Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjatuhkan sanksi kepada Orix Corporation karena melakukan keterlambatan dalam pemberitahuan (notifikasi) pengambilalihan saham yang dilakukannya atas PT Sinar Mitra Sepadan Finance.
"Atas pelanggaran tersebut, Majelis Komisi dalam Sidang Majelis Komisi Pembacaan Putusan hari ini, menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) kepada Orix Corporation," dikutip dari laman KPPU, Selasa (6/4/2021).
Kasus dengan nomor register 16/KPPU-M/2020 ini berawal dari penyelidikan yang dilakukan oleh KPPU atas Dugaan Pelanggaran Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 juncto Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 yang dilakukan oleh Orix Corporation (ORIX) dalam transaksi pengambilalihan saham yang dilakukan atas sebagian besar saham PT Sinar Mitra Sepadan Finance (SMS Finance).
Advertisement
ORIX merupakan perusahaan berbasis di Jepang yang bergerak di bidang jasa, antara lain leasing, pembiayaan perusahaan, investasi, peralatan industri, energi dan lingkungan, hingga perbankan dan asuransi. Sementara SMS Finance merupakan perusahaan nasional yang bergerak di pembiayaan, khususnya kendaraan dan multiguna.
KPPU menemukan bahwa akuisisi yang dilakukan ORIX atas SMS Finance berlaku efektif pada tanggal 04 November 2015. Sehingga harusnya berdasarkan ketentuan, dilakukan pemberitahuan kepada KPPU paling lambat 15 Desember 2015.
Namun dari hasil proses persidangan ditemukan bukti bahwa Orix Corporation baru menyampaikan pemberitahuan pada tanggal 16 Desember 2019, terlambat selama 975 hari.
Berdasarkan ketentuan wajib notifikasi dan berbagai fakta di persidangan, Majelis Komisi memutuskan bahwa ORIX telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 29 UU No. 5 Tahun 1999 Jo. Pasal 5 PP No. 57 Tahun 2010, dan menghukum ORIX untuk membayar denda sebesar Rp 1.000.000.000 dan menyetorkannya ke kas negara selambat-lambatnya 30 hari setelah Putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht).Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
KPPU Denda Lion Air Group Rp 3 Miliar, tapi Tak Perlu Bayar karena Alasan Covid-19
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan tiga perusahaan yang tergabung dalam Lion Air Group melanggar Pasal 19 huruf d Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ketiga perusahaan tersebut melakukan praktik diskriminasi terkait dengan kerja sama penjualan kapasitas kargo dalam jasa pengangkutan barang dari beberapa bandara.
Dalam keputusan ini KPPU menjatuhkan hukuman kepada PT Lion Mentari, PT Batik Air Indonesia dan PT Lion Express sanksi denda sebesar Rp 1 miliar. Sehingga secara total, KPPU menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp 3 miliar kepada Lion Air Group.
Namun dengan memperhatikan berbagai pertimbangan, antara lain seperti sifat kooperatif, dampak negatif, dampak pandemi Covid-19 kepada para terlapor, dan fakta bahwa perjanjian tersebut telah dihentikan, maka Majelis Komisi juga menetapkan bahwa denda tersebut tidak perlu dilaksanakan oleh para terlapor.
"Kecuali jika dalam jangka waktu satu tahun semenjak Putusan berkekuatan hukum tetap, ketiga Terlapor melakukan pelanggaran Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,"Â tulis keterangan KPPU seperti dikutip Selasa (30/3/2021).
Perkara inisiatif dengan nomor register 07/KPPU-I/2020 ini bermula dari adanya penumpukan kargo berupa barang, pos dan kargo yang terjadi di Bandara Hang Nadim Batam pada periode Juli-September 2018.
Dalam penyelidikan, didapatkan bukti adanya perjanjian kerja sama yang dilakukan oleh PT Lion Mentari, PT Batik Air Indonesia, dan PT Wings Abadi selaku pelaku usaha angkutan udara niaga berjadwal yang menyediakan layanan jasa angkutan barang dari bandar udara tertentu ke bandar udara tujuan, dengan PT Lion Express yang merupakan perusahaan jasa pengiriman paket dan dokumen secara door to door ke seluruh wilayah Indonesia dengan menggunakan penerbangan Lion Air Group.
Dalam kerja sama tersebut, KPPU menemukan adanya hak ekslusif atau eksklusifitas kepada PT Lion Express untuk penggunaan kapasitas kargo sebesar 40 ton per hari untuk empat rute penerbangan yang telah disepakati.
Tindakan tersebut terbukti menutup dan atau mempersulit akses pengiriman barang bagi agen kargo yang terdaftar sebagai agen resmi selain PT Lion Express, sehingga terpaksa menggunakan jasa kargo alternatif lain dan atau perantara agen-agen kargo lain.
Namun perilaku diskriminasi tersebut tidak berjalan efektif karena PT Lion Express tidak berhasil mengambil konsumen agen-agen kargo lain dan justru berpindah ke maskapai lain.Â
Advertisement