Liputan6.com, Jakarta - Zaid bin Haritsah adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang memiliki peran penting dalam awal perkembangan Islam. Ia merupakan salah satu orang pertama yang memeluk agama Islam setelah Siti Khadijah, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Bakar. Zaid juga dikenal karena loyalitasnya yang tinggi terhadap Rasulullah, yang membuat Nabi sangat menyayanginya.
Sebagai anak angkat Nabi Muhammad, Zaid bin Haritsah memiliki hubungan yang istimewa dengan Rasulullah SAW. Ia juga dikenal sebagai panglima perang yang dipercaya oleh Nabi untuk memimpin pasukan dalam peperangan. Zaid berpartisipasi dalam banyak pertempuran penting dalam sejarah Islam, termasuk Perang Uhud dan Perang Khaibar.
Advertisement
Zaid bin Haritsah juga terkenal karena kepatuhannya terhadap perintah Allah. Ketika Allah menurunkan wahyu yang menyatakan bahwa anak angkat harus dipanggil dengan nama ayah kandung mereka, bukan ayah angkatnya, Zaid dengan rendah hati mengubah namanya menjadi Zaid bin Haritsah. Kisah hidup Zaid bin Haritsah memberikan inspirasi tentang kesetiaan, kepatuhan, dan pengabdian dalam menyebarkan agama Islam.
Advertisement
Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang kisah Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang dan anak angkat Nabi Muhammad SAW, Jumat (30/6/2023).
Orang Kedua yang Memeluk Islam
Zaid bin Haritsah adalah salah satu sosok yang memiliki peran penting dalam sejarah awal Islam. Sebagai orang kedua yang memeluk Islam setelah Rasulullah mengemban misi risalah, Zaid menjadi sosok yang sangat dicintai oleh Nabi Muhammad. Rasulullah melihat loyalitas, kebesaran jiwa, serta kemurnian hati, lidah, dan tangan dalam diri Zaid.
Bukti akan cinta Rasulullah terhadap Zaid dapat kita temukan dalam kisah yang diceritakan oleh Sayyidah Aisyah. Ia mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mengirim Zaid bin Haritsah dalam peperangan kecuali sebagai seorang komandan pasukan. Jika Zaid masih hidup setelah kepergian Nabi, pasti beliau akan mengangkatnya sebagai khalifah.
Zaid bin Haritsah awalnya adalah seorang budak, tetapi kemudian diadopsi oleh Nabi Muhammad. Ia termasuk dalam kelompok orang-orang pertama yang memeluk Islam setelah Siti Khadijah, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Bakar. Ketulusan iman Zaid dan kecepatan merespons panggilan Islam menjadikannya sosok yang patut diacungi jempol.
Lahir di Najd, Arab Saudi, sekitar tahun 576, Zaid adalah putra Haritsah dan Su'da binti Tsalabah, yang berasal dari kabilah Kalb di utara Jazirah Arab. Keberadaan Zaid sebagai sahabat Nabi Muhammad tercatat dalam sejarah Islam. Menurut Adz-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz dalam Siyar A‘lām al-Nubalā’ (2006), dia satu-satunya sahabat Nabi yang disebutkan secara eksplisit dalam Alquran, yaitu dalam Surah al-Ahzab ayat 37.
Setelah memeluk Islam, Zaid tidak pernah meninggalkan Nabi Muhammad dalam pertempuran. Dia selalu berada di samping Rasulullah, siap membela Islam. Syamruddin Nasution dalam Sejarah Peradaban Islam menjelaskan bahwa Zaid adalah seorang sahabat dan pelayan yang setia bagi Nabi Muhammad. Ia menikah dengan Ummi Ayman dan memiliki putra bernama Usamah bin Zaid bin Haritsah. Zaid ikut serta dalam hijrah ke Madinah dan berpartisipasi dalam setiap pertempuran untuk membela agama Islam.
Namun, takdir tragis menimpa Zaid dalam Pertempuran Mu'tah. Di sana, ia dipilih sebagai salah satu panglima perang dan gugur dalam pertempuran tersebut. Namun, dedikasi dan keberanian Zaid tercatat dalam sejarah dengan keterlibatannya dalam Perang Uhud dan Perang Khaibar, serta memimpin tujuh ekspedisi militer lainnya.
Zaid bin Haritsah adalah sosok yang memiliki pengabdian yang luar biasa terhadap Islam dan Nabi Muhammad. Ia menjadi teladan dalam kesetiaan, keberanian, dan semangat berjuang dalam membela agama. Meskipun kepergiannya menghadap Sang Pencipta terjadi dalam pertempuran sebagai seorang syahid, warisannya sebagai seorang sahabat dan pahlawan Islam tetap abadi dalam sejarah perjuangan umat Islam.
Advertisement
Surat al-Ahzab Ayat 37
Dalam ayat tentang Zaid bin Haritsah, Allah SWT mengingatkan Nabi Muhammad tentang nasihat yang diberikan kepada Zaid bin Haritsah. Nabi diperintahkan untuk mempertahankan istrinya (Zainab) dan bertakwa kepada Allah. Meskipun Nabi menyembunyikan kegelisahan di dalam hatinya dan takut kepada manusia, Allah adalah yang lebih berhak untuk ditakuti.
"Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi."
Ketika Zaid menceraikan istrinya (Zainab), Allah mengatur pernikahan antara Nabi Muhammad dengan Zainab. Tujuan dari pernikahan ini adalah untuk menghapuskan stigma sosial yang ada pada saat itu terkait dengan perkawinan anak angkat dan istri-istri mereka. Dengan pernikahan ini, Allah menegaskan bahwa keputusan-Nya pasti terlaksana.
Ayat tentang Zaid bin Haritsah menunjukkan bagaimana Zaid bin Haritsah terlibat dalam peristiwa pernikahan yang memiliki implikasi sosial dan agama yang signifikan dalam masyarakat saat itu. Peran Zaid dalam pernikahan ini menunjukkan kesetiaan dan kepatuhan yang tinggi terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya.
Kisah pernikahan Zaid bin Haritsah dan Zainab binti Jahsy juga menggambarkan bahwa dalam Islam, hubungan perkawinan tidak terbatas pada ikatan darah, tetapi juga dapat terbentuk melalui ikatan persahabatan dan ikatan anak angkat. Ini memberikan contoh tentang pentingnya menghormati dan menghargai hubungan keluarga yang berbeda-beda dalam masyarakat Muslim.
Anak Angkat Nabi Muhammad SAW
Menurut Al-Mishri, Mahmud (2015) dalam bukunya yang berjudul Ensiklopedi Sahabat: Biografi Profil Teladan 104 Sahabat Nabi Generasi Terbaik Umat Islam Sepanjang Sejarah, dikisahkan pada awal periode Islam, Zaid bin Haritsah diberi nisbah nama kepada Nabi Muhammad, sehingga dia mengidentifikasi dirinya sebagai Zaid bin Muhammad.
Namun, kemudian Allah menurunkan wahyu-Nya melalui Surah al-Ahzab ayat 5 yang memberikan petunjuk bahwa anak angkat harus tetap dipanggil dengan nama ayah kandung mereka, bukan ayah angkat mereka.
Setelah menerima wahyu ini, Zaid dengan rendah hati mengatakan, "Saya adalah Zaid bin Haritsah." Tindakan ini dapat dipahami sebagai pengorbanannya untuk menaati petunjuk Allah, meskipun hal ini tampaknya menurunkan derajat yang mulia yang sebelumnya ia sandang sebagai "bin Muhammad."
Namun, Allah dengan kemurahan hati-Nya memuliakan Zaid dengan menurunkan ayat di atas yang secara eksplisit menyebutkan namanya.
Peristiwa ini menunjukkan kesadaran dan ketaatan Zaid terhadap petunjuk Allah, bahkan jika itu berarti merelakan status yang sebelumnya dianggap mulia. Tindakan tersebut menunjukkan karakter Zaid yang rendah hati, patuh, dan tunduk kepada kehendak Allah. Allah, dalam kasih dan kebijaksanaan-Nya, memberikan penghormatan dan pengakuan yang jelas terhadap Zaid dengan menegaskan namanya dalam Al-Qur'an.
Advertisement