Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan tingkat kemiskinan penduduk Indonesia pada Maret 2018 sebesar 9,82 persen. Angka ini diklaim merupakan yang terendah sejak krisis 1998 dan untuk pertama kalinya berada pada level satu digit.
Namun demikian, Ekonom sekaligus Guru Besar Universitas Gadjah Mada UGM Gunawan Sumodiningrat mengatakan, sebenarnya masalah kemiskinan tidak bisa dilihat hanya dari angka, melainkan fakta yang terjadi di lapangan.
"Kemiskinan bukan soal angka, tapi bagaimana pemahaman untuk mengentaskan kemiskinan ini," ujar dia di Kantor DPN HKTI, Jakarta, Kamis (2/8/2018).
Advertisement
Baca Juga
Dia menuturkan, untuk bisa menurunkan tingkat kemiskinan secara riil, pemerintah harus bisa menyediakan sebanyak mungkin lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
"Setiap orang harus punya sumber hidup sendiri, dia harus bekerja, harus punya pendapatan, dan harus punya tabungan," kata dia.
Dengan memiliki pekerjaan, lanjut dia, masyarakat akan punya penghasilan yang bisa membuatnya terlepas dari kemiskinan.‎
"Itu harus disadarkan, karena orang tidak bisa hidup tanpa bekerja, apapun pekerjaannya. Tapi setiap pekerjaan harus diubah menjadi pendapatan dan pendapatan bisa dipakai untuk segala kebutuhannya. Dan dari pendapatan harus ada tabungannya. Itu konsesi dasar," ujar dia.
Â
Angka Kemiskinan Turun, Kualitas Hidup Orang RI Naik?
Sebelumnya, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati sepakat dengan perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa angka kemiskinan di Indonesia berhasil turun satu digit di bawah 10 persen.
Namun ia menganggap, data tersebut belum selaras dengan standar kualitas hidup di lapangan yang justru kian memburuk.
"Sekarang untuk menghitung itu adalah dari tingkat perbaikan quality of life. Artinya garis kemiskinan kan terbesar hanya untuk makanan, 76 persen kan. Artinya penduduk miskin itu mengkonsumsi non-makanan dari penghasilan kecil sekali. Bagaimana mereka bisa perbaiki tingkat kualitas gizi dan sebagainya," urai dia di Jakarta, Selasa 31 Juli 2018.
Seperti diketahui, BPS beberapa waktu lalu mengeluarkan laporan yang menyatakan angka kemiskinan negara adalah 9,82 persen, atau yang terrendah sepanjang sejarah.
Enny menambahkan, penurunan angka kemiskinan jadi satu digit tersebut bertolak belakang dengan angka stunting atau kurang gizi untuk anak Indonesia yang 1 banding 3.
"Itu kan membuktikan bahwa quality of life kita justru turun," tegasnya.
Dia pun berkesimpulan, data kemiskinan 1 digit tersebut belum dapat mencerminkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Ditambahkannya, daya beli masyarakat kini belum meningkat, sebab pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih stuck di angka 4,95.
"Jadi selama angka kemiskinan turun, tapi produktivitas nasional dan daya beli masyarakat (belum membaik), berarti gagal," tukas dia.
Â
Advertisement