Liputan6.com, Jakarta - Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini lagi-lagi tak ada prestasi ditunjukkan sepak bola Indonesia. Justru sebaliknya, tahun 2015 ini mungkin bisa dicatat sebagai tahun terburuk dalam sejarah sepak bola kita.
Tanggal 30 Mei, secara resmi FIFA menjatuhkan sanksi pembekuan kepada PSSI karena adanya intervensi dari Pemerintah. Imbasnya, Indonesia tidak bisa tampil di ajang internasional yang berafiliasi ke FIFA. Boro-boro mau berprestasi, tampil di ajang internasional saja tidak diperbolehkan.
Sanksi dari FIFA ini tentu tidak datang tiba-tiba. Ini buah dari konflik berkepanjangan PSSI dengan Kemenpora. Seperti diketahui, pertengahan April, Menpora membekukan PSSI, karena dianggap membangkang. Tindakan Menpora inilah yang diterjemahkan FIFA sebagai "intervensi".
Menpora sendiri bukan tanpa alasan membekukan PSSI. Mereka menganggap PSSI tak mengindahkan permintaan mereka agar tidak menggulirkan ISL 2015 karena ada dua tim yang dianggap tak memenuhi syarat. Begitu juga saat diberi surat peringatan.
Sebenarnya, jika kedua belah pihak, PSSI dan Menpora, mau sama-sama menahan diri, hal ini tak perlu terjadi. Bukankah mereka sama-sama mengklaim bekerja untuk kepentingan sepak bola nasional?
Baik Menpora dan PSSI sama-sama ingin sepak bola Indonesia menjadi lebih baik. Mereka ingin membasmi mafia sepak bola yang sudah pada tahap meresahkan.
Dengan payung hukum masing-masing, keduanya sama-sama keukeuh. Menpora menggunakan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Sementara PSSI dengan statuta FIFA-nya yang kaku.
Tapi, apa yang terjadi sekarang? Kompetisi "mati suri", pemain, pelatih, wasit kehilangan mata pencaharian. Rakyat kecil kehilangan hiburan.
Sementara aksi bersih-bersih dari kasus suap dan pengaturan skor yang digembar-gemborkan tak juga terealisasi. Tim Sembilan ataupun Tim Transisi yang dibentuk Pemerintah belum juga terlihat aksinya membasmi sang mafia.
Junior Kena Imbas
Lebih mengenaskan lagi, sanksi FIFA ini juga berimbas kepada nasib adik-adik kita di timnas junior. Sama seperti kakak-kakak senior mereka, timnas junior juga dilarang tampil di ajang internasional.
Advertisement
Wajar, jika saat ini Indonesia berada di posisi ke-179 dalam peringkat FIFA, salah satu yang terburuk sepanjang sejarah.
Seruan kepada kedua pihak, Kemenpora dan PSSI untuk "islah", rujuk, "berdamai" tak lelah diserukan berbagai pihak. Namun,kedua pihak tampaknya masih bersikeras dengan pendirian masing-masing.
Ya, "benang kusut" sepak bola Indonesia, untuk sementara sepertinya masih sulit untuk diurai. Bahkan, kehadiran perwakilan FIFA, November lalu, tak mampu membuat hubungan tegang Menpora dan PSSI mencair. Pemerintah dengan jelas menyebut tak mau mengirim perwakilan d Tim Ad-Hoc bentukan FIFA. Mereka lebih memilih membentuk Tim Kecil.
Namun, tentu kita tak boleh berhenti berharap. Demi sepak bola Indonesia yang lebih baik, semoga saja masih ada jalan keluar demi mengurai benang kusut ini.
Sebab, sangat disayangkan, jika sepak bola yang sudah mendarah daging di negeri ini, harus berhenti denyutnya. Lihatlah betapa antusiasnya masyarakat saat Mahaka Sports, berinisiatif menggelar Piala Presiden demi mengisi kekosongan kompetisi.
Bahkan, Persib Bandung beserta bobotohnya pun bisa tampil di Jakarta, dengan aman, pada final Piala Presiden. Satu hal yang sebelumnya sulit dibayangkan.
Di sisi lain, sayang juga jika bakat-bakat sepak bola negeri ini menghilang begitu saja lantaran matinya sepak bola. Bagaimana kita mau melahirkan generasi terbaru setelah Andik Vermansyah dan Evan Dimas, jika sepak bola di negeri ini mati suri? Satu hal yang seharusnya menjadi renungan kita semua, yang mengaku peduli akan sepak bola negeri ini.