Liputan6.com, Jakarta - Miliarder investor asal Amerika Serikat, Stanley Druckenmiller mengatakan bahwa dirinya meragukan upaya The Fed untuk meredam inflasi dengan soft landing akan sulit dicapai. Sang miliarder juga meyakini resesi 2023 bakal terjadi.
"Kasus utama kita adalah pendaratan yang sulit pada akhir 2023," ujar Druckenmiller, dikutip dari CNBC International, Rabu (5/10/2022).
"Saya akan terkejut jika kita tidak mengalami resesi di tahun 2023. Saya tidak tahu waktunya tetapi pasti di akhir 2023," katanya dalam acara CNBC Delivering Alpha Investor Summit di New York.
Advertisement
Druckenmiller percaya pelonggaran kuantitatif yang luar biasa dan suku bunga nol selama dekade terakhir menciptakan gelembung aset. "Semua faktor yang menyebabkan pasar saham naik, tidak hanya berhenti, tetapi juga membalikkan semuanya," kata Druckenmiller.Â
Seperti diketahui, The Fed tengah mengeluarkan laju pengetatan suku bunga paling agresif sejak 1980-an. Bank sentral AS itu pekan lalu menaikkan suku bunga tiga perempat poin persentase untuk ketiga kalinya dan menjanjikan kemajuan untuk meredam inflasi, memicu aksi jual besar-besaran dalam aset berisiko.Â
Selain miliarder, sejumlah badan internasional, termasuk PBB juga menyuarakan alarm resesi 2023.
Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) mengatakan bahwa kebijakan moneter dan fiskal di negara maju, salah satunya AS, termasuk kenaikan suku bunga dapat mendorong resesi dunia dan stagnasi global.
"Hari ini kita perlu memperingatkan bahwa kita mungkin berada di tepi resesi global yang disebabkan oleh kebijakan," kata Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspan.
Laporan UNCTAD menyebut, kenaikan suku bunga tahun ini di AS akan memangkas pendapatan masa depan sekitar USD 360 miliar di negara-negara berkembang, terkecuali China, sementara aliran modal bersih ke negara berkembang telah menjadi negatif.
"Kenaikan suku bunga oleh negara-negara maju adalah yang paling rentan. Sekitar 90 negara berkembang telah melihat mata uang mereka melemah terhadap dolar tahun ini," ungkap UNCTAD.
Bank Dunia Beri Warning
 Bank Dunia mengatakan bahwa negara-negara di Eropa Timur dan Asia Tengah akan melihat pertumbuhan ekonomi yang lemah pada tahun 2023. Badan tersebut juga memperingatkan pemutusan aliran gas dari Rusia ke Eropa akan mendorong resesi pada 2023 mendatang.
Dilansir dari Channel News Asia, Rabu (5/10/2022) dalam proyeksi ekonomi yang diperbarui, Bank Dunia mengatakan PDB kolektif di kawasan Eropa dan Asia Tengah sekarang diperkirakan akan berkontraksi 0,2 persen pada 2022 dan tumbuh 0,3 persen pada 2023.
Prediksi Bank Dunia soal ekonomi Eropa Timur di 2022 adalah peningkatan yang nyata dari perkiraan sebelumnya tentang kontraksi PDB 2,9 persen yang mencakup Ukraina, Polandia, Rusia, Turki, dan negara-negara sekitarnya.
Bank Dunia kini memperkirakan ekonomi Ukraina akan menyusut 35 persen pada 2022, peningkatan dari perkiraan kontraksi 45 persen awal tahun ini, tetapi ekonomi Ukraina masih terdampak kerusakan lahan pertanian dan berkurangnya tenaga kerja.
"Ukraina terus membutuhkan dukungan keuangan yang sangat besar karena perang terus berkecamuk serta untuk proyek-proyek pemulihan dan rekonstruksi yang dapat dimulai dengan cepat," kata Anna Bjerde, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Eropa dan Asia Tengah.
Bank Dunia menyebut, kebutuhan pemulihan dan rekonstruksi Ukraina di seluruh sektor sosial, produktif, dan infrastruktur berjumlah setidaknya USD 349 miliar - lebih dari 1,5 kali besaran PDB negara itu pada tahun 2021.
Adapun Rusia yang ekonominya diprediksi bakal berkontraksi 4,5 persen pada 2022, dibandingkan dengan kontraksi 8,9 persen yang diperkirakan pada Juni 2022. Kemudian pada 2023, ekonomi Rusia diperkirakan menyusut 3,6 persen.
Sementara itu, ekonomi Turki diperkirakan akan tumbuh 4,7 persen pada 2022, namun diprediksi akan tumbuh hanya 2,7 persen pada tahun 2023.
Advertisement
IMF Beri Peringatan, Sejumlah Negara Bakal Jatuh ke Jurang Resesi di 2023
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengatakan bahwa resesi global dapat dihindari jika kebijakan fiskal masing-masing negara konsisten dengan pengetatan kebijakan moneter.Â
Tetapi Georgieva juga mengungkapkan, kemungkinan akan ada negara-negara yang jatuh ke dalam resesi tahun depan.
"Kita memang membutuhkan bank sentral untuk bertindak tegas. Mengapa, karena inflasi sangat keras... Ini buruk bagi pertumbuhan dan sangat buruk bagi masyarakat miskin. Inflasi adalah pajak bagi orang miskin," kata Georgieva dalam sebuah wawancara selama kunjungan ke Arab Saudi, dikutip dari Channel News Asia, Selasa (4/10/2022).
Dia menambahkan, kebijakan fiskal yang tanpa pandang bulu mendukung masyarakat dengan menekan harga energi dan memberikan subsidi bertentangan dengan tujuan kebijakan moneter.
"Jadi, Anda memiliki kebijakan moneter yang menginjak rem dan kebijakan fiskal yang menginjak akselerator," katanya, setelah menghandiri konferensi tentang ketahanan pangan di Riyadh.
Seperti diketahui, sejumlah negara telah berupaya menangani tekanan inflasi dan kekurangan pangan yang tinggi dengan mengikuti kenaikan suku bunga Federal Reserve atau The Fed. Namun langkah ini juga mempengaruhi pasar keuangan dan ekonomi.
Georgieva pun menghimbau The Fed untuk sangat berhati-hati dalam kebijakannya dan memperhatikan dampak dari langkah kebijakan moneter mereka ke seluruh dunia, menambahkan tanggung jawabnya "sangat tinggi".
Selain itu, IMF juga melihat pasar tenaga kerja di AS masih cukup ketat, sementara permintaan masih cukup signifikan untuk barang dan jasa dan The Fed harus melanjutkan pengetatan di sektor tersebut.
"Kita kemungkinan akan melihat ... pengangguran naik dan masalah itu akan menjadi waktu bagi The Fed untuk mengatakan bahwa mereka telah melakukan pekerjaannya. Kita dapat mengurangi pengangguran di masa mendatang. Tapi kita belum sampai di sana," ungkap Georgieva.