Liputan6.com, Jakarta - Para ahli mengatakan bahwa mengurangi konsumsi daging dan produk susu dapat menjadi kunci untuk mengatasi krisis iklim di Asia Tenggara.
Namun, apakah para konsumen atau warga Asia Tenggara akan bersedia melakukannya?
Baca Juga
Jika di wilayah Asia Tenggara ingin mencegah pemanasan global, maka harus mengurangi produksi protein hewani dan beralih ke protein nabati, hasil budi daya, dan sumber-sumber alternatif lainnya pada tahun 2030.
Advertisement
Demikian menurut laporan terbaru dari Asia Research Engagement (ARE), sebuah organisasi yang berbasis di Singapura yang berfokus pada investasi dalam pembangunan berkelanjutan.
Pada tahun 2060, protein alternatif di Asia Tenggara dan negara-negara Asia Pasifik lainnya harus mencapai lebih dari setengah produksi protein, laporan tersebut menambahkan.
"Untuk mencapai hal ini, diperlukan pendanaan khusus, yang membutuhkan komitmen berkelanjutan dari industri makanan Asia, investor dan bank," demikian laporan itu melansir laman CNBC, Kamis (17/8/2023).
Produksi ternak skala besar secara luas dianggap sebagai penghasil emisi karbon yang besar dan juga penyebab utama deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Hal ini dikarenakan para pemasok menebangi hutan untuk menanam pakan ternak seperti bungkil kedelai dan membangun peternakan baru.
Menurut laporan tersebut, produksi ternak meninggalkan jejak lingkungan yang lebih besar daripada gabungan semua tanaman yang dapat dimakan karena lebih intensif sumber daya, juga menggunakan lebih banyak lahan, air, hewan, dan antibiotik.
Negara-negara Asia Pemasok Lebih Dari Separuh Protein Hewani di Dunia
Meskipun ini merupakan masalah global, ini sangatlah penting bagi negara-negara Asia karena benua ini merupakan pemasok lebih dari separuh protein hewani dunia, termasuk hewan darat dan makanan laut, demikian ungkap ARE dalam laporannya.
Selain itu, wilayah ini merupakan rumah bagi beberapa populasi dengan pertumbuhan tercepat, yang telah meningkatkan konsumsi daging.
Pada tahun 2020, Malaysia dan Vietnam mengonsumsi antara 8,9 hingga 12,3 kilogram protein per kapita dari daging dan makanan laut, jauh di atas tingkat yang direkomendasikan oleh The EAT-Lancet Commission, sebuah kelompok ilmuwan global, demikian data dari ARE menunjukkan.
"Hal ini menjadi sangat bermasalah karena sebagian besar kedelai yang diberikan kepada hewan ternak di Asia diimpor dari Brasil, Argentina, dan Paraguay," ujar Mirte Gosker, Direktur pelaksana The Good Food Institute Asia Pasifik, sebuah wadah pemikir yang berfokus pada protein alternatif. Hal ini menambah jejak lingkungan secara keseluruhan dari produksi hewan ternak.
Â
Advertisement
Pemikat Protein Alternatif
Baik yang berasal dari tumbuhan, hasil fermentasi, maupun yang ditanam di laboratorium, protein alternatif sama pentingnya bagi keamanan iklim seperti halnya energi terbarukan atau pengurangan penggunaan plastik sekali pakai, demikian kata para ahli.
Setiap dolar yang diinvestasikan dalam produksi daging dan produk susu alternatif menghasilkan pengurangan gas rumah kaca tujuh kali lebih banyak daripada bangunan hijau dan sebelas kali lebih banyak daripada mobil tanpa emisi, menurut laporan Boston Consulting Group pada tahun 2022.
Para investor tentu saja menaruh perhatian.
Modal ventura yang diinvestasikan dalam protein alternatif telah melonjak dari 1 miliar USD atau Rp1,3 triliun (estimasi kurs rupiah 15.334 per dolar AS) pada tahun 2019 menjadi 5 miliar USD atau Rp76,5 triliun pada tahun 2021, menurut The Good Food Institute.
Â
Dampak Pengembangan Protein Alternatif Terhadap Iklim
Perusahaan fermentasi yang berfokus pada protein alternatif memperoleh investasi sebesar 1,7 miliar USD atau Rp26Â triliun pada tahun 2021, dibandingkan dengan 600 juta USD atau Rp9,1 triliun pada tahun 2020, sementara perusahaan daging dan makanan laut yang dibudidayakan memperoleh investasi sebesar 1,4 miliar USD atau Rp21,4 triliun, dibandingkan dengan 400 juta USD atau Rp6,1 triliun yang diperoleh pada tahun 2020, berdasarkan data dari The Good Food Institute.
Perusahaan-perusahaan makanan terkemuka di Asia Tenggara juga turut memperhatikan hal ini.
CP Foods dari Thailand, misalnya, memperluas merek Meat Zero yang berbahan dasar nabati di Singapura dan Hong Kong sebagai bagian dari kampanye untuk meningkatkan konsumsi protein alternatif di seluruh Asia.
Meskipun produk nabati seperti tahu, tempe, dan kacang-kacangan telah lama menjadi bagian dari pola makan tradisional Asia, produk ini secara historis tidak berfungsi sebagai pengganti daging dalam budaya makanan Asia, kata ARE.
"Jika negara-negara memprioritaskan produksi dan pengembangan protein alternatif, hasil yang diperoleh dari iklim bisa sangat besar," kata Gosker.
Namun, produksi makanan yang aman bagi iklim juga membutuhkan energi, katanya. Daging yang dibudidayakan membutuhkan penggunaan listrik di fasilitas produksi sehingga perlu mengandalkan energi terbarukan agar berkelanjutan.
Advertisement
Preferensi Pelanggan
Agar Asia Tenggara dapat memenuhi target Asia Research Engagement untuk beralih ke protein alternatif pada tahun 2030, kebijakan pemerintah, strategi perusahaan, dan pembiayaan multilateral harus selaras.
Namun, hal yang paling penting adalah preferensi konsumen.
Michelle Huang, analisis makanan konsumen di Rabobank, mengatakan kepada CNBC bahwa konsumen akan menjadi faktor penentu pertumbuhan protein alternatif di masa depan. Saat ini, konsumen sering mengutip rasa, tekstur, dan harga sebagai penghalang utama untuk mengkonsumsi protein alternatif, ujarnya.
"Kami belum melihat adanya terobosan teknologi untuk mencapai kesamaan rasa dan harga (atau mendekati kesamaan) dengan produk daging konvensional," tambah Huang. "Tanpa peningkatan rasa dan harga yang berkelanjutan, merek akan kesulitan untuk mengubah rasa penasaran konsumen menjadi pembelian berulang."
Perusahaan membutuhkan pembelian berulang untuk menjustifikasi investasi dalam membangun skala, yang sangat penting untuk menurunkan biaya produksi.
Solusi Untuk Praktik Produk Susu dan Peternakan Berkelanjutan
Daripada terlalu fokus pada protein alternatif, Huang merekomendasikan solusi untuk praktik produk susu dan peternakan yang berkelanjutan.
Di sektor produk susu, misalnya, semakin banyak pemain yang berambisi untuk melakukan proses dekarbonisasi dengan menggunakan pembangkit listrik tenaga biogas, yang mengubah kotoran sapi menjadi listrik, katanya.
Pada akhirnya, para ahli secara luas sepakat bahwa lebih banyak investasi dari pemangku kepentingan publik dan swasta dalam penelitian dan pengembangan diperlukan agar protein alternatif dapat menembus konsumsi pasar massal.
Seiring dengan peningkatan infrastruktur, pekerja lokal yang sangat terampil juga akan dibutuhkan untuk bekerja di bidang mesin infrastruktur dan ruang laboratorium, kata Gosker.
Advertisement