjaya, istri pendiri Astra International William Soeryadjaya (Foto: Istimewa)

Peristiwa Bandung Lautan Api pun membuat hubungan William dan Lily semakin dekat. Rakyat dan TRI sepakat membakar sekitar 200.000 rumah mereka untuk mencegah masuknya tentara sekutu dan NICA Belanda yang ingin menggunakan Bandung sebagai basis strategis militernya.

Seperti rumah penduduk kota Bandung lainnya, rumah Lily habis dimakan api. Demikian juga toko yang menjual batik dan terbilang besar.

"Sedih banget. Tapi mau bagaimana lagi?,” kenang Lily, demikian mengutip dari buku biografi Man of Honor, Kehidupan, Semangat, dan Kerarifan, William Soeryadjaya karya Teguh Sri Pambudi dan Harmanto Edy Djatmiko.

Sang kakak Oom dollar memindahkan Lily beserta ibu dan dua saudaranya ke Hotel Lok Pin. "Situasi Bandung betul-betul genting. Jadi kami para anggota Red Cross yang berada di Hotel Lok Pin harus berjaga-jaga. Karena kalau ada apa-apa, mereka larinya ke kami,” ujar dia.

"Kami berjaga-jaga sambil menolong orang-orang yang terluka juga mengurusi mayat-mayat,”

Pada zaman Perang Kemerdekaan suasana mencekam. Ketika William melihat kegiatan regu Palang Merah yang dipimpin Oom dollar. Ia pun menyaksikan bagaimana Lily begitu cekatan melakukan berbagai tindakan kemanusiaan. Ini mulai dari melakukan evakuasi, memberi makan hingga menggotong mayat.

William pun terlibat dalam kegiatan Palang Merah tersebut. Melalui kegiatan itu, Lily mengenang dirinya semakin mengenal sosok William.

"Dia saban hari menginap di Hotel Lok Pin. Dari situlah kami merasa semakin dekat dan merasa cocok,” ujar dia.

Setelah William mendapatkan mobil dan evakuasi keluarganya dari Majalengka ke Bandung, keluarga William tinggal bersama keluarga Lily. “Peristiwa Bandung Lautan Api benar-benar mengerikan. Tapi, dari kejadian itu, kami jadi seperti saudara dan teman satu sama lain. Kalau saya masak, adik-adik Yong ikut membantu,” ujar dia.

Sosok William di Mata Lily

Sosok William di mata Lily adalah pribadi yang hangat dan suka membantu sesama. “Yong dulu Ketua Pramuka, jadi aktifnya bukan main. Dia sama rakyat sangat dijunjung tinggi. Mami saya dan Oom dollar juga ditolong sama dia,” tutur Lily.

Bagi Lily, semua hal menarik dari William.”Saya suka semuanyalah. Dia orangnya sumeh, tidak pernah melihat seseorang dari latar belakangnya seperti pendidikan, kedudukan, kekayaan dan lain-lain. Dia senang bertemu dengan orang. Saban hari kami ke pasar bareng,” kata dia.

Dilamar William

Singkat cerita, tanpa sepengetahuan Lily, William ternyata memberanikan diri menghadap Oom Dollar dan ibunya untuk mengajukan niat melamar Lily.  Sang ibu dan kakak pun menyerahkan keputusan itu kepada Lily.

Saat itu, William mengasumsikan pernyataan ibu dan kakak sebagai lampu kuning. Oleh karena itu, ia pun langsung menindaklanjutinya kepada Lily.

“Kamu mau gak sama ik?Kalau Mami ye (jij/kamu) dan kakak jij sudah begini sama ik,” ujar William, mengutip dari buku biografi Man of Honor, Kehidupan, Semangat, dan Kerarifan, William Soeryadjaya.

William sangat percaya diri saat mengatakan itu. “Kalau jij mau, kita nikah tapi tidak sekarang,” tambah William.

Lily pun kaget mendengar pernyataan William meski dia juga merasakan cinta kepada William. Ia juga tidak mengerti apa maksudnya. “Apa maksud jij”? Lily balik bertanya.

“Ik sudah minta izin ke Mami dan Oom Dollar. Mereka menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada jij. Jadi ik tinggal menunggu jawabanmu,” balas William.

Lily semakin bingung menjawabnya. Hatinya berkecamuk, apakah sang adik William Kian Tie mengetahui perkembangan hubungan ini. Lily pun pasrah karena ia juga menaruh hati kepada William.  Selama masa menjawab pertanyaan, orangtua dan kakak Lily terus bertanya. Lily pun menerima pinangan William setelah menimbang-nimbang.

Pakai Delman Teken Surat Nikah

Kian Tie mendapatkan surat dari Gemeentelijke Universiteit van Amsterdam. Kian Tie menerima beasiswa dari universitas di Belanda itu untuk melanjutkan studi di bidang ekonomi.

Kabar itu tentu sangat mendatangkan kebahagiaan bagi keluarga besar Tjia. Kian Tie berangkat ke Belanda dengan bekal seadanya. William yang tahu kondisi Kian Tie mudah jatuh sakit, ia menyusul adik kesayangannya itu ke Belanda. Saat itu, bisnis William juga sulit berkembang karena situasi ekonomi dan keamanan tambah kacau. Hal ini setelah Jepang dan tentara Belanda kembali masuk.

William pun menyatakan niat untuk menikah di Belanda saja. Ia pun menjelaskan aturan pernikahan di Belanda. Di sisi lain, dari pihak keluarga Lily, terutama ibu ingin merayakan pernikahan di Bandung dengan mengundang semua keluarga.

Namun, William harus cepat ke Belanda. Ia pun menetapkan hati menikah di Belanda. Soal detil bagaimana itu urusan nanti. William pun berangkat ke Belanda menyusul sang adik.

Ketika di Belanda, William mendaftarkan diri sekolah kejuruan Teknik penyamakan kulit di Middelbare Vackschool  v/d Leder & Schoenindustrie di Waalwijk. Memilih jurusan ini karena pendidikan vokasional seperti ini hanya butuh waktu dua tahun sehingga setelah mendapatkan ijazah, William bisa cepat balik lagi ke Indonesia. Ia juga mengambil private business course di Amsterdam, Belanda.

Setelah empat bulan kepergian William ke Belanda, Lily didatangi seorang petugas yang membawa surat nikah dari Belanda. Surat itu sudah diteken William.

"Surat itu diurus oleh advokat. Yong sudah teken surat itu di sana, Belanda. Saya teken di sini, Bandung. Saya pakai delman ke tempat advokatnya untuk teken surat itu. Sendirian,” kata Lily, demikian mengutip buku biografi Man of Honor, Kehidupan, Semangat dan Kearifan, William Soeryadjaya karya Teguh Sri Pambudi dan Harmanto Edy Djatmik

"Jadi nikahnya di Belanda, tapi teken suratnya di Bandung,” ujar Lily.

Hari penandatanganan surat nikah pada Rabu, 15 Januari 1947 ditetapkan sebagai hari ulang tahun pernikahan mereka.

Dua bulan setelah pernikahan antarbenua itu, Lily berangkat ke Belanda seorang diri. Demi menyusul sang pujaan hati, William.

Lily, Sosok Perempuan yang Berani

Bicara soal keberanian, Lily dikenal perempuan mungil yang berani. Ketika aktif di Red Cross , ia sempat diculik sejumlah tentara republik karena dicurigai membantu musuh. Saat itu, ia tengah berjalan menuju rumah. Perempuan yang tingginya sekitar 150 cm ini disekap di bilangan jalan Braga.

Sang kakak Oom Dollar mencari ke sana kemari setelah mengetahui adiknya tak kunjung pulang. Semua kontak dihubunginya penuh dengan kepanikan.

Saat dalam sekapan tentara, Lily menceritakan seluruh kegiatan di Red Cross. Tak ada rasa takut sedikitpun. "Mereka juga baik-baik. Ik ga diapa-apakan,” kenang Lily.

Ia mengajak mereka ke Red Cross untuk membuktikan apa yang dikerjakannya. Ia pun dibebaskan dengan baik-baik setelah mengetahui yang dikerjakannya.

Hidup di Belanda

Setelah sebulan mengarungi samudra, terbayar kerinduan Lily bertemu dengan William. William ternyata sudah menyediakan rumah tinggal di Amsterdam.

Pengantin baru tersebut pun tak mempermasalahkan lagi soal pesta pernikahan. “Susah untuk pesta. Di Belanda waktu itu, mau beli apa-apa keperluan pesta, sulit didapatkan. Juga sulit mendapatkan bahan masakan,” ujar Lily yang hobi memasak, mengutip dari buku biografi Man of Honor, Kehidupan, Semangat, dan Kerarifan, William Soeryadjaya karya Teguh Sri Pambudi dan Hermanto Edy Djatmiko.

Saat itu Belanda masih berantakan setelah perang dunia II. Bahkan Belanda termasuk yang pertama mendapatkan bantuan Marshall Plan untuk memulihkan keadaan.

Di Amsterdam, William bertahan hidup dengan beragam cara, termasuk menjual paket kiriman dari Bandung berupa rokok, kacang dan hasil bumi lainnya. Sesuai aturan yang berlaku, setiap orang bisa mendapatkan kiriman hingga 10 kg yang di dalamnya ada 12 karton rokok.

Di tengah perjuangan di Belanda, pada 21 Mei 1948, William dan Lily dikaruniai putra pertama. Bayi mungil itu diberi nama Tjia Han Sek, yang kelak berganti nama menjadi Edward Seky Soeryadjaya.

Pada masa awal tinggal di Belanda, William dan Lily harus terbiasa hidup prihatin. Mereka berhemat untuk bertahan hidup. Pernah dalam suatu hari, ketika mereka melakukan perjalanan ke Basel, Swiss untuk liburan sehingga melepas penat. Dengan tiket yang dibeli dari hasil berjualan, mereka pun menumpang kereta api. Dalam perjalanan selama seminggu itu, William, Lily dan Edward, hanya makan roti, bubur, susu segar agar bisa hemat.

Selama di Amsterdam, William mencoba bergaul dengan sebanyak mungkin kalangan. Keluwesannya bergaul adalah salah satu kemampuan, bahkan sebuah pemberian yang diberikan Tuhan kepadanya. Berkat kebaikan seorang teman, Wiliam mendapatkan pinjaman untuk bisnis. Dengan modal itu, ia menjadi semacam agen properti yang berbisnis jual beli rumah.

Kembali ke Indonesia

William dan Lily memutuskan balik ke Indonesia setelah hampir tiga tahun menetap di Amsterdam. Lily yang memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Ia lelah secara fisik dan merasa tak kuat lagi untuk merantau lebih lama.

Yang membuat Lily kelelahan, ia tidak selalu menetap di Amsterdam dalam kurun waktu lama. Dia kadang pergi Belanda-Indonesia untuk menengok keluarga besar di Bandung. Bepergian dengan kapal laut dengan minimal memakan waktu sebulan lamanya dalam sekali tujuan menguras tenaga perempuan mungil nan lincah ini. Bahkan ketika hamil pun kadang dia bepergian dengan menahan rasa mual, sendirian.

Saking lelah dan pergi untuk waktu lebih dari sebulan, kuliah di sebuah sekolah hukum di Amsterdam pun terbengkalai sehingga tak diselesaikannya. Hal yang membuat Lily sedih, setelah kelahiran anak pertama, ia sempat keguguran karena energi yang terkuras.

Melihat penderitaan istrinya, William akhirnya tak tega. Mempertimbangkan Kian Tie sudah bisa ditinggalkan meski kadang masih sakit-sakitan, ia memenuhi permintaan Lily. "Yong, saya capek di sini,” ujar Lily dengan nada lirih, demikian mengutip buku biografi Man of Honor, Kehidupan, Semangat dan Kearifan, William Soeryadjaya karya Teguh Sri Pambudi dan Harmanto Edy Djatmiko.

Mendengar kalimat itu, hati William pun luluh. Pada Juni 1949, setelah kantongi ijazah sekolah penyamakan kulit, dan mengikuti kursus bisnis, bersama si kecil Edward, dan bayi dalam kandungan Lily, William dan Lily kembali ke Indonesia.

Selama satu bulan perjalanan di atas kapal laut yang membawa pasangan itu pulang ada kejadian yang membuat William panik luar biasa. Si kecil Edward menyukai makan cokelat tiba-tiba tersedak, hingga tidak bisa bernafas.

Namun, Lily tetap tenang. Dengan sigap, sang ibu menjungkalkan Edward dengan kepala di bawah. Punggungnya ditepuk-tepuk cukup keras. Cokelat di kerongkongan Edward pun keluar dari mulutnya. William hanya bisa menatap kagum pada sang istri yang tengah mengandung delapan bulan itu.

Membantu Sang Suami

Setelah kembali ke Indonesia, Lily pun turut membantu sang suami. Ia tak tega melihat William membanting tulang. Lily pun ikut berdagang untuk membantu ekonomi keluarga. Ia berdagang mulai makanan, kebutuhan alat tulis yang dipasok ke sejumlah kantor.

Ia tak bisa diam dan tak mau berpangku tangan. Lily patungan bersama teman untuk membuat veld bed atau ranjang lipat buat serdadu. William pun turut menekuni bisnis veld beld yang dirintis Lily. Di tangan William, bisnis ranjang lipat itu semakin berkembang. Kehidupan ekonomi Wiliam dan Lily semakin membaik. 

Sebelumnya, Lily juga pernah mendapatkan kesedihan mendalam saat William mendapatkan tuduhan korupsi. Bahkan membuat William sempat menjalani kurungan di LP Banceuy. Ia berupaya melawan ketidakadilan. Ia bolak balik mengurus ke polisi dan penjara agar suami tak ditahan. William  sempat menjalani kurungan di LP Banceuy. Meski demikan, upaya Lily untuk mengeluarkan suaminya berhasil.

Ia pun harus memulai lagi dari nol. Bersama Lily, ia pun berdagang macam-macam  barang hingga ke Jakarta. Sebelumnya William mendapatkan bantuan dari sang adik Benjamin dan Kian Tie. Benjamin menelpon Kian Tie untuk mencarikan perusahaan untuk abang tertua. "Syaratnya bisa impor," ujar Benjamin.

Bersama Liam Peng Hong, pengusaha rokok asal Malang, Jawa Timur, Kian Tie membeli sebuah perusahaan kecil yang sudah tidak aktif lagi. Kian Tie membeli perusahaan itu agar bisa bersama William berbisnis. Bahkan kalau perlu digunakan untuk sang kakak sepenuhnya sebagai cara membalas budi baik William yang telah mengurusnya sejak kecil.

Singkat cerita William bersama mitranya membangun perusahaan PT Astra pada 1957 sebagai perusahaan dagang. Pada 1969, Astra pun menjadi distributor kendaraan Toyota di Indonesia. Pada 1990, perseroan menerbitkan 30 juta lembar saham dan tercatat di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya