Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan suku bunga acuan atau BI rate dalam hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung pada 21-22 Mei 2024.
Citi Indonesia berharap Bank Indonesia akan mempertahankan suku bunga acuan (BI-Rate) di level 6,25%, suku bunga Deposit Facility tetap 5,50%, dan suku bunga Lending Facility tetap 7,00%.
Ekonom Citi Indonesia Helmi Arman, mengatakan bahwa pihaknya memproyeksikan BI rate pada bulan ini akan tetap dan tidak ada kenaikan. Bahkan ke depan diharapkan bisa turun seiring dengan ekspektasi The Fed yang akan menurunkan suku bunga di kuartal III-2024.
Advertisement
"Kita ekspektasinya ditetapkan di level sekarang dan karena ekspektasi kita the Fed sudah akan menurunkan suku bunga di kuartal III jadi kita memperkirakan tidak ada kenaikan lagi," kata Helmi saat ditemui usai konferensi pers kinerja keuangan Citi Indonesia, di Jakarta, Rabu (22/5/2024).
Menurutnya, setelah the Fed menurunkan suku bunga perkiraannya Bank Indonesia bisa mengikuti langkah tersebut, walaupun kadar atau kecepatan dari penurunan suku bunga BI rate akan lebih lambat atau lebih rendah dibandingkan penurunan suku bunga the Fed.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan di tengah dinamika ekonomi keuangan global berubah cepat dengan risiko dan ketidakpastian meningkat karena perubahan arah kebijakan moneter AS dan memburuknya ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Serta tetap tingginya inflasi dan kuatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS), mendorong spekulasi penurunan Fed Funds Rate (FFR) yang lebih kecil dan lebih lama dari prakiraan (high for longer) sejalan pula dengan pernyataan para pejabat Federal Reserve System.
Ketidakpastian Global
Perkembangan ini dan besarnya kebutuhan utang AS mengakibatkan terus meningkatnya yield US Treasury dan penguatan dolar AS semakin tinggi secara global. Semakin kuatnya dolar AS juga didorong oleh melemahnya sejumlah mata uang dunia seperti Yen Jepang dan Yuan Tiongkok.
Di sisi lain ketidakpastian pasar keuangan global semakin buruk akibat eskalasi ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Akibatnya, investor global memindahkan portfolionya ke aset yang lebih aman khususnya mata uang dolar AS dan emas, sehingga menyebabkan pelarian modal keluar dan pelemahan nilai tukar di negara berkembang semakin besar.
Ke depan, risiko terkait arah penurunan FFR dan dinamika ketegangan geopolitik global akan terus dicermati karena dapat mendorong berlanjutnya ketidakpastian pasar keuangan global, meningkatnya tekanan inflasi, dan menurunnya prospek pertumbuhan ekonomi dunia.
Menurut Perry, kondisi ini memerlukan respons kebijakan yang kuat untuk memitigasi dampak negatif dari rambatan ketidakpastian global tersebut terhadap perekonomian di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Advertisement