Nenek Moyang Manusia Wariskan Depresi dan Kecanduan Nikotin

Manusia modern memiliki kesamaan DNA dengan Neanderthal sang nenek moyang.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 12 Feb 2016, 19:50 WIB
Diterbitkan 12 Feb 2016, 19:50 WIB
Nenek Moyang Manusia Wariskan Depresi dan Kecanduan Nikotin
Nenek Moyang Manusia Wariskan Depresi dan Kecanduan Nikotin. Manusia modern dan Naenderthal (Reuters)

Liputan6.com, Jakarta - Manusia modern kerap kali mengalami depresi hingga kecanduan nikotin. Menurut studi terbaru, dua hal itu rupanya telah ada dalam gen yang diwarisi oleh nenek moyang.

Manusia Eropa dan Asia modern ternyata tidak saja 'berutang' warna kulit atau rambut kepada nenek moyang Neanderthal. Bereproduksi dari dua manusia yang berbeda pada 50.000 tahun lalu, rupanya menghasilkan spesies yang tak tahan sinar matahari atau keratosis, kecanduan nikotin dan... depresi.

Leluhur Homo sapiens modern dan Neanderthal yang lama punah pernah hidup berdampingan hingga mereka kawin. Dan lebih dari 4 persen DNA manusia modern  diwariskan dari orang Eropa pertama. Penemuan itu dikonfirmasi pada tahun 2010.

Baru-baru ini, ilmuwan AS meneliti data 28.000 pasien yang sampel biologisnya dikaitkan dengan versi catatan medis mereka. Identitas tetap anonim tapi para peneliti bisa melihat bagaimana warisan terkait dengan sejarah medis.

Kemudian, tim peneliti melaporkan hal itu dalam jurnal Science. Mereka menyamakan database manusia modern dengan peta kelompok-kelompok gen yang diketahui berasal dari spesies berat-beralis, bertulang besar, manusia berambut merah yang nenek moyangnya telah pindah dari Afrika jauh sebelum Homo sapiens, dan menjajah Zaman Es Eropa.

"Temuan utama kami adalah DNA Neanderthal jelas mempengaruhui kondisi klinis manusia modern," kata John Capra, seorang ahli genetika evolusi di Vanderbilt University di Nashville, Tennessee, seperti dilansir The Guardian, Jumat (12/2/2016).

"Kami menemukan hubungan antara DNA Neanderthal dan berbagai sifat, termasuk imunologi, dermatologi, neurologis, kejiwaan dan penyakit reproduksi."

Sementara itu, orang Afrika sub-Sahara tidak mewarisi DNA Neanderthal.

Asumsinya adalah bahwa Neanderthal meninggalkan Afrika terlebih dahulu, memiliki waktu untuk beradaptasi dengan dunia yang lebih dingin, lebih gelap dan lebih sulit. Warna kulit pun berkembang menjadi lebih pucat karena kekurangan sinar matahari dan sifat lain yang   berkembang yang mungkin telah membantu mereka bertahan hidup dalam perubahan kondisi.

Manusia modern awal di masa gracile, mungkin lebih cepat beradaptasi dan mengambil keuntungan dari lingkungan mereka. Bermigrasi ke utara Afrika dan hidup lebih lama dari orang Eropa pertama. Tapi, selama ribuan tahun dua spesies hidup berdampingan, mereka juga kawin.

Dan pertemuan ini meneruskan ciri-ciri yang mungkin telah membawa keuntungan evolusi di zaman es. Tapi kondisi berubah, kesamaan DNA yang diwariskan berpengaruh pada kesehatan.

Salah satunya, para peneliti berpikir, adalah varian gen Neanderthal yang meningkatkan pembekuan darah. Ini membuat luka cepat kering dan mencegah infeksi.

Tapi bagi masyarakat Barat modern, hiper-koagulasi (darah membeku dengan cepat) membawa masalah lain, termasuk risiko yang lebih besar seperti stroke, emboli paru dan komplikasi kehamilan.

Warisan DNA Neanderthal kini dikaitkan dengan peningkatan risiko kecanduan nikotin, dan beberapa varian yang mempengaruhi gangguan suasana hati, termasuk depresi. Dan tembakau yang diperkenalkan secara luas di Eropa baru 400 tahun yang lalu, para peneliti terkejut bahwa jumlah varian genetik Neanderthal, terkait dengan gangguan psikiatri dan neurologi modern.

"Otak sangat kompleks, sehingga sangat masuk akal untuk mengharapkan perubahan adanya jalur evolusi yang berbeda yang mungkin memiliki konsekuensi negatif," kata Corinne Simonti, seorang mahasiswa doktor dari Universitas Vanderbilt dan penulis pertama studi tersebut.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya