Liputan6.com, Jakarta Istilah broken-home semakin sering terdengar di kalangan masyarakat. Pasalnya, istilah tersebut digunakan untuk mendeskripsikan suatu kondisi tak menyenangkan yang harus dilaui secara terpaksa oleh anak-anak yang kedua orangtuanya telah cerai.
Dewasa ini kepopuleran metode cerai dalam memutuskan hubungan pernikahan kian meningkat. Kendati perceraian tersebut sangat diperlukan lantaran hubungan terbukti sudah tak lagi sehat, sayangnya keputusan ini memberi dampak psikis serta mental berkepanjangan pada anak mereka.
Baca Juga
Hampir semua anak korban perceraian tidak menyukai kondisinya. Mereka cenderung menjadi lebih sering bingung ketika membuat suatu keputusan dalam hidupnya lantaran ajaran serta arahan hidup selalu datang dari dua sumber yang cara pikirnya bertolak belakang dan tidak satu suara antara satu sama lain.
Advertisement
Salah satu masalah yang paling umum dihadapi anak korban perceraian adalah memutuskan untuk tinggal dengan siapa: ayah, ibu, dua-duanya saling bergantian, sendiri atau dengan orang lain yang merupakan keluarga?
Tidak ada pilihan yang lebih enak dari pilihan lainnya untuk anak korban perceraian. Mengapa begitu? Berikut penjelasannya seperti dilansir dari laman Huffington Post, Jumat (27/1/2017).
Â
Ayah atau ibu?
Pilih ayah
Kendati seorang ayah bisa lebih menjamin kemulusan masa depan anaknya lantaran merupakan sumber keuangan dalam keluarga, sang anak tak bisa tumbuh sehat psikis dan mentalnya tanpa belaian kasih sayang seorang ibu. Masa depan mungkin terjamin, tetapi watak anak saat dewasa sangat mungkin menjadi keras, sikapnya kurang romantis, anak perempuan jadi tomboi, kurang menguasai teknik memasak, mencuci, merapikan layaknya seorang ibu rumah tangga, kurang simpati terhadap orang lain dan akan sering kecewa karena ayah jarang bisa hadir di pertandingan olahraga atau malam unjuk bakat di sekolah.
Pilih Ibu
Umumnya sang ibulah yang akan mendapatkan hak asuh anak yang usianya masih di bawah 17 tahun, kecuali si ibu terbukti melakukan kekerasan berskala besar atau dinilai kurang kompeten dalam menjaga anaknya oleh lembaga hukum yang bersangkutan. Tumbuh dewasa dengan belaian kasih sayang ibu memang menenangkan. Namun lambat laun menimbulkan rasa penasaran akan keberadaan sang ayah.
Ini paling sering dialami anak perempuan dan kerap disebut "girl with daddy issue". Mereka merasa fakta bahwa ayahnya tidak ada membuat dirinya tak berdaya dan tumbuh menjadi sosok yang lembek hatinya.
Sama halnya seperti anak perempuan, anak laki juga bisa tumbuh dewasa menjadi orang yang sensitif, tidak bisa membela diri dalam suatu pertikaian, kemungkinan besar cengeng, melankolis, kurang jantan, tidak bisa menyelesaikan masalah secara dewasa, bermasalah dengan "public speaking"Â dan masih banyak lagi.
Â
Advertisement
Tidak ada pilihan tepat
Bagi waktu untuk keduanya
Ini mungkin jalan terbaik, 3 hari di ibu, 4 hari di ayah. Namun perlu diketahui bahwa taktik menyenangkan dua sisi ini sangatlah melelahkan untuk sang anak. Ia harus berpindah ke satu rumah ke rumah lain dalam waktu singkat. Hal ini bisa membuatnya tumbuh dewasa dengan sikap dan perilaku yang tak konsisten karena dirinya pun merasa tidak pernah menemukan rumahnya sendiri atau pun merasakan hubungan antar orangtua dengan anak yang stabil. Jadi bagaimana ia bisa menjalin hubungan pertemenan atau asmara yang stabil nantinya kalau orangtua saja sudah mencontohkan yang buruk dan justru membuat sang anak repot berkepanjangan?
Sendiri
Hidup sendiri memang enak bagi korban perceraian yang usianya sudah dewasa. Pilihan ini sangat tidak dianjurkan bagi korban perceraian yang usianya masih tergolong muda, bahkan yang masih remaja. Ini dikarenakan secara emosional dan mental mereka belum stabil. Melepaskan mereka di usia segitu sama saja dengan membiarkan mereka masuk ke kandang singa, penuh dengan obat-obatan terlarang, kekerasan, atmosfir pembuat malas dan lainnya tanpa ada orangtua yang memantau 24 jam. Hidupnya rentan menjadi berantakan dan dipenuhi masalah yang sebetulnya tidak siap dihadapi oleh anak.
Dengan orang lain
Pilihan ini mungkin terdengar bijaksana lantaran kedua orangtua mau mempercayakan seseorang nyawa anaknya. Namun tidak untuk sang anak, ia akan merasa dirinya sama sekali tidak diinginkan oleh tak hanya satu, tetapi juga kedua orangtuanya sampai ia harus diberikan ke orang lain. Mau sudah berapa lama dibesarkan oleh pihak lain ini, kedekatan antar orang tersebut dengan sang anak tidak akan selekat kalau bersama orangtuanya. Pasti selalu ada hal yang membatasi.