Liputan6.com, Jakarta Larangan Penjualan LPG 3 Kg di Pengecer Tuai Kritikan TajamPada 1 Februari 2025, pemerintah resmi melarang penjualan Liquefied Petroleum Gas atau LPG 3 Kg di pengecer, sehingga distribusi hanya diperbolehkan melalui pangkalan atau penyalur resmi Pertamina.
Kebijakan ini, yang diputuskan oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, mendapat kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi.
Advertisement
Baca Juga
Menurut Fahmy, kebijakan ini merupakan sebuah "blunder" karena berpotensi mematikan usaha kecil dan menyulitkan konsumen.
Advertisement
"Kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia merupakan kebijakan blunder karena mematikan usaha kecil, menyusahkan konsumen, dan melanggar komitmen Presiden Prabowo yang berpihak pada rakyat kecil," ujar Fahmy kepada Liputan6.com, Selasa (4/2/2025).
Sebagian besar pengecer LPG 3 Kg adalah pengusaha kecil dan warung-warung yang mengandalkan penjualan gas elpiji sebagai sumber penghidupan mereka. Larangan ini berisiko membuat mereka kehilangan pendapatan dan berujung pada meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan.
Pengusaha Kecil Terancam Kehilangan Mata Pencaharian
Fahmy menegaskan bahwa pengecer LPG 3 Kg merupakan bagian dari pengusaha kecil yang sangat bergantung pada sektor ini untuk bertahan hidup. Mereka tidak hanya menjual barang, tetapi juga berperan penting dalam distribusi energi rumah tangga bagi masyarakat miskin.
Menurutnya, dengan kebijakan baru ini, pengecer harus mengubah status mereka menjadi pangkalan atau penyalur resmi Pertamina agar bisa tetap menjual LPG 3 Kg. Namun, untuk menjadi pangkalan, dibutuhkan modal besar guna membeli LPG dalam jumlah banyak, sesuatu yang sulit dipenuhi oleh pengusaha kecil yang memiliki keterbatasan modal.
"Mustahil bagi pengusaha kecil untuk beralih menjadi pangkalan atau penyalur resmi Pertamina karena modal yang dibutuhkan tidak kecil untuk membeli LPG dalam jumlah besar," jelasnya.
Kebijakan ini tidak hanya menyulitkan pengecer LPG 3 kg, tetapi juga berdampak lebih besar pada konsumen, terutama mereka yang berasal dari kalangan ekonomi rendah.
Dampak Buruk bagi Konsumen
Bagi konsumen, terutama yang tinggal di daerah terpencil atau perkampungan, kebijakan ini menambah beban ekonomi. Pangkalan LPG 3 Kg umumnya berada jauh dari pemukiman mereka, sehingga konsumen harus menempuh jarak lebih jauh untuk mendapatkan LPG dengan harga yang lebih tinggi.
“Kebijakan Bahlil juga menyulitkan konsumen, yang mayoritas adalah rakyat miskin, karena mereka harus membeli LPG 3 Kg di pangkalan yang lokasinya jauh dari tempat tinggal mereka,” ungkap Fahmy.
Selain itu, perubahan sistem distribusi ini berpotensi menyebabkan kelangkaan pasokan LPG 3 Kg, yang dapat mendorong kenaikan harga serta meningkatkan risiko penyelewengan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Tak hanya berdampak negatif pada pengusaha dan konsumen, kebijakan ini juga dianggap bertentangan dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto, yang selama ini dikenal dekat dengan rakyat kecil.
Banyak pihak menilai bahwa kebijakan ini tidak mencerminkan kepentingan rakyat miskin, yang menjadi basis dukungan Prabowo.
Advertisement
Kemunduran Kebijakan
Fahmy menilai kebijakan ini sebagai langkah mundur dalam upaya pemerintah untuk meningkatkan akses energi bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Di satu sisi, pemerintah ingin meningkatkan pengawasan dan distribusi LPG, tetapi di sisi lain, kebijakan ini justru merugikan kelompok masyarakat bawah.
"Larangan pengecer menjual LPG 3 Kg bertentangan dengan komitmen Presiden Prabowo yang berpihak kepada rakyat kecil, baik pengusaha kecil maupun konsumen dari kalangan miskin," pungkasnya.