Lindung Nilai Utang, PLN Harus Bayar Premi

Menerapkan lindung nilai atau hedging utang luar negeri, ternyata tak gratis.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 10 Apr 2015, 18:45 WIB
Diterbitkan 10 Apr 2015, 18:45 WIB
Ilustrasi Rupiah
Ilustrasi Rupiah (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta - Menerapkan lindung nilai atau hedging utang luar negeri, ternyata bukan cuma-cuma. Korporasi yang menjalankan upaya mitigasi risiko‎ itu harus membayar premi sebagai bagian dari kontrak perjanjian hedging dengan perbankan. Hal ini berlaku pula buat PT PLN (Persero) yang sudah melakukan hedging US$ 950 juta oleh tiga bank pelat merah.

Direktur Keuangan PLN, Sarwono Sudarto menjelaskan, lindung nilai tersebut ada bobot premi yang harus dibayarkan korporasi. Premi ini yang akan melindungi atau menjamin kerugian korporasi apabila terjadi fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

‎"Misalnya ya preminya Rp 50 per satu dolar, saya beli untuk tiga bulan, enam bulan atau satu tahun mendatang. Jika disepakati harganya Rp 13 ribu per dolar AS, berarti saya harus membeli Rp 13.050 per dolar AS," kata dia memberi contoh saat Konferensi Pers Penandatanganan Fasilitas Hedging di Gedung BI, Jakarta, Jumat (10/4/2015).

Lebih jauh Sarwono menambahkan, premi hedging bergantung pada masing-masing bank. Dia mengaku bahwa upaya lindung nilai bukan semata-mata mencari keuntungan, tapi memitigasi risiko apabila dolar AS mengalami penguatan cukup signifikan dan akhirnya menyebabkan kerugian kurs.

"Jadi kalau misal preminya Rp 50 per dolar AS, maka maksimum rugi saya cuma 50 perak. Itu lindung nilai. Kalau saya engga hedging, lalu tiba-tiba dolar menguat ‎lebih dari  premi, maka saya mitigasi dengan maksimum 50 perak. Jadi bukan mau cari untung," terang Sarwono.

Sementara Direktur Corporate Banking PT Bank Mandiri Tbk Royke Tumilaar, menambahkan, permintaan hedging akibat pelemahan kurs rupiah diperkirakan akan meningkat pada tahun mendatang. Dia melihat ada potensi hedging dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) senilai US$ 1 miliar.

"Sedangkan non BUMN lebih besar US$ 10 miliar. BUMN dan korporasi swasta sedang agresif melakukan hedging seiring fluktuasi dolar AS‎," ujarnya.

Deputi Tax Force Pendalaman Pasar Keuangan Bank Indonesia, Nanang Hendarsah berharap ke depan, 70 bank devisa menyerap permintaan hedging. "Sekarang baru 25 bank devisa yang aktif menjalankan hedging. Jadi kita perlu sosialisasi dan edukasi," papar dia. (Fik/Ndw)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya