Liputan6.com, Jakarta Setelah menapaki perjalanan 26 tahun dalam program kemanusiaan, Dompet Dhuafa meluncurkan 200 Zona Layanan baru yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia, Rabu (30/10/2019).
Dengan tujuan Dompet Dhuafa lahir untuk memberdayakan dan mengangkat kaum dhuafa, memutus rantai kemiskinan dan membantu sesama manusia yang dalam kesulitan. Maka perluasan jaringan baik dalam mengakomodasi kebaikan masyarakat maupun sebaran manfaat program.
Baca Juga
Selama 26 tahun perjalanan, Dompet Dhuafa berhasil mengoptimalkan kepercayaan dana publik sebesar Rp 2,66 triliun. Dengan alokasi penyaluran 90 persen dan penerima manfaat mencapai 19,3 juta jiwa, sehingga, dari adanya 200 Zona Layanan, dapat terus menebar keberkahan lebih luas lagi.
Advertisement
Dalam menjalankan tugas-tugas tersebut, Dompet Dhuafa berkolaborasi dengan donatur, pemerintahan, stakeholder, dan praktisi.
Bertempat di Balai Kartini, Dompet Dhuafa meresmikan 200 Zona Layanan baru di 34 provinsi di seluruh Indonesia.
Ketua Pengurus Yayasan Dompet Dhuafa, Nasyith Majidi mengatakan pada era 4.0 ini, Dompet Dhuafa meyakini bahwa banyak orang ingin terlibat dalam kebaikan. Terutama untuk membantu orang lain. Kemudian saat mengelola permasalahan kemiskinan dan kemanusiaan, harus melibatkan banyak pihak.
“Sekarang ini adalah zaman keterhubungan, maka digitalisasi menjadi penting untuk menguatkan kanal penghimpunan. Seperti lahirnya bawaberkah.org dan MUMU Apps sebagai payment gateway di Dompet Dhuafa. Sehingga dengan semakin luasnya jaringan dan pendekatan digital, maka semakin luas pula Dompet Dhuafa dalam mengintervensi problematika kemiskinan di negeri ini,” jelas Nasyith Majidi.
Ia melanjutkan, perluasan 200 Zona Layanan di 34 provinsi, menjadi percepatan Dompet Dhuafa dalam mengentaskan kemiskinan.
Merujuk data BPS, kemiskinan di Maret 2019 masih mencatatkan angka 9,41 persen, menurun 0,25 persen poin terhadap September 2018 dan menurun 0,41 persen poin terhadap Maret 2018. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 25,14 juta orang, menurun 0,53 juta orang terhadap September 2018 dan menurun 0,80 juta orang terhadap Maret 2018.
Langkah menghadirkan ruang kolaborasi 200 Zona Layanan atau dalam nomenklatur dikenal dengan sebutan cabang, menjadi desain dari pola kolaborasi lembaga dan organisasi legal untuk terlibat, serta berperan membantu orang lain, dalam konteks ini adalah dhuafa.
Para pihak yang tergabung dalam 200 Zona Layanan, tentu memiliki keunggulan spesifik masing-masing. Maka perluasan jaringan memungkinkan bagi Dompet Dhuafa untuk memiliki variasi dan kekayaan dalam metode pengelolaan baku mengatasi permasalahan kemiskinan. Langkah tersebut turut menumbuhkan pola-pola di masyarakat dalam mengatasi kemiskinanan.
“Semangat kolaborasi 200 Zona Layanan selain dalam intervensi problematika kemiskinan, juga menguatkan lembaga lain untuk bertumbuh membantu sesama. Setelah mengantongi sejumlah prasyarat seperti portofolio fundrising, tata kelola keuangan, penyaluran dalam bentuk program, bersedia menerapkan value-value Dompet Dhuafa, lembaga atau organisasi tersebut dapat bergabung dalam zona layanan. Di sini Dompet Dhuafa hanya akan mengontrol aspek produk saja. Sedangkan pendekatan strategisnya menjadi wewenang masing-masing lembaga yang bergabung. Tetapi untuk lembaga yang belum memiliki sistem, sangat memungkinkan untuk mengadopsi apa yang ada di Dompet Dhuafa. Sehingga dengan cepat dapat memiliki pola tersistem dalam mengelola penghimpunan dan program pemberdayaan,” tambah Nasyith Majidi.
Setalah hadirnya 200 Zona Layanan baru, Dompet Dhuafa juga berharap bahwa mekanisme perluasan dapat berlangsung secara periodik setiap tahun. Karena dalam konteks ini, Dompet Dhuafa membawa semangat besar value untuk tumbuh besar.
Tetapi juga ada semangat membesarkan lembaga lain, sehingga dengan perluasan 200 Zona Layanan, akan terus menggelora semangat berbagi dan menguatkan lembaga lain. Nantinya, mandat-mandat yang diemban Dompet Dhuafa dapat turut diselesaikan oleh banyak pihak.
“Adanya perluasan 200 Zona Layanan, Dompet Dhuafa berharap ada dampak signifikan. Intervensi yang ada saat ini saja sudah dapat kita hitung berapa dampaknya terhadap permasalahan kemiskinan. Sehingga dengan bergabungnya banyak lembaga dalam jaringan kerja sama, kita bisa lebih awal mendesain tema atau isu apa yang akan kita intervensi berdasar perencanaan. Kemudian hasilnya menjadi lebih signifikan terselesaikan dan resource-nya lebih banyak. Karena banyak lembaga, wilayah intervensi lebih luas dan tersebar ke berbagi tempat. Jadi dengan kolaborasi tersebut, kami optimis dapat meningkatkan capaian penghimpunan maupun perluasan program layanan kepada masyarakat di atas 50%,” tutup Nasyith Majidi.
(*)