Mitigasi Polusi Udara Terhalang Kebijakan Eropa soal Pajak Karbon

Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan untuk memitigasi peningkatan emisi karbon, salah satunya melalui instrumen pajak karbon.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 24 Agu 2023, 14:30 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2023, 14:30 WIB
Ilustrasi emisi karbon (unsplash)
Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan untuk memitigasi peningkatan emisi karbon, salah satunya melalui instrumen pajak karbon. Sayangnya, itu baru bisa diterapkan per 2025 mendatang, sesuai permintaan Eropa.

"Eropa minta 2025," ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Shangri La Hotel Jakarta, Kamis (24/8/2023).

Menko Airlangga lantas menjelaskan, penerapan pajak karbon perlu disesuaikan dengan mekanisme perdagangan karbon (carbon trading). Sehingga dibutuhkan langkah insentif dan disinsentif.

"Jadi dua-duanya harus kita laksanakan, karena pajak karbon diperlukan juga untuk mengantisipasi carbon border adjusted mechanism (CBAM) yang akan diberlakukan di Eropa di tahun 2025," terangnya.

Harapan Pemerintah

Dalam konteks ini, Menko Airlangga berharap tiap perusahaan yang ikut perdagangan karbon sudah memiliki karbon kredit lewat. bursa karbon. Baru kemudian mekanisme pajak karbon bisa diimplementasikan.

"Jadi untuk produk-produk, kita harapkan bahwa mereka sudah punya karbon kreditnya melalui bursa karbon. Kedua, baru pajak karbon. Jadi itu dua hal yang saling melengkapi," kata Airlangga.

 

Bukan Pertama Kali

Hutan Bakau di Pesisir Marunda Memprihatinkan
Kondisi hutan bakau di pesisir kawasan Marunda, Jakarta, Selasa (27/8/2019). Tutupan hutan tersebut berakibat bertambahnya emisi karbon dioksida hingga 4,69 kilo ton. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Adapun kemunduran penerapan pajak karbon ini merupakan penundaan yang kesekian kali, setelah pada akhir 2021 pemerintah berencana mengimplementasikan pajak karbon yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan mulai 1 April 2022.

Kala itu, pemerintah beralasan implementasinya diundur untuk menunggu kesiapan mekanisme pasar karbon.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat mengutarakan, emisi karbon belum bernilai di mata masyarakat Indonesia. Banyak pihak tidak peduli untuk memutuskan penerapannya.

Sehingga, pemerintah memutuskan mekanisme pasar jadi salah satu syarat penting bagi setiap orang untuk menyadari bahwa kualitas lingkungan sudah semakin memburuk.

"Itu sebabnya ada nilai polusi, prinsip pembayaran polusi perlu diperkenalkan. Itu sebabnya Indonesia memperkenalkan pasar karbon," ujar Sri Mulyani.

 

 

 

 

 

CEO Petronas: Asia Harus Lebih Dulu Nol Emisi Karbon Sebelum Dunia

FOTO: Aksi Bersepeda Sebagai Solusi Kurangi Emisi dan Karbon
Pegiat bersepeda dan aktivis pecinta lingkungan saat aksi gowes Kelap Kelip Jakarta Night Ride #NOP26 di Kawasan Dukuh Atas, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat (26/11/2021). Aksi bertujuan untuk mendorong penggunaan sepeda sebagai solusi transportasi nol emisi. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Negara-Negara di Asia perlu mencapai emisi nol sebelum seluruh dunia bisa melakukannya. Hal ini  diungkap oleh CEO perusahaan minyak dan gas milik Malaysia Petronas Tengku Muhammad Taufik.

“Sebagian besar emisi yang diperkirakan akan diproduksi di Asia ke depan,” kata Tengku Muhammad Taufik di sela-sela acara Energy Asia di Kuala Lumpur, Malaysia dikutip dari CNBC, Jumat  (30/6/2023).

“Dunia tidak dapat mencapai net zero tanpa Asia mencapai net zero,” ujar Taufik saat membuka pidato puncak. Asia akan mewakili setengah dari PDB global pada 2040, serta 40 persen dari konsumsi global, tambahnya.

Ia menjelaskan, sasaran transisi energi yang diwujudkan dalam Perjanjian Paris tidak dapat dilakukan oleh satu industri, atau satu pembuat kebijakan, atau satu negara saja.

Pemerintah dunia sepakat dalam kesepakatan iklim Paris 2015 untuk membatasi pemanasan global di bawah 2°C, dibandingkan dengan tingkat pra-industri, dan melakukan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C.

 

Bahan Bakar Batu Bara

PLN memastikan terus pemenuhan pasokan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sesuai rencana. Foto: PLN
PLN memastikan terus pemenuhan pasokan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sesuai rencana. Foto: PLN

Menurut laporan bulan Maret oleh Badan Energi Internasional, emisi dari ekonomi berkembang Asia dan pasar berkembang tumbuh lebih tinggi dari wilayah lain pada 2022 naik sebesar 4,2 persen. Lebih dari setengah peningkatan ini disebabkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.

Berusaha untuk menekan penggunaan bahan bakar fosil atau sepenuhnya meninggalkannya, belum tentu menjadi jalan ke depan, kata Taufik. Dia menambahkan bahwa dekarbonisasi total dalam semalam adalah narasi idealis.

Memasukkan bahan bakar fosil sebagai bagian dari basis energi, setidaknya untuk paruh pertama abad ini, diperlukan jika dunia ingin menjauh dari guncangan pasokan energi, ujarnya.

“Sayangnya, narasi hingga saat ini didorong oleh kaum idealis. Ekstremis yang percaya ada saklar biner yang dalam semalam kita dapat beralih dari Sistem A ke Sistem B,” katanya, merujuk pada Sistem A sebagai ekonomi yang didukung bahan bakar fosil yang melekat, dan Sistem B sebagai dekarbonisasi menjadi nol karbon dalam semalam.

Dunia belum memikirkan ekosistem lengkap yang datang dengan penerapan Sistem B, seperti persyaratan mineral dan logam serta masalah rantai pasokan yang perlu diselesaikan terlebih dahulu, tambah Taufik.

“Namun kami berusaha untuk meninggalkan bahan bakar fosil secara ekstrim tanpa membiarkan industri menghadapi tantangan emisi yang melekat,” katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya