Liputan6.com, Jakarta Saat ini, untuk mendeteksi virus corona dilakukan pemeriksaan suhu tubuh menggunakan thermal scanner. Namun, mengapa termometer digital dan air raksa masih digunakan tenaga medis? Sebenarnya, mana yang memberi hasil lebih efektif?
Mengutip laman Forbes, suhu tubuh merupakan kemampuan tubuh untuk menghasilkan dan menghilangkan panas. Fungsinya untuk menjaga suhu tubuh dalam kisaran aman atau menjaga keseimbangan agar tubuh tidak kehilangan panas meskipun dalam lingkungan tertentu (lingkungan bersuhu rendah atau tinggi).
Baca Juga
Suhu tubuh dewasa normal menurut studi yaitu 37 derajat celcius, tetapi bervariasi sepanjang hari (misalnya suhu menurun pada dini hari jam 2-4 pagi dan suhu meningkat pada sore hari). Suhu tubuh juga dapat meningkat akibat berpakaian terlalu tebal atau setelah aktivitas berat (olahraga), terutama di cuaca panas.
Advertisement
Baik termometer analog (raksa) maupun digital sama-sama akurat hasilnya, Bedanya hanya rata-rata fluktuasi dalam pembacaan suhu berulang. Dalam studi klinis pada 9 orang, pengukuran berulang menggunakan termometer digital/elektronik sebesar 23% memiliki beda suhu sampai 0,5 derajat celcius, sementara pemeriksaan berulang menggunakan termometer merkuri memiliki perbedaan sekitar 0,6% (artinya termometer merkuri memberi hasil yang hampir selalu sama).
Selain itu, termometer jenis analog yang menggunakan air raksa membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan jenis digital, yaitu sekitar 3-5 menit di ketiak. Di mulut butuh waktu 1-2 menit.
dr.Sagar Ramesh Makode, MD, dokter umum yang sedang menjadi residen kardiologi lebih menyarankan termometer analog untuk memeriksa suhu tubuh melalui mulut.
"Karena suhu dalam mulut sedikit lebih panas dibandingkan ketiak, sehingga pengukurannya lebih cepat." ujarnya, mengutip dari iCliniq.
Lalu, mengapa untuk kasus wabah COVID-19 menggunakan skrining termal?
Jika menggunakan termometer analog akan butuh waktu lama, sedangkan penyebaran virus sangat cepat. Selain itu, akan lebih berbahaya jika menggunakan alat pengukur yang menempel di tubuh atau dimasukkan ke dalam mulut dibandingkan dengan yang tidak. Karena hasilnya hanya akan beda tipis, mengutip dari Forbes.
Namun, bukan berarti skrining termal ini adalah pilihan terbaik untuk semua jenis demam. Masalahnya, masih belum jelas seberapa akurat alat ini meskipun sudah diuji di lab. Keakuratannya bergantung pada seberapa sering penggunaannya (karena mesin jadi terkadang bisa eror kalau pemakaian berlebihan), seberapa jauh jarak alat ke pasien, dimana letak pengukurannya, dan seberapa lama hasilnya baru bisa didapatkan.
Bagaimanapun, suhu tubuh tidak selalu menunjukkan bahwa Anda terinfeksi COVID-19 atau hal lainnya yang menyebabkan demam. Karena demamtidak selalu berarti buruk.
Demam bisa merupakan hasil sistem imun yang menemukan pengganggu/penyusup/penjahat (semua hal yang buruk) dan menginformasikan tubuh dengan melepaskan zat kimia untuk meningkatkan suhu tubuh (karena kebanyakan dari penjahat ini tidak tahan dengan suhu panas).
Namun, jika Anda masih memerlukan obat penurun demam karena tidak tahan dan demam tak kunjung mereda, bisa jadi karena sistem imun Anda masih belum menyadari bahwa ia sedang diserang. Atau mungkin sistem imun sedang lemah dan tidak mampu melawan zat jahat tersebut.
Jadi, skrining termal bisa luput mendeteksi orang yang terinfeksi. Juga bisa salah menginformasikan orang yang tidak terinfeksi.
Advertisement