Liputan6.com, Tokyo - Selama ini, Jepang dikenal sebagai negara dengan jam kerja yang panjang di mana sebagian besar waktu para pegawai habis menuntaskan pekerjaan di kantor. Meski baik bagi perputaran ekonomi, tapi budaya kerja panjang justru membahayakan kesehatan pegawai.
Kondisi kerja yang berlebihan dapat membuat produktivitas pegawai berkurang secara drastis. Hal ini kemungkinan besar menjadi penyebab utama masuknya Jepang ke jajaran negara paling malas di dunia pada 2012.
Sebanyak 60,2 persen warganya masuk ke dalam kategori penduduk tidak aktif atau jarang berolahraga dan melakukan aktivitas fisik di luar pekerjaan. Padahal di banyak tempat lain, pasar tenaga kerja yang kuat kini tengah mendorong keseimbangan kekuasaan dari perusahaan bagi para pekerjaannya.
Advertisement
Namun di bawah dukungan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, para pegawai di Jepang kini dapat mengucapkan selamat tinggal pada budaya jam kerja yang sangat panjang. Berikut ulasan singkat mengenai masuknya Jepang ke dalam kategori negara paling malas di dunia seperti dilansir dari laman Business Insider, Forbes, dan International Business Times, Jumat (5/6/2015):
Warga Jepang gila kerja
Warga Jepang gila kerja
Hampir seluruh pegawai di banyak negara menerima jatah cuti untuk berlibur. Tapi memang benar, para atasan tak akan mendorong Anda untuk melakukannya.
Pada 2011, Ipsos Global dan Reuters menggelar survei pada 13 ribu orang di negara maju untuk melihat apakah para warga menggunakan jatah liburnya. Hasilnya, Jepang berada di urutan pertama sebagai negara dengan pegawai yang palign gila kerja.
Bayangkan saja, hanya 33 persen masyarakat Jepang yang mengambil jatah cutinya. Padahal Jepang memiliki jumlah libur yang cukup banyak sekitar 16 hari libur nasional.
Sayangnya, rata-rata pegawai bekerja hingga 1.714 jam per tahun. Kemungkinan besar, sikap gila kerja ini yang membuat para pegawai jarang melakukan aktivitas lain dan dinilai tak aktif di luar pekerjaannya.
Advertisement
Warga Jepang terkenal langsing
Warga Jepang terkenal langsing
Meski jarang beraktivitas di luar pekerjaannya, warga Jepang terkenal jauh dari masalah obesitas. Padahal sebagai negara maju, Jepang mengalami banyak hambatan seperti rendahnya tingkat kelahiran, populasi yang menua dengan cepat serta biaya jaminan kesehatan yang mahal dan ekonomi yang tumbuh stagnan.
Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), hanya sekitar 3,5 persen penduduk Jepang yang bertumbuh gemuk dan masuk kategori obesitas. Salah satu alasannya, meski warga Jepang jarang beraktivitas, tapi makanan yang dikonsumsi sangat sehat.
Sehari-hari, warga Jepang terkenal lebih sering mengkonsumsi menu makanan tradisional seperti nasi merah, ikan, sup, sayur dan buah. Warga Jepang sangat jarang makan daging merah yang membuat para pegawainya cenderung sehat meski harus bekerja dengan jam kerja panjang.
Jepang akhiri budaya kerja panjang
Jepang akhiri budaya kerja panjang
Dengan dukungan dari Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, para pegawai di Negeri Sakura tersebut kini dapat mengucapkan selamat tinggal pada budaya jam kerja yang sangat panjang. Selama ini, jam kerja super panjang di kantor disusul dengan malam-malam panjang yang dihabiskan untuk minum bersama kerabat telah menjadi simbol komik para pegawai di Jepang.
Budaya kerja dengan jam panjang tersebut ternyata dapat menurunkan produktivitas pegawai yang justru merugikan perusahaan. Padahal perusahaan berusaha mendorong kinerja pegawai dengan jam kerja panjang tersebut.
Tapi kini, perusahaan-perusahaan di Jepang mulai menerapkan budaya jam kerja normal seperti yang banyak ditemukan di negara-negara lain di dunia.
Bursa perdagangan Itochu berharap dapat menarik para lulusan terbaik dengan waktu masuk dan pulang kerja lebih cepat. Sementara perusahaan pembuat mesin pencetak (printer) Ricoh melarang para pegawainya bekerja lebih dari pukul 8.00 malam. (Sis/Ndw)
Advertisement