Liputan6.com, Jakarta Hanya tinggal beberapa hari lagi event Indonesia Fashion Week (IFW) 2015 dimulai. Ini adalah yang ke-4 kali IFW diselenggarakan. Kembali bertempat di Jakarta Convention Center, acara tersebut akan berlangsung pada 26 Februari - 1 Maret 2015. Bedanya dari tahun lalu, akan ada 2 panggung fashion show di IFW kali ini. Jelang dihelatnya acara, tepatnya pada Selasa (17/2/2015), sebuah konferensi pers digelar.
Poppy Dharsono selaku Pendiri Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia, Dina Midiani selaku Direktur IFW, wakil dari 4 lembaga pemerintah pendukung IFW yakni Kementrian Pariwisata, Kementrian Perindustrian, Kementrian Perdagangan, dan Kementrian Koperasi & UKM, serta pendukung-pendukung lainnya, seperti BNI, duduk berjejer di Balairung Soesilo Soedarman Gedung Sapta Pesona. Disebut dalam penjelasan Dina Midiani di konferensi pers ini bahwa target IFW adalah menjadikan Indonesia sebagai pusat mode dunia di tahun 2025.
Yang dikonsepkan oleh IFW sebagai pusat mode adalah pusat dari penciptaan desain dan tren, pusat produksi, dan pusat perdagangan mode. Termaktub dalam pencapaian status tersebut adalah terwujudnya peningkatakan kesejahteraan. “Menyejahterakan Indonesia melalui mode,” demikian kata Dina. Sebagai bagian dari upaya membangun aspek bisnis yang lebih fundamental pada dunia fesyen Indonesia, acara yang akan menghadirkan 32 fashion shows, seminar-seminar, dan workshops tersebut juga akan diisi dengan pameran dagang 747 brand lokal dimana didalamnya terdapat zona B2B (Business to Business) yang menggandeng buyer lokal maupun internasional.
Advertisement
Di samping kegiatan IFW itu sendiri, masing-masing perwakilan kementrian yang hadir pada konferensi ini juga memaparkan program-program kementriannya untuk memajukan industri fesyen Indonesia. Salah satu contohnya adalah program pendanaan dari Lembaga Pengelolaan Dana Bergulir KUMKM bentukan Pihak Kementrian Koperasi & UKM. Apa yang bisa dihasilkan dari industri fesyen memang menggiurkan. Tak perlu membayangkan bagaimana Prancis diuntungkan dengan segudang label high-fashion Paris seperti Hermes, Louis Vuitton, Chanel, dan Christian Dior.
Bahwa nilai ekspor produk fesyen Indonesia pada periode Januari-November 2014 mencapai angka US$ 12,5 miliar, seperti disebut oleh Direktur Pengembangan Produk Ekspor Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (Ditjen PEN) Kemendag, Sulistyawati, adalah sesuatu yang membuat mata terbuka lebar tentang apa yang bisa dicapai Indonesia dari kemajuan industri fesyennya saja. Jelas untuk mewujudkan industri fesyen Indonesia yang mumpuni ada berbagai persoalan yang perlu diselesaikan. Euis Saedah selaku Dirjen IKM Kementrian Perindustrian menyebut persoalan bahan baku sebagai satu permasalahan dunia fesyen Indonesia.
Kembali ke soal Indonesia sebagai pusat mode dunia di tahun 2025, perlu dipertanyakan hal-hal apa saja selain aspek bisnis yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan hal itu. Butuh kajian mendalam tentang bagaimana Paris, New York, London, dan Milan menyandang status sebagai world’s fashion capital. Kajian yang di dalamnya menyentuh bukan hanya soal bagaimana kota-kota itu dan label-label yang tumbuh di dalamnya berbisnis fesyen, tapi juga tentang aspek sosiokultural fesyen kota-kota itu dari masa ke masa. Belum lagi pertanyaan yang juga penting untuk dijawab adalah bagaimana kajian mendalam mengenai hal-hal itu dapat diterjemahkan dalam situasi fesyen global pada era ini. Era di mana The Big Four Fashion Capitals telah terbentuk yang pada akhirnya juga berpengaruh pada cara masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, memandang fesyen.
Bahasan kesemuanya itu akan berguna untuk mengevaluasi segenap cetak biru yang dibuat oleh IFW dan rekan-rekannya. Untuk membahas sebuah pernyataan pada rilis media yang dibagikan pada konferensi pers berbunyi “Untuk menarik perhatian dunia, industri mode Indonesia harus memiliki acuan tren sendiri berdasarkan konten lokal sebagai inspirasi namun tetap mengacu pada kecenderungan global”. Terhadap pernyataan itu, pisau yang bisa digunakan untuk menganalisis signifikansinya adalah pertanyaan tentang bagaimana sesungguhnya sebuah trend mode terbentuk.
Benarkah ada trend mode? Apa yang bisa dilihat dari gelaran-gelaran busana di Fashion Week dari New York, London, Milan, dan Paris? Apa di dalamnya bisa ditemukan trend mode itu? Ataukah masing-masing pemain fesyen di events tersebut punya bahasa fesyennya masing-masing? Sejenak melihat kondisi fesyen belahan bumi lain, Style.com pada 3 Februari 2015 menerbitkan sebuah artikel berjudul `Is Florence Becoming the World’s Fifth Fashion Capital?` Apa hal-hal yang bisa menjadikan Florence, Italia, sebagai ibu kota fesyen ke-5 (bukan sebagai pusat mode dunia)?
Salah satu yang disebut di artikel tersebut sebagai referensi adalah bahwa di Florence pada 21-23 April 2015 akan diselenggarakan Conde Nast International Luxury Conference pertama yang dikurasi oleh Suzy Menkes selaku editor International Vogue. Di acara itu, nama-nama besar dunia fesyen seperti Karl Lagerfeld dan Roberto Cavalli akan menjadi pembicara. Disebut pula bahwa Florence merupakan kota kelahiran label-label besar seperti Emilio Pucci, Gucci, dan Salvatore Ferragamo. Bukan bermaksud memandang sebelah mata target dari IFW. Namun merefleksikan secara kritis tentang tahun 2025 sebagai tahun Indonesia menjadi pusat mode dunia juga merupakan bentuk perhatian serius pada dunia fesyen Indonesia.
Sebagai sebuah proyek, alangkah baiknya bila berbagai plan dari B hingga Z tersedia apabila plan A tak terwujud. Apa yang akan dilakukan bila target IFW di 2025 belum tercapai? Jawaban semua pertanyaan itu akan didapat 10 tahun lagi. Waktu yang mungkin juga sebaiknya dimanfaatkan untuk mencurahkan segalanya guna mencapai target yang ditetapkan. Maju terus fesyen Indonesia!