Liputan6.com, Jakarta Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengatakan akan mengusut perihal dugaan eksploitasi terhadap anak buah kapal (ABK) Indonesia di Korea.
Dia mengaku berkoordinasi dengan berbagai pihak menindaklanjuti terkait video pelarungan jenazah ABK Indonesia . Seperti berkomunikasi dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja.
Termasuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) untuk memastikan kebenaran video yang sempat viral di media sosial kemarin.
Advertisement
Baca Juga
"Kita telah berkoordinasi. Termasuk mengenai dugaan adanya eksploitasi terhadap ABK kita (Indonesia)," kata Edhy di Jakarta, seperti dikutip Kamis (7/5/2020).
Mengenai pelarungan jenazah ABK di laut atau burial at sea, Edhy menjelaskan, hal tersebut dimungkinkan dengan berbagai persyaratan yang mengacu pada aturan kelautan Organisasi Buruh Internasional atau ILO.
Dalam peraturan ILO "Seafarer’s Service Regulations", pelarungan jenazah di laut diatur praktiknya dalam Pasal 30. Disebutkan, jika ada pelaut yang meninggal saat berlayar, maka kapten kapal harus segera melaporkannya ke pemilik kapal dan keluarga korban.
Dalam aturan itu, pelarungan di laut boleh dilakukan setelah memenuhi beberapa syarat. Pertama, kapal berlayar di perairan internasional. Kedua, ABK telah meninggal lebih dari 24 jam atau kematiannya disebabkan penyakit menular dan jasad telah disterilkan.
Ketiga, kapal tidak mampu menyimpan jenazah karena alasan higienitas atau pelabuhan melarang kapal menyimpan jenazah, atau alasan sah lainnya. Keempat, sertifikat kematian telah dikeluarkan oleh dokter kapal (jika ada).
Pelarungan juga tak bisa begitu saja dilakukan. Berdasarkan pasal 30, ketika melakukan pelarungan kapten kapal harus memperlakukan jenazah dengan hormat. Salah satunya dengan melakukan upacara kematian.
Tak hanya itu, pelarungan dilakukan dengan cara seksama sehingga jenazah tidak mengambang di atas air. Salah satu cara yang banyak digunakan adalah menggunakan peti atau pemberat agar jenazah tenggelam. Upacara dan pelarungan juga harus didokumentasikan baik dengan rekaman video atau foto sedetail mungkin.
Edhy menambahkan, pihaknya juga concern pada dugaan eksploitasi terhadap ABK Indonesia seperti dilaporkan media Korea, MBC News, kemarin.
Dalam pemberitaan itu disebutkan ada beberapa ABK yang mengaku bahwa tempat kerja mereka sangat tidak manusiawi. Mereka bekerja sehari selama 18 jam. Bahkan salah satu ABK mengaku pernah berdiri selama 30 jam. Para ABK Indonesia juga dilaporkan diminta minum air laut yang difilterisasi.
Â
Fokus Dugaan Eksploitasi
Edhy menegaskan akan fokus pada dugaan ekspoitasi itu. Jika benar terdapat perlakuan tidak manusiawi terhadap ABK Indonesia, pihaknya akan menyampaikan laporan ke otoritas pengelolaan perikanan di laut lepas.
"KKP akan segera mengirimkan notifikasi ke RFMO (Regional Fisheries Management Organization) untuk kemungkinan perusahaan atau kapal mereka diberi sanksi," kata Edhy.
Sebab, terdapat dugaan perusahaan yang mengirimkan ABK Indonesia tersebut telah melakukan kegiatan yang sama beberapa kali.
Perusahaan itu juga terdaftar sebagai authorized vessel di 2 RFMO yaitu Western and Central Pasific Fisheries Commision (WCPFC) dan Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC). Indonesia juga sudah mengantongi keanggotaan di WCPFC dan cooperating non-member di IATTC.
Adapun mengenai ABK yang selamat dan kini berada di Korea Selatan, Edhy memastikan akan menemui mereka. Pemerintah akan meminta pertanggungjawaban perusahaan yang merekrut dan menempatkan mereka.
Bentuk pertanggungjawaban tersebut antara lain, menjamin gaji dibayar sesuai kontrak kerja serta pemulangan ke Indonesia.
"Kami juga akan mengkaji dokumen-dokumen para ABK kita. Termasuk kontrak-kontrak yang sudah ditandatangani," Edhy menjelaskan.
Sebagai informasi, pada 18 Desember 2019 Edhy sempat bertemu dengan Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Kim Chang-beom di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kala itu, Menteri Edhy membahas soal perlindungan ABK Indonesia di Korea Selatan.
Reporter:Â Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement