Liputan6.com, Jakarta Dana Moneter Internasional (IMF) meramal ekonomi Rusia akan mengalami keruntuhan imbas perang di Ukraina yang mempengaruhi komoditas global.
Mengutip CNN Business, Kamis (9/3/2023) Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan bahwa prospek ekonomi Rusia setelah tahun 2023 cukup berada di ambang keruntuhan.
"Ketika Anda mengambil proyeksi kami dalam jangka menengah, artinya adalah (ekonomi) Rusia menyusut setidaknya 7 persen," kata Georgieva dalam sebuah wawancara dengan CNN.
Advertisement
Pada bulan Januari, IMF memproyeksikan ekonomi Rusia akan tumbuh sebesar 0,3 persen tahun ini dan 2,1Â persen tahun depan.
Angka tersebut menandai prospek yang lebih optimis daripada perkiraan terbaru dari Bank Dunia dan OECD.
Para ekonom di kelompok itu kini memperkirakan kontraksi masing-masing sebesar 3,3 persen dan 5,6 persen pada tahun 2023.
Georgieva menyebut, ekonomi Rusia akan melihat penurunan dari waktu ke waktu karena para pekerja beremigrasi dan akses ke teknologi terputus, serta sanksi terhadap industri energinya.
"Tahun ini yang kami renungkan adalah bahwa Rusia telah berhasil mengarahkan sebagian penjualan minyak (nya) di luar pasar Uni Eropa," katanya, mengacu pada keberhasilan Rusia dalam mengubah rute pengiriman minyak mentah ke China dan India.Â
"Tetapi itu tidak akan menjadi dampak yang bertahan lama bagi ekonomi Rusia," ujarnya.
"Kami sama sekali tidak melihat Rusia mendapat manfaat dari apa yang telah mereka lakukan terhadap Ukraina dan diri mereka sendiri," ucapnya.
Pada hari Senin, pemerintah Rusia melaporkan defisit anggaran sebesar 2,58 triliun rubel (USD 34 miliar) untuk Januari dan Februari, dibandingkan dengan surplus 415 miliar (USD 5,5 miliar) rubel pada periode yang sama tahun 2022. Dilaporkan pendapatan minyak dan gas negara itu telah turun 46 persen year on year.
Â
Raksasa, Simak Kerugian Ekonomi Global dari Perang Rusia Ukraina
Perang Rusia Ukraina telah merugikan ekonomi global hingga lebih dari USD 1,6 triliun pada 2022 lalu.
Hal itu diungkapkan dari sebuah penelitian yang dirilis oleh German Institute of Economics.
Mengutip Anadolu Agency, Kamis (23/2/2023) penelitian German Institute of Economics juga mengungkapkan bahwa, kerugian produksi global akibat perang Rusia Ukraina dapat bertambah USD 1 triliun atau lebih di tahun 2023 ini.
Penghitungan model lembaga ini didasarkan pada produk domestik bruto (PDB). Prakiraan dari Dana Moneter Internasional (IMF) menjadi dasar perhitungan dan estimasi.
Dalam studi ini, perkembangan aktual PDB pada 2022 dan perkiraan untuk tahun 2023 dibandingkan dengan perkembangan yang dilihat semula sebelum pPerang Rusia Ukraina pada akhir tahun 2021.
Seperti diketahui, konflik Rusia Ukraina telah memicu gangguan pasokan dan produksi di seluruh dunia. Selain itu, harga energi juga meroket. Masalah ini diperburuk dengan lonjakan inflasi di negara negara maju, yang mengurangi daya beli konsumen.
"Mengingat prospek ekonomi yang tidak pasti, kenaikan biaya pembiayaan akibat kenaikan suku bunga di seluruh dunia dan kenaikan biaya barang modal, perusahaan di seluruh dunia menahan investasi mereka," beber studi German Institute of Economics.
Namun untuk tahun ini, penulis studi memperkirakan kerugian absolut akan sedikit lebih rendah daripada tahun 2022.Â
Alasan dari perkiraan itu adalah, karena adanya pelonggaran pasar bahan baku dan energi global.
Advertisement
Bahaya, Krisis Energi Bisa Bikin 141 Juta Orang Masuk Jurang Kemiskinan Ekstrem
Krisis energi yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina berisiko mendorong 141 juta orang di seluruh dunia ke dalam kemiskinan ekstrem.Â
Hal itu diungkapkan oleh laporan baru yang diterbitkan dalam jurnal Nature Energy.
Melansir CNN Business, Selasa (21/2/2023) dalam jurnal Nature Energy para peneliti dari Belanda, Inggris, China, dan Amerika Serikat membuat model dampak kenaikan harga energi di 116 negara dan menemukan bahwa pengeluaran rumah tangga meningkat rata-rata hingga 4,8 persen.
Naiknya pengeluaran ini karena harga batu bara dan gas alam melonjak menyusul pecahnya perang Rusia-Ukraina, menambahkan kenaikan pasca pandemi.
Di negara-negara berpenghasilan rendah, laporan tersebut mengatakan rumah tangga miskin yang sudah menghadapi kekurangan pangan yang parah memiliki risiko kemiskinan yang lebih besar karena biaya energi yang tinggi.
Tak hanya itu, rumah tangga di negara-negara berpenghasilan tinggi juga merasakan dampak kenaikan biaya energi, tetapi lebih mungkin untuk menyerapnya ke dalam anggaran rumah tangga, kata laporan itu.
Selain itu, sejumlah negara juga ada yang sangat terekspos dengan lonjakan biaya energi.
Salah satunya, kenaikan biaya energi di Estonia, Polandia, dan Republik Ceko berada di atas rata-rata global, terutama karena negara-negara tersebut lebih mengandalkan industri padat energi. Polandia khususnya mengandalkan batu bara untuk 68,5 persen pembangkit energinya, pada tahun 2020.
Kenaikan biaya energi yang disebabkan oleh krisis di Ukraina juga berdampak pada meningkatnya biaya kebutuhan pangan.
Dibandingkan tahun lalu, harga telur di AS naik 70,1 persen, margarin naik 44,7 ersen, mentega 26,3 persen, tepung 20,4 persen, roti 14,9Â persen, gula 13,5 persen dan harga ayam naik 10,5Â persen bersama-sama dengan buah, menurut data inflasi yang dirilis Biro Statistik Tenaga Kerja AS bulan ini.