Recep Tayyip Erdogan (26 Februari 1954) ialah Presiden ke-12 Republik Turki. Sebelum menjadi presiden, Erdogan dikenal sebagai Perdana Menteri Turki sejak tahun 2003 sampai 2014 dan seorang wali kota.
Awal karir politiknya dimulai saat dirinya menjadi Wali Kota Istanbul pada tahun 1994 sampai 1998. Sebagai seorang wali kota, Erdogan dianggap berhasil, karena pengadaan air bersih dan penertiban bangunan, juga mengurangi polusi dengan aksi tanam seribu pohon.
Erdogan terpilih sebagai seorang presiden setelah mendapatkan 52 persen suara dan resmi menjabat sebagai Presiden pada 28 Agustus 2014. Namun, semasa kepemimpinan Erdogan, stabilitas di Turki menjadi panas, akibat sempat terjadi beberapa kali kudeta militer untuk menurunkan orang nomor satu di Turki tersebut.
Bakal Hidupkan Lagi Hukuman Mati di Turki
Presiden Recep Tayyip Erdogan dalam sebuah acara demonstrasi di Istanbul mengatakan ia akan memberlakukan hukuman mati di Turki. Hal itu dilakukan apabila mendapat dukungan dari parlemen dan masyarakat.
Pernyataannya itu ia ucapkan di depan 1 juta pendukungnya, yang menggelar demonstrasi mendukung Erdogan. Demikian seperti dilansir dari BBC, Senin (8/8/2016).
Erdogan juga mengatakan, negara akan dibersihkan dari pendukung ulama Fethullah Gulen yang kini berada di AS.
Gulen hingga kini adalah tokoh yang paling disalahkan oleh pemerintah Turki atas kudeta gagal militer. Kendati demikian, ia menolak terlibat.
Kritik Keras Terhadap Amerika Serikat
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan melontarkan kritikan keras terhadap Amerika Serikat. Erdogan diketahui baru saja lolos dari upaya kudeta pada Juli lalu.
Menurut pemimpin Partai AKP tersebut, AS telah melakukan hal tak pantas. Yaitu melindungi individu yang diduga sebagai otak kudeta, Fethullah Gulen.
"AS seharusnya tidak memberikan perlindungan bagi teroris seperti Gullen," ucap Erdogan seperti dikutip dari Reuters, Selasa (20/9/2016).
Ia menegaskan sama sekali tak ada alasan tepat bagi AS, untuk tetap membiarkan Gullen. Sebab, di Negeri Paman Sam, ulama tersebut diduga mengumpulkan anggota untuk melawan Pemerintah Turki saat ini.
"Jika AS adalah sekutu strategis kami dan rekan NATO kami, tidak mungkin mereka membiarkan Gullen dan organisasinya berjalan," papar dia.