Liputan6.com, Jakarta - Mikroplastik telah tersebar dimana saja. Barang yang ditemui sehari-hari seperti pakaian, kemasan makanan, kosmetik, dan ban mobil melepaskan partikel kecil plastik.
Partikel-partikel tersebut akhirnya masuk ke dalam darah, kotoran bayi, plasenta, dan ASI. Menurut penelitian terbaru, plastik bahkan dapat ditemukan di jaringan tipis yang membentuk paru-paru manusia.
Baca Juga
Melansir dari Discover, Selasa (30/10/2023), penelitian tahun 2019 menunjukkan bahwa manusia mungkin menghirup sekitar 11,3 mikroplastik per jam atau bahkan hingga 272 mikroplastik dalam 24 jam. Saat ini, sebuah studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal Physics of Fluids menemukan bahwa plastik ini dapat masuk ke saluran pernapasan dan tetap ada di sana dalam jangka waktu tertentu.
Advertisement
"Banyak orang tidak pernah memikirkan bahwa kita bisa menghirup mikroplastik. Karena hal ini diabaikan, akibatnya lebih serius daripada yang diperkirakan," ujar Saidul Islam, Profesor di University of Technology Sydney, sekaligus penulis utama penelitian tersebut.
Namun, walaupun fenomena tersebut umum terjadi di sekitar kita dan di dalam tubuh manusia, para ilmuwan belum sepenuhnya tahu mengenai bagaimana hal tersebut bisa memengaruhi kesehatan manusia dalam jangka panjang.
Pada tahun 2019, laporan yang dipublikasikan di Environmental Science and Technology menyebutkan bahwa penduduk Amerika mengonsumsi sekitar 39.000 hingga 52.000 partikel mikroplastik per tahun melalui makanan dan air. Angka tersebut sebanding dengan ukuran dua jerapah dalam setahun dan seluruh Menara Eiffel sepanjang hidup.
Ancaman Mikroplastik Terhadap Kesehatan Manusia dan Lingkungan
Menurut United Nations Environmental Program (UNEP), penelitian terhadap lebih dari 13.000 zat kimia yang terhubung dengan plastik menyimpulkan bahwa setidaknya 3.200 di antaranya terbukti membahayakan kesehatan manusia. Uji coba di laboratorium juga menunjukkan bahwa mikroplastik dapat menyebabkan kerusakan pada sel manusia.
Produsen plastik, seperti British Plastics Federation (BPF), telah mengacu pada kesepakatan internasional yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan bahan pencemar organik persisten (Persistent Organic Pollutans/POPs) dari lingkungan guna melindungi kesehatan manusia.
Menanggapi laporan terbaru Greenpeace, tentang zat berbahaya dalam plastik, BPF menyatakan bahwa mengatasi polusi plastik sangat penting, tetapi hal tersebut tidak dapat dipisahkan dengan pertimbangan dampak dari masalah lingkungan global lainnya.
Saidul Islam, Profesor di University of Technology Sydney, mengatakan bahwa seringkali penelitian hanya terfokus pada seberapa banyak mikroplastik yang masuk ke tubuh melalui konsumsi, tetapi manusia juga menghirup plastik. Penelitian yang ia lakukan adalah yang pertama kali mengukur seberapa banyak plastik yang kita hirup.
Advertisement
Dampak Mikroplastik pada Pernapasan Manusia
"Kita masih belum tahu bagaimana hal ini mempengaruhi kesehatan pernapasan kita," ujar Saidul Islam. Partikel polusi udara diketahui dapat masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan jutaan kematian dini setiap tahunnya.
Namun, belum jelas berapa banyak di antaranya yang disebabkan oleh mikroplastik. Saat ini, para ahli mulai mengaitkan mikroplastik dengan peradangan paru-paru, kesulitan bernapas, dan risiko kanker paru-paru yang lebih tinggi.
Studi pada hewan tikus menunjukkan bahwa ketika mikroplastik masuk ke dalam sel-sel paru-paru, komposisi sel-sel tersebut menjadi terganggu. Hal itu mengindikasikan bahwa eksposisi terhadap mikroplastik juga dapat menyebabkan kerusakan pada paru-paru manusia.
Penelitian serupa telah menunjukkan bahwa plastik jenis polipropilen, yang sering digunakan dalam wadah sekali pakai, suku cadang mobil, bahkan masker wajah untuk melindungi dari penyebaran virus corona, dapat menyebabkan kerusakan pada mitokondria di dalam sel, yang pada akhirnya mengakibatkan peradangan paru-paru.
Saidul Islam menyatakan, "Kita memerlukan lebih banyak penelitian untuk memahami bagaimana plastik melekat pada permukaan paru-paru, cara kerjanya di sana, bagaimana tingkat toksisitasnya meningkat seiring berjalannya waktu, dan bagaimana plastik mampu memicu penyakit."
Ia menambahkan bahwa timnya berencana untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dalam waktu tidak terlalu lama, dan mereka baru mulai memahami bagaimana plastik bergerak melalui saluran udara.
Bagaimana Mikroplastik Tersebar dalam Tubuh Manusia?
Dalam penelitiannya, Saidul Islam melakukan percobaan dengan menggunakan tiga bentuk mikroplastik yang berbeda (bulat, segitiga, dan silinder) dengan ukuran yang berbeda pula (1,6, 2,56, dan 5,56 mikron). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bentuk, ukuran, dan pola pernafasan memiliki dampak terhadap di mana mikroplastik tersebut akan terdistribusi.
Bagi subjek penelitian yang melakukan aktivitas fisik berat atau bernapas dengan keras, mereka menghirup lebih banyak plastik dibandingkan ketika sedang beristirahat. Namun, ketika seseorang bernapas lebih pelan selama tidur, hal tersebut dikaitkan partikel-partikel kecil yang bersarang jauh dan tinggal di dalam paru-paru.
"Umumnya, mikroplastik dengan ukuran yang lebih besar cenderung mengendap di dalam rongga hidung dan trakea karena rongga hidung bertindak sebagai filter," jelas Saidul Islam.
"Ketika Anda melakukan pernapasan secara perlahan, partikel yang lebih kecil akan masuk ke dalam bagian yang lebih dalam dari sistem pernapasan," tambah Islam.
Ia juga menjelaskan bahwa nanopartikel plastik dapat berpindah ke berbagai organ di dalam tubuh.
Advertisement
Risiko yang Diemban Komunitas Adat dan Rentan
Mary Johnson, seorang ilmuwan senior di Harvard T.H. Chan School of Public Health, menyatakan bahwa penelitian mengenai mikroplastik dan dampaknya pada kesehatan manusia masih berada pada tahap awal.
Namun, ada satu hal yang jelas, yaitu setiap tahap dalam siklus kehidupan plastik berdampak besar pada komunitas rentan.
Johnson mengatakan, "Umumnya, populasi yang rentan memiliki risiko lebih tinggi terhadap dampak buruk pada kesehatan akibat produksi, penggunaan, dan penguraian plastik."
Johnson mengacu pada laporan PBB tahun 2021 yang menjelaskan bagaimana komunitas adat dipindahkan untuk kegiatan ekstraksi minyak, menghadapi kontaminasi pasokan air di daerah berpenghasilan rendah, dan mengalami masalah kesehatan di antara komunitas mayoritas kulit hitam yang tinggal di sekitar pabrik minyak di selatan.
Selain itu, ada risiko lain yang dihadapi oleh masyarakat adat dan komunitas yang berada dalam kondisi rawan.
Sumbangan Industri Plastik terhadap Krisis Gas Rumah Kaca
Penelitian lain yang terbit pada awal tahun ini dalam jurnal Annals of Global Health menemukan bahwa orang yang bekerja di industri bahan bakar fosil, produsen plastik, dan penduduk yang tinggal dekat dengan tempat produksi dan pembuangan plastik mengalami tingkat kanker, masalah pernapasan, serta masalah kehamilan dan kelahiran yang lebih tinggi.
Sekitar 99 persen plastik dibuat dari zat kimia yang berasal dari bahan bakar fosil. Selama proses pembuatannya, produksi plastik menyebabkan sekitar 3,4 persen dari total emisi gas rumah kaca di seluruh dunia.
Dalam proses produksi plastik, banyak bahan kimia yang diketahui sebagai karsinogen dan pengganggu hormon manusia, seperti bahan kimia persisten, dicampurkan untuk meningkatkan kualitasnya. Saidul Islam menekankan bahwa plastik memiliki tingkat racun yang tinggi.
"Ketika kita menghirup plastik, kita tidak hanya menghirup plastik itu saja, melainkan juga bisa membawa masuk zat kimia yang lebih berbahaya," ungkap Saidul Islam.
Advertisement