Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta untuk segera membuka informasi terkait harga paling rendah biaya tes PCR yang bisa dicapai kepada publik. Pengamat Ekonomi, Ronny P Sasmita menilai langkah ini untuk menutup celah pelaku bisnis yang ingin mencuri kesempatan saat pandemi.
Di sisi lain, Ronny menilai dengan terbukanya informasi tersebut tujuannya agar tidak menyakiti perekonomian masyarakat dan pengguna angkutan udara di sisi lain.
“Bisa dibayangkan imbas negatifnya secara ekonomi kepada masyarakat pengguna angkutan udara. Bagi pemegang tiket seharga Rp 1 juta misalnya, maka harga PCR yang 275 ribu akan menambah pengeluaran mereka sekitar 27,5 persen,” kata Ekonom dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution kepada Liputan6.com, Selasa (9/11/2021).
Advertisement
Dengan demikian, ia menambahkan, bagi pemilik tiket pesawat dengan kelas ekonomi dengan harga Rp 750 ribu, berarti itu setara dengan 30 persen harga tiketnya. Kondisi ini yang dinilai menyakiti masyarakat pengguna angkutan udara sekaligus industri penerbangan. Dengan catatan tes PCR tidak dilakukan sekaligus oleh pelaku industri penerbangannya.
“Untuk itu, pemerintah perlu mengambil sikap tegas dan nyata, setelah mempelajari secara detail soal harga tes PCR yang paling tepat untuk,” katanya.
“Lantas jika ditemukan angka misalnya Rp 150 ribu, maka pemerintah harus segera menerapkan dual track pricing dengan mengerahkan semua Rumah Sakit milik pemerintah, baik pusat dan daerah, di seluruh Indonesia untuk langsung menerapkan angka Rp 150 ribu per sekali tes PCR, sampai semua pelaku swasta mengikuti dan harga pasaran bertengger di harga Rp 150 ribu,” tambah Ronny.
Baca Juga
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tak Perlu Berkaca ke Negara Tetangga
Lebih lanjut, Ronny mengatakan pemerintah tak perlu berkaca ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura dalam menentukan harga batas bawah tes PCR. Alasannya, adalah pendapatan perkapita yang berbeda antara kedua negara itu dan Indonesia.
“Di Malaysia harga tertinggi tes PCR bisa sampai Rp 500 ribuan, sementara di Singapura Rp 1,6 juta. Tapi kedua negara tersebut memiliki income perkapita jauh di atas Indonesia. Harganya sesuai dengan pendapatan masyarakatnya. Akan sangat misleading secara ekonomi jika mengacu kepada harga tes PCR di negara-negara yang income perkapitanya sangat jomplang dengan Indonesia,” kata dia.
Dengan demikian, Ronny menegaskan pemerintah tak perlu basa-basi lagi. Caranya dengan presiden Joko Widodo cukup dengan satu kali bicara tentang batasan harga tes RT PCR dan diikuti dengan aksi nyata.
Selanjutnya, pemerintah segera menentukan harga yang pantas secara ekonomi dan diumumkan detailnya ekpada publik serta diikuti dengan kebijakan dual track pricing di semua rumah sakit milik pemerintah. Baik di pemerintah pusat maupun daerah, dengan tujuan semua pelaku usaha tes PCR mengikuti harga batas bawah tersebut.
“Kalau alatnya tidak dimiliki oleh RS-RS, atau mahal, pertanyaannya mengapa klinik-klinik kecil sampai RS swasta memilikinya? Bahkan mereka berjualan di hampir seluruh jalan-jalan utama di kota besar se Indonesia,” tuturnya tegas.
Ia menyebutkan logikanya persis seperti Bulog melakukan operasi pasar terbuka untuk menurunkan harga beras atau Bank Indonesia melakukan operasi pasar bebas di secondary market untuk menguatkan atau melemahkan rupiah.
“Pendeknya, aksi nyata seperti itu lebih dibutuhkan publik, ketimbang himbauan demi himbauan atau kontroversi demi kontroversi,” tutup Ronny.
Advertisement