Indonesia dan Malaysia Kerja Sama Lawan Diskriminasi Sawit Eropa

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan hasil pertemuan dengan Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia, Dato' Sri Haji Fadillah bin Yusof

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 09 Feb 2023, 17:00 WIB
Diterbitkan 09 Feb 2023, 17:00 WIB
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan hasil pertemuan dengan Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia, Dato' Sri Haji Fadillah bin Yusof
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan hasil pertemuan dengan Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia, Dato' Sri Haji Fadillah bin Yusof (dok: Maul)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto atau Menko Airlangga menyampaikan hasil pertemuan dengan Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia, Dato' Sri Haji Fadillah bin Yusof terkait diskriminasi Uni Eropa terhadap minyak sawit mentah (CPO).

Pertemuan itu dilaksanakan guna merespons European Green Deal, sebuah aturan baru yang mendorong negara-negara Benua Biru untuk mengkonsumsi komoditas bebas deforestasi, sehingga memperketat penjualan produk sawit dan turunannya.

Menko Airlangga menyatakan, RI-Malaysia sepakat untuk terus melindungi sektor kelapa sawit dengan memperkuat upaya dan kerjasama mengatasi diskriminasi sawit Eropa.

Menindaki hal itu, kedua negara sepakat untuk memanfaatkan keterlibatan negara-negara pengimpor utama sawit yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) untuk bernegosiasi dengan Eropa.

Sekaligus strategi untuk meraup pengakuan lebih luas di pasar global soal kebijakan sawit yang telah dicanangkan oleh Indonesia dan Malaysia, yakni Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Malaysia Sustainable Palm Oil (MSPO).

"Terkait kesepakatan politik tentang proposal komoditas bebas deforestasi di Uni Eropa, pertemuan ini sepakat untuk melakukan misi bersama ke Uni Eropa, untuk mengkomunikasikan dan mencegah konsekuensi yang tidak diinginkan ke sektor kelapa sawit, dan mencari kemungkinan kolaboratif, pendekatan di antara pihak-pihak yang berkepentingan," ujar Airlangga di Mandarin Oriental Hotel, Jakarta, Kamis (9/2/2023).

"CPOPC bermaksud untuk terus terlibat dengan Uni Eropa untuk mencari hasil yang menguntungkan bagi negara produsen maupun konsumen," imbuhnya.

 

Terbang ke India

Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Seorang pekerja mengangkut cangkang sawit di atas rakit di sebuah perkebunan sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Guna menunjang misi tersebut, RI dan Malaysia juga bakal melawat ke India yang sudah mengakui kebijakan ISPO dan MSPO.

"Kami juga sepakat setelah misi bersama ke Uni Eropa, kami juga akan lakukan kunjungan ke India untuk memanfaatkan beberapa peluang potensial," kata Airlangga.

Selain India, Indonesia dan Malaysia juga bakal menggandeng Honduras, negara produsen sawit di Amerika Tengah untuk bergabung menjadi anggota CPOPC.

"Pertemuan juga membahas strategi perluasan keanggotaan CPOPC. Tadi telah disepakati untuk memasukan Honduras untuk jadi anggota ketiga CPOPC dalam waktu dekat," sebut Airlangga.

 

Sawit Cuma Dibikin Minyak Goreng, Indonesia Tak Syukuri Berkah Tuhan

Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Seorang pekerja membawa cangkang sawit di sebuah perkebunan sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, menilai bahwa Indonesia seolah tak mensyukuri berkah Tuhan terhadap pohon kelapa sawit. Pasalnya, pelaku industri domestik hanya mau memanfaatkan tandan buah setara (TBS) sawit hanya untuk produk minyak goreng saja.

Padahal, negara-negara Eropa sudah lebih jauh memanfaatkan sawit untuk kepentingan lain yang dampaknya lebih luas, dan punya nilai ekonomi lebih tinggi.

"Kita bikin minyak goreng sawit seolah kita tak percaya Tuhan. Konsep Eropa mulai 1992 membuat sawit itu tujuan utamanya apa? Yaitu lemak, sebagai pengganti lemak binatang dan lemak ikan. Dan juga lampu-lampu, dan dulu dipakai lubrikan," paparnya saat ditemui di Jakarta, dikutip Minggu (22/1/2023).

"Terus ada ahli Prancis menemukan bahwa minyak sawit itu sama dengan lemak binatang, ada gliserin ada fatty acid. Oleh karena itu cocok untuk bikin produk lain," ujar Sahat.

Sahat lantas mencontohkan Port Sunlight, sebuah pemukiman pekerja di kawasan Merseyside, Liverpool, Inggris yang dulunya berkembang berkat sukses memaksimalkan potensi sawit di luar sekadar minyak goreng.

"Maka itu kalau kau ke Liverpool, ada pelabuhan Port Sunlight. Itu mulai abad 18 dibuat Port Sunlight. Kenapa? Mula-mula sawit digunakan untuk sabun, itu Inggris (yang mulai)," ungkapnya.

Di sisi lain, Indonesia sebagai penghasil kelapa sawit terbesar dunia terlena dengan iming-iming ekspor TBS sawit. Setelah bahan mentah itu diambil dan diolah negara luar sehingga punya nilai ekonomi lebih tinggi, Indonesia kembali membelinya untuk dikonsumsi.

"Nah, mereka hanya perlu itu. Kita saking bodohnya ikut terus. Padahal vitamin di dalam itu bayangkan, itu pemberian Tuhan, kita mubazirkan. Kita buang. Kita malah mau minyak goreng yang putih. Kita lebih seneng mata dibanding otak," keluhnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya