Liputan6.com, Jakarta Nama Prof. Dr. Sulianti Saroso banyak berseliweran beberapa tahun belakangan ini. Sulianti Saroso merupakan salah satu tokoh yang cukup berpengaruh pada dunia kedokteran Indonesia. Namanya dikenal masyarakat luas karena tersemat sebagai nama rumah sakit terkemuka di Jakarta, yakni Rumah Sakit Pencegahan Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso.
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso rumah adalah 'markas' tempat perawatan utama dan pengkajian upaya membendung wabah virus Covid-19 di Indonesia. Oleh sebab itu selama masa pandemi nama Sulianti Saroso banyak disebut di berbagai media.
Tapi siapa sebenarnya Prof. Dr. Sulianti Saroso? Berikut ulasan tentang Prof. Dr. Sulianti Saroso dan kiprahnya dalam dunia Kedokteran Indonesia yang dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Rabu (10/5/2023).
Advertisement
Profil Sulianti Saroso
Prof. Dr. Sulianti Saroso lahir dengan nama Julie Sulianti Saroso, pada 10 Mei 1917 di Karangasem, Bali. Dalam catatan sejarah kedokteran Indonesia Sulianti Saroso adalah tokoh yang sangat berperan dalam bidang pengendalian penyakit menular dan program Keluarga Berencana (KB).
Sul, begitu sapaan akrabnya, merupakan putri kedua dari Dokter M.Sulaiman. Latar belakang keluarganya yang merupakan kalangan priyayi memungkinkan Sul berkesempatan untuk menempuh pendidikan terbaik yang dapat ditempuh oleh seorang pribumi. Sul memang dikenal sebagai seorang anak yang cerdas, orang tuanya yang menyadari potensi yang dimiliki oleh putrinya pun mendukung dengan fasilitas pendidikan yang maksimal.
Prof. Dr. Sulianti Saroso menempuh pendidikan dasar berbahasa Belanda ELS (Europeesche Lagere School), lalu melanjutkannya ke pendidikan menengah elite di Gymnasium Bandung, yang sebagian besar siswanya kulit putih. Setelah merampungkan pendidikan di Gymnasium Bandung, Ia memutuskan untuk mengikuti jejak sang ayah dengan melanjutkan pendidikan tinggi di Geneeskundige Hooge School (GHS), sebutan baru bagi Sekolah Kedokteran STOVIA di Batavia. Sulianti Saroso lulus sebagai dokter 1942.
Sul juga mendapat gelar sarjana public health administration dari Universitas London. Tahun 1961-1965 menjadi research associate di School of Medicine, Tulane University, New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat. Ketika menampuh pendidikan di Universitas London Sul berkesempatan melakukan penelitian soal penyakit lumpuh dan keracunan serangga di Kolombia, di kampus ini pula Sul pernah memberikan mata kuliah epidemiologi.
Pada tahun 1962, Sul mendapat gelar master public health and tropical medicine. Gelar doktor di bidang epidemiologi diraihnya tahun 1965 dengan penelitian disertasi berjudul ”The Natural History of Enteropathogenic Escherichia Coli Infections”. Sebagai pendidik, Ia diberi gelar guru besar oleh Universitas Airlangga pada tahun 1969, dan guru besar luar biasa pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Sulianti Saroso merupakan tokoh yang mengusahakan obat dan makanan untuk para pemuda dan pejuang. Sul sendiri yang mengantarkan obat dan makanan tersebut ke kantong-kantong gerilya di Tambun (Jawa Barat), Gresik (Jawa Timur), Demak (Jawa Tengah), dan sekitar Yogyakarta.
Advertisement
Salah Satu Dokter Perempuan Pertama di Indonesia dan Dokter Perempuan Kedua di WHO
Prof. Dr. Sulianti Saroso merupakan dokter perempuan pejuang di garis depan pada masa awal kemerdekaan. Meski perempuan, Sulianti Sarosotak pernah takut berada di tengah-tengah kerasnya peperangan untuk membantu para pejuang yang terluka. Dirinya cukup cekatan untuk mengobati bahkan mengorgansasi dapur umum demi kebutuhan gerilyawan yang masuk kota.
Selain aktif dalam pergerakan, Sul juga menjadi dokter di RS Bethesda di Yogyakarta. Ia bertugas di bangsal penyakit dalam dan penyakit anak. Keaktifan Sul dalam politik dan pergerakan bahkan sempat membuatnya ditahan oleh pemerintah Belanda selama dua bulan di Yogyakarta.
Sulianti juga aktif menjadi anggota Dewan Pimpinan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan turut serta dalam Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia sebagai wakil Pemuda Puteri Indonesia (PPI). Pada 1947, Sul pergi ke India menghadiri Kongres Wanita Seluruh India sebagai wakil Kowani bersama Ny. Utami Suryadarma. Prof. Dr. Sulianti Saroso menumpang pesawat terbang milik industrialis Patnaik yang saat itu menjadi blockade runner, untuk menembus blokade yang dipasang Belanda.
Di dunia internasional, Sul tercatat pernah menjadi anggota Komite Ahli Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) untuk kelahiran dan kesehatan anak (1955-1960). Selama 1971-1974, Ia tercatat sebagai anggota Badan Eksekutif WHO. Pada 1973, Sul terpilih sebagai Presiden Majelis Kesehatan Dunia yang berkedudukan di Geneva, Swiss.
Dalam sejarah WHO, Sul adalah perempuan kedua setelah dokter Rajkumari Amrit Kaur dari India yang pernah memimpin Majelis Kesehatan Dunia. Selama 10 tahun (1969-1979), Sul tercatat sebagai anggota Panitia Pakar WHO untuk Pengawasan Internasional Penyakit Menular.
Memperjuangkan Kesehatan Ibu dan Anak
Sesudah Indonesia merdeka, Prof. Dr. Sulianti Saroso mendapatkan beasiswa dari WHO untuk belajar tentang tata kelola kesehatan ibu dan anak di beberapa negara Eropa, terutama Inggris. Sepulang dari London, Kementerian Kesehatan tempat Sulianti bekerja saat itu menempatkannya sebagai Kepala Jawatan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan RI yang ada di Yogyakarta.
Su kemudian bekerja mengupayakan program kesehatan ibu dan anak. Termasuk pengendalian angka kelahiran lewat pelndidikan seks dan gerakan keluarga berencana. Lewat media lokal seperti RRI Yogyakarta dan koran Kedaulatan Rakyat, ia menyampaikan gagasan tentang pendidikan seks, alat kontrasepsi, dan pengendalian kehamilan dan kelahiran.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Prof. Dr. Sulianti Saroso saat itu, ada korelasi antara kemiskinan, malnutrisi, kesehatan ibu dan anak yang buruk dengan kelahiran tak terkontrol. Sayangnya, gagasan Sulianti mendapat penolakan kemudian dipindahkan ke Jakarta.
Saat di Jakarta, Sul dipromosikan menjadi Direktur Kesehatan Ibu dan Anak di Kementerian Kesehatan. Ide soal program KB masih ia perjuangkan tapi lewat jalur swasta. Bekerja sama dengan klinik-klinik swasta ia menginisiasi program KB. Menurut Dita Saroso, putri Profesor Sulianti, Meski memiliki kepedulian besar tentang KB, ibunya tak sempat turut terlibat dalam eksekusinya sebagai program nasional.
Advertisement
Mendalami Penyakit Menular
Sekitar tahun 1960, Prof. Dr. Sulianti Saroso terkena imbas permasalahan yang dialami suaminya yang merupakan tokoh Partai Sosialis Indonesia. Namun, Sul tidak membiarkan dirinya terpuruk dalam waktu yang lama. ia bergegas ke luar negeri mengambil beasiswa di Tulane Medical School, New Orleans, Louisiana. Setelah lima tahun, ia meraih gelar MPH dan PhD dengan disertasinya yang membahas tentang epidemiologi bakteri E Coli.
Sul kemudian diminta Menteri Kesehatan yang menjabat saat itu, GA Siwabessy, untuk bekerja di Kementerian Kesehatan. Sul diangkat sebagai Direktur Jenderal Pencegahan, Pemberantasan dan Pembasmian Penyakit Menular (P4M) pada 1967-1975 dan Kepala Badan Litbangkes pada tahun 1975-1978.
Usai pensiun, keahliannya di bidang pencegahan dan penularan penyakit masih terus dimanfaatkan. WHO memintanya untuk menjadi pengawas Pusat Penelitian Diare di Dhaka Bangladesh pada 1979. Ia juga masih diminta menjadi staf ahli menteri di Indonesia. Gagasan-gagasan Sulianti pengendalian penyakit menular, KB, dan kesehatan ibu serta anak secara bertahap diadopsi menjadi kebijakan pemerintah. Sulianti Saroso meninggal dunia pada 29 April 1991, pada usia 73 tahun.