Bukan BUMN, Pendanaan Teroris Dinilai Bersifat Pribadi

Salah satu terduga teroris asal Pekanbaru mengakui donatur mereka merupakan warga Pekanbaru, yang bekerja di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 16 Mei 2018, 17:30 WIB
Diterbitkan 16 Mei 2018, 17:30 WIB
Serangan di Mapolda Riau
Kondisi mobil berwarna putih yang digunakan terduga teroris setelah serangan di luar markas polisi di Pekanbaru, Riau (16/5). Dalam serangan tersebut satu perwira tewas dan dua lainnya terluka. (AFP Photo/Dedy Sutisna)

Liputan6.com, Jakarta - Salah satu terduga teroris asal Pekanbaru mengakui donatur mereka merupakan warga Pekanbaru, yang bekerja di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof DR Jimly Asshiddiqie menilai pendanaan tersebut diperkirakan lebih bersifat pribadi.

"Tidak mungkin kalau perusahaannya secara langsung, karena dana CSR itu kan pengawasannya ada. Jadi ini cenderung ke kepentingan pribadi," kata dia di Jakarta, Rabu (16/5/2018).

Untuk itu, dirinya mengusulkan dalam revisi UU Terorisme yang tengah diselesaikan di DPR RI, agar ada penambahan pasal yang memberikan kewenangan para pimpinan perusahaan baik swasta atau BUMN untuk menindak pegawainya yang terbukti terlibat dalam organisasi teroris.

"Jadi pegawai yang terindikasi sebagai salah satu anggota atau mendukung aksi tersebut bisa langsung dipecat. Dan kalau sudah ada UU, pegawai itu tidak dapat menuntut," tambahnya.

Seperti diketahui, selain didanai oleh pegawai BUMN, pengakuan terduga teroris tersebut juga sudah menghilangkan makna Pancasila dari kehidupan mereka.Para terduga teroris yang ditangkap yaitu Heri Hartanto alias Abdul Rahman (39) dan Hengki Satria alias Abu Ansyor (38).

"Mereka hapal Pancasila, saya juga tanyakan mereka tentang makna Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Tapi makna dari seluruh silanya mereka hilangkan," ujar Kapolda Sumsel Irjen Pol Zulkarnain Adinegara saat membuka kegiatan Tatap Muka Forkopinda Sumsel di Aula Hotel Swarna Dwipa Palembang, Selasa (15/5/2018).

Namun Kapolda Sumsel masih belum bisa menjadikan kesaksian kedua terduga teroris tersebut sebagai fakta hukum. Mereka akan mencaritahu bukti pendukung lainnya. Karena saat ditangkap, tidak ada bukti apa pun yang menguatkan mereka sebagai pelaku teroris.

"Kita akan caritahu apakah ada transfer uang, atau ada saksi yang melihat donatur tersebut memberikan dana ke mereka. Termasuk identitas dosen tersebut, bisa saja nama yang disebutkan palsu dan alamat yang dimaksud adalah perkantoran," katanya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Terduga Teroris Riau Akui Donatur Bekerja di BUMN

Serangan di Mapolda Riau
Petugas kepolisian memeriksa mobil yang digunakan terduga teroris setelah serangan di luar markas polisi di Pekanbaru, Riau (16/5). Empat pelaku penyerangan ditembak dan tewas ketika mereka melakukan serangan. (AFP Photo/Dedy Sutisna)

Untuk diketahui, dua orang terduga teroris asal Pekanbaru, Riau, yang ditangkap Densus 88 Antiteror dan Polda Sumatera Selatan (Sumsel), pada Senin 14 Mei 2018, tidak mengakui adanya Pancasila.

Ketika diinterogasi langsung oleh Kapolda Sumsel Irjen Pol Zulkarnain Adinegara, kedua terduga teroris tersebut sudah menghilangkan makna Pancasila dari kehidupan mereka.

Para terduga teroris yang ditangkap yaitu Heri Hartanto alias Abdul Rahman (39) dan Hengki Satria alias Abu Ansyor (38).

"Mereka hafal Pancasila, saya juga tanyakan mereka tentang makna Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Tapi makna dari seluruh silanya mereka hilangkan," ujar Kapolda Sumsel Irjen Pol Zulkarnain Adinegara saat membuka kegiatan Tatap Muka Forkopinda Sumsel di Aula Hotel Swarna Dwipa Palembang, Selasa (15/5/2018).

Salah satu terduga teroris asal Pekanbaru mengakui donatur mereka merupakan warga Pekanbaru, yang bekerja di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mereka juga sudah menyebutkan identitas dan tempat tinggal dosen yang mengajar di universitas di Palembang, yang gagal mereka temui.

Namun Kapolda Sumsel masih belum bisa menjadikan kesaksian kedua terduga teroris tersebut sebagai fakta hukum. Mereka akan mencaritahu bukti pendukung lainnya. Karena saat ditangkap, tidak ada bukti apa pun yang menguatkan mereka sebagai pelaku teroris.

"Kita akan caritahu apakah ada transfer uang, atau ada saksi yang melihat donatur tersebut memberikan dana ke mereka. Termasuk identitas dosen tersebut, bisa saja nama yang disebutkan palsu dan alamat yang dimaksud adalah perkantoran," katanya.

Informasi tersebut masih akan mereka kembangkan, salah satunya berkoordinasi dengan Densus 88, Polresta, dan Polda Riau. Kedua terduga teroris ini mengaku sebagai anggota Jamaah Anshorul Daarul (JAD). Bahkan mereka mendalami cara berjihad dari ustaz yang mereka panuti melalui internet.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya