Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Asosiasi Fintech Pembayaran Bersama Indonesia (AFPI), Entjik S Djafar,, menyoroti kehadiran fintech pinjol ilegal yang membebani konsumen dengan bunga tak masuk akal. Mereka tumbuh gara-gara perilaku konsumen yang meminjam untuk kebutuhan konsumtif.
Entjik menyampaikan, dari sekitar 120 juta peminjam, kurang lebih 70 juta konsumen meraup pembiayaan untuk pinjaman produktif. Di sisi lain, sejumlah korban pinjol ilegal banyak yang berutang pinjaman konsumtif.
Baca Juga
"Banyak karyawan yg mohon maaf, tidak hanya terjadi di Indonesia, di negara lain, Singapura, China, Thailand, anak muda yang pengalaman kerja 5 tahun ke bawah gajian tanggal 25, tanggal 10 sudah habis," paparnya di Jakarta, Jumat (6/10/2023).
Advertisement
"Sehingga ini banyak yang menggunakan (pinjaman) untuk bridging. Dia gajian Rp 5 juta, dia ambil Rp 1 juta, untuk bensin, makan, sampai tanggal 25. Nanti tanggal 25 lunas lagi," dia menambahkan.
Dia menyatakan, AdaKami sebenarnya tidak bermasalah kepada karyawan yang meminjam untuk kepentingan di luar bisnis. Selama skor kredit sang peminjam juga tidak bermasalah.
"Hebatnya fintech, mau jam 2 pagi, besok enggak ada bensin nih, dia jam 2 pagi minta di AdaKami. Karena sudah berkali-kali hanya waktu 5 menit sudah ke rekening kreditnya. Tergantung skor kredit bagus atau enggak," imbuhnya.
"Kalau dia disiplin, AdaKami langsung kasih. Jadi ini kalau dibilang pinjol mengerikan, enggak gitu juga. Kita lihat sisi baiknya, berapa juta karyawan yang dibantu. Kalau AdaKami borrower sudah puluhan juta, seberapa banyak yang dibantu untuk bridging," ujar Entjik.
Oleh karenanya, ia mengimbau peminjam untuk mengambil dana di pinjol sesuai kebutuhan. Dia pun kembali tak mempermasalahkan tujuan dari pinjaman tersebut, selama yang bersangkutan tidak mengabaikan kewajibannya. "Pinjam sesuai kebutuhan, jangan konsumtif. Kalau karyawan disiplin, dia sangat terbantu. Berapa banyak yang lakukan disiplin ini, banyak sekali. Kita punya loyal customer bisa sampai 70 persen," pungkas Entjik.
KPPU Duga Ada Kartel Bunga Pinjol, OJK Diminta Turun Tangan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai menyelidiki dugaan pengaturan bunga pinjaman online (pinjol) yang dijalankan asosiasi pinjol. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diminta turut berperan dalam mengatur bunga pinjol tersebut.
Kepala Pusat Peneliti Ekonomi Digital dan UMKM Indef Nailul Huda menyebut, penetapan besaran bunga pinjol yang dilakukan Asosiasi perlu dilihat lebih jauh. Apakah itu sebagai rekomendasi semata atau wajib diikuti seluruh anggota asosiasi.
"Tergantung apakah penetapan itu bersifat memaksa atau menjadi acuan saja. Jika menjadi acuan, maka konsepnya akan seperti penetapan suku bunga LPS ataupun BI karena sifatnya adalah acuan saja," ujarnya kepada Liputan6.com, Jumat (6/10/2023).
Diketahui, KPPU menduga dalam Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) ada upaya bersama-sama menetapkan bunga pinjol 0,8 persen per hari. Alhasil, ini dinilai bisa menciderai praktik persaingan usaha.
Huda menyebut, AFPI harus mengacu pada OJK dalam penentuan bunga pinjol harian itu. Ditambah lagi, menurutnya, OJK bisa memiliki kewenangan lebih untuk menentukan bunga pinjol.
"Tentu AFPI juga harus mengacu kepada OJK dalam penetapan acuan suku bunga harian tersebut. Jika saya sarankan juga, OJK mempunyai kewenangan juga untuk penetapan suku bunga harian tersebut agar tidak terkesan industri yang “menentukan” suku bunga," terangnya.
Advertisement
Regulasi
Dengan demikian, diperlukan langkah regulasi yang jelas agar menjadi payung hukum aturan tadi. Tujuannya, menciptakan win-win solution antara pelaku usaha dan konsumen pinjol.
"Maka OJK perlu peraturan yang bisa menjadi rujukan bahwa ada pengaturan mengenai bunga agar tidak memberatkan borrower plus tetap bisa menjadikan lender tertarik," ujar dia.
"Setahu saya AFPI punya perhitungan sesuai dengan bisnis model dan cost mereka. Selain itu, memang disesuaikan dengan suku bunga yang diterima oleh lender," sambung Huda.