Tak Penuhi Target Penurunan Emisi, Siap-Siap Kena Pajak Karbon

Pemerintah berkomitmen untuk mengurangi pembuangan emisi gas rumah kaca (GRK), diantaranya melalui kebijakan perdagangan karbon dan rencana pengenaan pajak karbon

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 24 Jan 2023, 15:50 WIB
Diterbitkan 24 Jan 2023, 15:50 WIB
Hadapi Global Warming, Mesin Penghisap Emisi Karbon Kini Dibangun
Emisi karbon merupakan kunci penting untuk menghindari perubahan iklim saat ini. Solusinya adalah mesin penghisap karbon di Swiss. (Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah berkomitmen untuk mengurangi pembuangan emisi gas rumah kaca (GRK), diantaranya melalui kebijakan perdagangan karbon dan rencana pengenaan pajak karbon.

Mekanisme perdagangan karbon sendiri resmi dimulai untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara, yang aturannya tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 16 Tahun 2022, tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik.

Salah satu instrumen yang digunakan dalam pengukuran transaksi perdagangan karbon melalui Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU), yang di fasel awal 2023 berlaku untuk 99 PLTU.

Lewat aturan ini, Plt Dirjen Ketenagalistrikan ESDM Dadan Kusdiana buka kemungkinan, perusahaan pembangkit listrik yang tidak memenuhi ketentuan PTBAE-PU terancam dikenai sanksi berupa pembayaran pajak karbon.

"Ini bisa menjadi salah satu cara. Kalau dia tidak bisa memenuhi, sebagai jalan keluarnya ya bayar pajak karbon," ujar Dadan di Jakarta, Selasa (24/1/2023).

Adapun menurut Pasal 12 Permen ESDM 16/2022, alokasi PTBAE-PU untuk PLTU pada 2023 sebesar 100 persen. Sementara alokasi setelah 2023 diberikan sesuai dengan hasil transaksi perdagangan karbon pada periode satu tahun sebelumnya.

Ketentuannya, untuk hasil transaksi perdagangan karbon lebih dari atau sama dengan 85 persen akan diberikan alokasi PTBAE-PU sesuai dengan hasil transaksi perdagangan karbon. Sementara transaksi yang kurang dari 85 persen diberikan PTBAE-PU sebesar 85 persen.

 


Tujuan

Ilustrasi emisi karbon (unsplash)
Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Namun begitu, Dadan menegaskan, tujuan utama aturan tersebut bukan untuk meraup keuntungan dari pajak karbon. Tapi lebih kepada target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen di 2030.

"Tapi kita sebenarnya memberikan dorongan bukan untuk pajak karbon, tapi untuk meningkatkan penurunan emisinya. Kita kan tujuannya itu," seru dia.

Untuk pengenaan pajak karbon sendiri, Kementerian ESDM saat ini masih menunggu penetapan aturannya dari Kementerian Keuangan.

Sebagai catatan, besaran tarif pajak karbon sebenarnya sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Nilainya setara Rp 30 per kg CO2 ekuivalen atau satuan yang setara.

Secara ketentuan, pajak karbon semustinya berlaku untuk PLTU berbasis batubara sejak 1 April 2022. Namun, aturan turunan yang mengatur ketentuan teknis pemungutannya belum kunjung terbit sampai sekarang.

 


Jokowi Targetkan Mulai Bursa Karbon di 2023

Hutan Bakau di Pesisir Marunda Memprihatinkan
Kondisi hutan bakau di pesisir kawasan Marunda, Jakarta, Selasa (27/8/2019). Tutupan hutan tersebut berakibat bertambahnya emisi karbon dioksida hingga 4,69 kilo ton. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memulai realisasi bursa karbon pada 2023. Dalam hal ini, KLHK akan membawahi penyelenggaraan bursa karbon secara nasional.

Adapun target itu lebih cepat dari yang dicanangkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2024. Namun, Direktur Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional KLHK Wahyu Marjaka mengatakan, persiapannya tidak akan mudah.

"Target waktu dari pimpinan kami menjalankan amanat dari pak Presiden (Jokowi) adalah tahun 2023 ini. Tetapi pemahaman kami juga tidak mudah memang, harus semua infrastruktur selesai dulu. Dari regulasi kita harus sudah pastikan harus selesai," ujarnya di Jakarta, Selasa (24/1/2023).

Wahyu memaparkan, sejumlah infrastruktur yang perlu disiapkan, antara lain Sistem Registri Nasional (SRN) yang terhubung antar stakeholder. Lalu, untuk memfasilitasi operasional perdagangan karbon semisal rumah karbon, dan lain sebagainya.

Lantas, ia pun menilai wajar mengapa OJK target penyelenggaraan bursa karbon baru bisa dimulai pada 2024 mendatang. Ke depan, KLHK pun akan terus berkolaborasi dengan pihak otoritas maupun berbagai sektor lainnya.

"Ini penting banget, karena (takut) kalau sistem yang kita siapkan, regulasi yang kita siapkan perangkatnya ternyata tidak match dengan apa yang dijalankan OJK. Jadi komunikasi ini menjadi sangat penting, dari awal terus dilakukan dulu," imbuhnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya