Liputan6.com, Jakarta Minggu (16/2/2025) merupakan hari terakhir pertunjukan musikal sinematik City of Love di Jakarta Internasional Convention Center (JICC). Sutradara City of Love, Hanung Bramantyo menarik napas lega sekaligus bahagia.
Sempat susah tidur 7 hari lamanya lantaran kepikiran hasil akhir City of Love, kini sutradara film Ipar Adalah Maut dengan rendah hati menyatakan eksperimennya menggabungkan elemen sinema dan teater berhasil.
Advertisement
Baca Juga
“Saya sudah seminggu ini enggak bisa tidur, ini bagaimana hasil akhirnya? Ternyata hasilnya luar biasa. Kami memilih banget lagu-lagunya. Jadi, konsep saya di awal itu Moulin Rouge. Ceritanya tahun 1950-an tapi lagunya sekarang, modern,” kata Hanung Bramantyo.
Advertisement
Dalam wawancara eksklusif dengan Showbiz Liputan6.com di Senayan, Jakarta, baru-baru ini, ia mengaku menghadirkan set ala film Bumi Manusia dengan kurasi lagu lintas dekade yang menembus ruang dan waktu.
Kekayaan dan Sejarah Indonesia
Maka jangan kaget jika ada lagu “Cinta Putih” dari tahun 1977, “Bagaikan Langit” karya Melly Goeslaw pada 1998, hingga “Pandangan Pertama,” hit besar RAN yang dimotori Rayi Putri, Anindyo Baskoro, serta Asta Andoko.
“Itu yang ingin saya hadirkan di sini. Sekalipun set-nya jadul, saya ingin menghadirkan set-set Bumi Manusia tahun 1950-an. Makanya ini saatnya kekayaan dan sejarah Indonesia direka ulang. Enggak usah takut,” ujar Hanung Bramantyo.
Advertisement
Menggali Talenta Sendiri
Kesuksesan musikal sinematik City of Love yang digagas Warisan Budaya Indonesia atau WBI Foundation, bukan karena satu orang. Ada Yanti Airlangga yang menjabat Ketua WBI Foundation sekaligus Produser Eksekutif City of Love.
“Bu Yanti yang tadinya hobi saja, akhirnya tergerak menekuni akting di panggung. Jadi semua bisa menggali talentanya sendiri. Saya juga merasa ternyata bisa ya, awalnya saya enggak PD sama sekali. Enggak PD pol,” akunya.
Eksperimen, Sinema, dan Teater
Setelahnya ada Titien Wattimena di departemen naskah, Agus Noor yang membantu Hanung Bramantyo mengarahkan para pemain, penata musik Tohpati hingga penata artistik sekaligus pencahayaan, Taba Sanchabakhtiar.
“Tapi, saya didukung para profesional panggung. Mas Taba, wah enggak bisa enggak, dia memberi feel pada LED dan grafis yang luar biasa. Pencahayaan juga. Mas Tohpati memberi rasa dalam bermusik. Itu live!” seru Hanung Bramantyo.
“Saya cuma bisa mengatakan, ini eksperimen saya antara dunia sinema dan panggung yang telah melahirkan saya hingga di titik ini. Maka ini eksperimen saya yang saya menyatakan cukup berhasil,” ia mengakhiri.
Hanung Bramantyo berharap inovasi dalam pertunjukan teater termasuk drama musikal tak henti sampai di sini. Setelah musikal sinematik City of Love, ia berharap ada kejutan-kejutan lain agar dunia seni Indonesia makin maju.
Advertisement
