Liputan6.com, Jakarta Pandemi COVID-19 memicu peningkatan masalah psikologis terutama akibat hambatan belajar. Menurut data Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia, sejak pandemi pada Maret hingga Agustus 2020 tercatat ada sekitar 14.619 kasus masalah psikologis.
Data ini disampaikan anggota IPK Indonesia sekaligus psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Indria L. Gamayanti.
Baca Juga
“Data sementara dari lapangan ada sekitar 14.619 kasus yang masuk. Ternyata memang ada masalah-masalah yang cukup tinggi yang muncul selama pandemi ini, terutama hambatan belajar,” ujar Indria dalam Lokakarya bersama Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia, ditulis Jumat (13/11/2020).
Advertisement
Ia menambahkan, hambatan belajar ini dialami oleh semua tingkat pelajar seperti SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi.
“Kemudian juga keluhan stres secara umum, keluhan cemas ini juga sangat banyak, suasana hati yang berubah-ubah, dan gangguan cemas.”
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Simak Video Berikut Ini:
Perbedaan Keluhan dan Gangguan Cemas
Sebagai masalah psikologis, keluhan cemas dan gangguan cemas disebut sebagai dua masalah berbeda.
“Kalau keluhan ini kita menangkap keluhan dari orang yang mengakses layanan psikolog tapi kalau sudah gangguan berarti sudah memenuhi kriteria diagnosis dan juga keluhan somatis.”
Dengan kata lain, keluhan cemas diartikan sebagai orang yang merasa cemas dan memutuskan untuk mengakses bantuan psikolog. Sedang, gangguan cemas adalah kondisi seseorang yang bisa merasakan cemas berlebihan dan setelah memeriksakan keluhannya pada psikolog ternyata gejalanya memenuhi diagnosis sebagai gangguan cemas.
Gangguan cemas atau anxiety kadang terjadi tanpa sebab dan memerlukan obat untuk meredamnya. Dengan demikian, gangguan cemas termasuk pada jenis disabilitas mental.
Advertisement
Menitikberatkan pada Kekuatan
Menurut Indria, salah satu kriteria orang dengan kesehatan mental yang baik adalah yang menitikberatkan pada kekuatan-kekuatan yang dimiliki daripada melihat kelemahan.
“Misalnya, kelebihan-kelebihan ini dititikberatkan pada bagaimana kematangan pribadi orang, bagaimana resiliensi atau daya lentingnya, kemampuan meregulasi diri, emosionalitas yang positif dan stabil, juga kesejahteraan yang subjektif.”
Orang-orang yang menitikberatkan pada kelebihan diri akan mampu bertahan pada kondisi-kondisi yang tidak diinginkan. Misalnya ketika ada bencana, masalah kesehatan, pandemi, dan berbagai fase-fase krisis di dalam kehidupan, tutupnya.
Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi COVID-19
Advertisement