25 Tradisi Menyambut Bulan Puasa yang Masih Lestari di Indonesia, Penuh Makna!

Jelajahi keragaman tradisi menyambut bulan puasa di berbagai daerah Indonesia. Dari Aceh hingga Sulawesi, setiap tradisi memiliki keunikan dan makna mendalam yang mencerminkan kekayaan budaya bangsa.

oleh Mabruri Pudyas Salim diperbarui 19 Jan 2025, 13:30 WIB
Diterbitkan 19 Jan 2025, 13:30 WIB
Tradisi Meugang dari Aceh
Pedagang memotong daging sapi dagangannya pada perayaan tradisi Meugang Ramadan 1440 Hijriah di Banda Aceh, 4 Mei 2019. Meugang merupakan tradisi turun temurun masyarakat Aceh dengan membeli, mengolah, hingga menyantap daging bersama keluarga. (CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Indonesia, dengan keberagaman budayanya yang luar biasa, memiliki banyak tradisi unik dalam menyambut bulan puasa Ramadan. Tradisi-tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Muslim di berbagai daerah.

Setiap tradisi menyambut bulan puasa memiliki kekhasan tersendiri, mulai dari ritual penyucian diri, sedekah makanan, hingga festival rakyat yang meriah. Meski berbeda dalam bentuk dan pelaksanaannya, semua tradisi ini memiliki tujuan yang sama: mempersiapkan diri secara lahir dan batin untuk menjalani ibadah puasa.

Keberadaan tradisi menyambut bulan puasa ini juga mencerminkan bagaimana nilai-nilai Islam dapat berpadu harmonis dengan budaya lokal. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai contoh sempurna bagaimana agama dan budaya dapat saling memperkaya tanpa kehilangan esensinya.

Mari kita jelajahi berbagai tradisi menyambut bulan puasa yang masih dilestarikan di berbagai pelosok Nusantara, sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Minggu (19/1/2025).

1. Meugang di Aceh

Meugang adalah tradisi menyambut bulan puasa yang telah mengakar kuat di masyarakat Aceh sejak abad ke-14. Tradisi ini dilaksanakan dua hari sebelum Ramadan dengan menyembelih hewan ternak, biasanya sapi atau kerbau, yang kemudian diolah menjadi berbagai hidangan khas Aceh.

Makna mendalam dari tradisi Meugang tidak hanya sebatas menyiapkan makanan, tetapi juga sebagai bentuk syukur dan berbagi kebahagiaan dengan sesama. Daging hasil sembelihan dibagikan kepada keluarga, kerabat, dan kaum duafa, mencerminkan nilai-nilai sosial yang kuat dalam masyarakat Aceh.

2. Padusan di Jawa

Padusan berasal dari kata "adus" dalam bahasa Jawa yang berarti mandi. Tradisi ini berkembang di masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta, sebagai ritual penyucian diri menjelang Ramadan. Masyarakat berbondong-bondong mendatangi sumber mata air atau tempat pemandian yang dianggap suci.

Filosofi Padusan melambangkan penyucian diri secara lahir dan batin sebelum menjalani ibadah puasa. Masyarakat meyakini bahwa dengan melakukan Padusan, mereka dapat menjalankan puasa dengan jiwa dan raga yang bersih dari segala noda dan dosa.

3. Dugderan di Semarang

Dugderan adalah tradisi meriah khas Semarang yang mulai diperkenalkan pada tahun 1881 di masa pemerintahan RMTA Purbaningrat. Nama tradisi ini berasal dari bunyi bedug (dug) dan meriam (der) yang menjadi penanda dimulainya festival rakyat ini.

Festival Dugderan diselenggarakan sehari sebelum Ramadan dengan berbagai rangkaian acara seperti karnaval budaya, pasar malam, dan pertunjukan seni tradisional. Puncak acara ditandai dengan pemukulan bedug dan dentuman meriam yang menandakan dimulainya bulan Ramadan, sekaligus menjadi simbol harmonisasi antara pemimpin pemerintahan, ulama, dan masyarakat.

4. Nyadran di Jawa Tengah

Nyadran berasal dari bahasa Sansekerta "sraddha" yang berarti ritual penghormatan kepada leluhur. Tradisi menyambut bulan puasa ini merupakan hasil akulturasi budaya Hindu-Jawa dengan nilai-nilai Islam yang dibawa oleh para wali, dan masih dilestarikan di berbagai wilayah Jawa Tengah.

Pelaksanaan Nyadran meliputi tiga tahapan utama: kenduri (doa bersama), besik (pembersihan makam), dan ziarah kubur. Tradisi ini mengajarkan pentingnya menghormati leluhur dan menjadi sarana introspeksi diri sebelum memasuki bulan Ramadan.

5. Munggahan di Jawa Barat

Munggahan adalah tradisi khas masyarakat Sunda dalam menyambut bulan puasa. Istilah ini berasal dari kata "munggah" yang berarti naik, melambangkan peningkatan kualitas spiritual menjelang Ramadan.

Dalam pelaksanaannya, masyarakat melakukan berbagai kegiatan seperti berkumpul bersama keluarga, mengadakan piknik, atau membersihkan tempat ibadah. Tradisi ini menjadi momentum untuk mempererat tali silaturahmi dan membersihkan hati sebelum menjalani ibadah puasa.

6. Malamang di Sumatera Barat

Warga Kecamatan Pauh malamang atau membuat lemang menyambut Hari Raya Idul Fitri. (Liputan6.com/ Novia Harlina)
Warga Kecamatan Pauh malamang atau membuat lemang menyambut Hari Raya Idul Fitri. (Liputan6.com/ Novia Harlina)... Selengkapnya

Malamang adalah tradisi menyambut bulan puasa yang mengakar kuat dalam masyarakat Minangkabau. Tradisi ini berfokus pada pembuatan lemang, makanan tradisional yang terbuat dari beras ketan yang dimasak dalam bambu dengan campuran santan dan rempah-rempah.

Konon tradisi ini dibawa oleh Syekh Burhanuddin, ulama penyebar Islam di Minangkabau. Proses pembuatan lemang yang membutuhkan kerja sama banyak orang menjadikan Malamang sebagai simbol gotong royong dan kebersamaan masyarakat dalam menyambut Ramadan.

7. Balimau di Sumatra Barat

Balimau adalah tradisi penyucian diri khas Minangkabau yang dilakukan sehari sebelum Ramadan. Nama tradisi ini berasal dari kata "limau" (jeruk nipis) yang digunakan sebagai campuran air untuk mandi bersama di sungai atau tempat pemandian umum.

Tradisi ini bermula dari keterbatasan akses terhadap sabun dan air bersih di masa lalu. Kini, Balimau tidak hanya menjadi ritual pembersihan diri, tetapi juga moment untuk mempererat silaturahmi antar warga yang dilanjutkan dengan acara makan bersama dan doa-doa menyambut Ramadan.

8. Nyorog di Jakarta

Nyorog adalah tradisi menyambut bulan puasa yang masih dilestarikan oleh masyarakat Betawi. Tradisi ini mencerminkan kuatnya nilai kekeluargaan dan penghormatan kepada yang lebih tua dalam budaya Betawi.

Dalam pelaksanaan Nyorog, masyarakat berbagi bingkisan berupa sembako dan makanan khas Betawi kepada sanak keluarga, terutama yang lebih tua. Moment ini menjadi kesempatan bagi keluarga muda untuk mengunjungi dan memohon doa restu dari orang tua dan sesepuh keluarga sebelum memasuki bulan puasa.

9. Tanggal di Bali

Tanggal adalah tradisi menyambut bulan puasa yang dilakukan oleh komunitas Muslim di Bali. Mirip dengan Meugang di Aceh, tradisi ini dilaksanakan dengan menyembelih hewan kurban beberapa hari menjelang Ramadan.

Daging hasil sembelihan dibagikan kepada sanak keluarga, kerabat, dan tetangga sebagai wujud berbagi keberkahan. Tradisi Tanggal mencerminkan kuatnya nilai persaudaraan dan kepedulian di tengah keberagaman masyarakat Bali.

10. Cucurak di Sunda

Cucurak merupakan tradisi menyambut bulan puasa yang berasal dari masyarakat Sunda. Kata cucurak memiliki arti bersenang-senang atau berkumpul bersama, menggambarkan karakteristik masyarakat Sunda yang gemar berkumpul dan berbagi kebahagiaan.

Dalam pelaksanaannya, keluarga besar berkumpul untuk makan bersama dengan cara lesehan beralas daun pisang. Menu yang disajikan berupa makanan tradisional Sunda seperti nasi liwet, tempe, ikan asin, sambal, dan aneka lalapan segar. Tradisi ini menjadi pengingat akan pentingnya rasa syukur dan kebersamaan menjelang Ramadan.

11. Mattunu Solong di Sulawesi Barat

Ilustrasi lilin, malam hari, malam Jumat Kliwon
Ilustrasi lilin, malam hari, malam Jumat Kliwon. (Photo by Bithinraj Mb from Pexels)... Selengkapnya

Mattunu Solong adalah tradisi unik dari masyarakat Polewali Mandar dalam menyambut bulan puasa. Tradisi ini memiliki kekhasan dengan penggunaan pelita tradisional sebagai simbol penerangan spiritual.

Pelaksanaannya melibatkan penyalaan pelita yang terbuat dari buah kemiri yang ditumpuk dengan kapuk dan dililitkan pada potongan bambu. Masyarakat Mandar meyakini bahwa tradisi ini dapat mendatangkan keberkahan dan menjadi doa untuk kesehatan serta umur panjang agar dapat menunaikan ibadah puasa dengan lancar.

12. Dandangan di Pesisir Utara Jawa

Dandangan merupakan tradisi khas masyarakat pesisir utara Jawa dalam menyambut bulan puasa. Tradisi ini mirip dengan Dugderan di Semarang, ditandai dengan bunyi beduk dan petasan yang diarak keliling kampung.

Selain parade keliling kampung, Dandangan juga dimeriahkan dengan bazar kuliner yang menampilkan aneka jajanan pasar dan hidangan khas daerah setempat. Keunikan lainnya adalah tradisi bersih-bersih benda pusaka seperti keris, tombak, dan gamelan yang dilakukan oleh keraton-keraton di Solo dan Yogyakarta.

13. Malam Pasang Lampu di Nusa Tenggara Barat

Malam Pasang Lampu adalah tradisi masyarakat Sasak dalam menyambut Ramadan. Tradisi ini dilaksanakan pada malam menjelang 1 Ramadan dengan memasang lampu minyak atau obor di setiap rumah, masjid, dan tempat-tempat strategis di kampung.

Tradisi ini menjadi simbol cahaya yang menerangi umat Muslim dalam menyambut bulan suci. Selain memasang lampu, masyarakat juga membaca Surat Yasin dan berdoa bersama sebagai bentuk persiapan spiritual menjelang Ramadan.

14. Long Bumbung di Karanganyar

Long Bumbung adalah tradisi unik dari masyarakat Karanganyar, Jawa Tengah dalam menyambut bulan puasa. Ciri khas tradisi ini adalah bunyi-bunyian yang dihasilkan dari meriam bambu, menciptakan suasana meriah menjelang Ramadan.

Pembuatan dan peledakan meriam bambu yang menghasilkan suara menggelegar diyakini dapat mengusir hal-hal negatif. Tradisi ini tidak hanya menjadi penanda kedatangan Ramadan, tetapi juga sarana untuk membangkitkan semangat masyarakat dalam menyambut bulan suci.

15. Suru Maca di Sulawesi Selatan

Suru Maca merupakan tradisi masyarakat Bugis dalam menyambut bulan puasa. Nama "Suru Maca" dalam bahasa setempat berarti "membaca bersama", menggambarkan inti dari tradisi ini yang berfokus pada aktivitas spiritual bersama.

Tradisi ini dilaksanakan pada malam pertama Ramadan di masjid atau musholla. Masyarakat berkumpul untuk melakukan doa bersama, membaca Al-Quran, dan mendoakan leluhur serta keluarga yang telah meninggal, mencerminkan pentingnya memperkuat hubungan vertikal dengan Allah SWT sekaligus hubungan horizontal dengan sesama manusia.

16. Nyekar di Jawa Timur

BCL
Meski telah nikah lagi, BCL tak pernah lupa 18 September sebagai tanggal lahir mendiang Ashraf Sinclair. Pada hari itu, ia nyekar bareng Tiko Aryawardhana. (Foto: Dok. Instagram @itsmebcl)... Selengkapnya

Nyekar atau ziarah kubur adalah tradisi yang paling umum dilakukan masyarakat Jawa Timur menjelang Ramadan. Tradisi ini dilaksanakan dengan mengunjungi makam leluhur dan kerabat yang telah mendahului, membersihkan area pemakaman, dan menaburkan bunga.

Makna mendalam dari tradisi nyekar tidak hanya sebatas membersihkan makam, tetapi juga sebagai pengingat akan kefanaan hidup dan pentingnya mempersiapkan diri secara spiritual. Tradisi ini juga menjadi momentum untuk bersilaturahmi dengan keluarga besar yang sama-sama berkunjung ke makam leluhur.

17. Ngosaran di Bangkalan Madura

Ngosaran merupakan tradisi yang memiliki kemiripan dengan nyekar, namun dengan kekhasan tersendiri di wilayah Bangkalan, Madura. Masyarakat Bangkalan melakukan tradisi ini secara bergotong-royong untuk membersihkan kompleks pemakaman secara menyeluruh.

Selain aspek kebersihan, tradisi ngosaran menjadi ajang silaturahmi antar warga yang jarang bertemu. Mereka berkumpul, berbagi cerita, dan bersama-sama mempersiapkan area pemakaman agar layak dikunjungi selama bulan Ramadan, mencerminkan nilai-nilai kebersamaan yang masih kuat di masyarakat Madura.

18. Unggahan atau Megengan di Blitar

Unggahan atau megengan adalah tradisi yang dilaksanakan sekitar seminggu sebelum Ramadan di Blitar dan sekitarnya. Setiap warga membawa satu hingga dua jenis berkatan atau nasi kotak untuk dikumpulkan dan didoakan bersama.

Keunikan tradisi ini terletak pada komponen wajib berupa kue apem sebagai simbol permohonan ampunan. Kata "apem" berasal dari bahasa Arab "afwan" yang berarti maaf, mencerminkan harapan untuk mendapat pengampunan menjelang bulan suci.

19. Mandi Bersama di Sendang Sono Gresik

Tradisi mandi bersama di Sendang Sono menjadi ciri khas masyarakat Gresik dalam menyambut Ramadan. Sendang Sono menjadi lokasi sakral di mana masyarakat berkumpul untuk melakukan ritual penyucian diri sebelum memasuki bulan puasa.

Menariknya, Sendang Sono tidak hanya digunakan untuk tradisi menjelang Ramadan, tetapi juga menjadi tempat pelaksanaan tradisi Rebo Wekasan pada bulan Safar. Air Sendang Sono dipercaya memiliki keberkahan khusus yang dapat membersihkan diri dari dosa-dosa sepanjang tahun.

20. Ta'butaan di Jember

Ta'butaan merupakan tradisi unik yang menggabungkan unsur kesenian jaranan dengan ondel-ondel Betawi di Desa Jelbuk, Jember. Meskipun nama "Ta'butaan" berasal dari kata "buto" yang berarti raksasa dalam bahasa Jawa, tradisi ini justru menjadi simbol kegembiraan.

Pertunjukan Ta'butaan tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga mengandung nilai-nilai spiritual dan kultural yang dalam bagi masyarakat Jember dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadan.

21. Nyadran Sonoageng di Nganjuk

7 gunungan hasil bumi dan buku dikirab sebelum diperebutkan oleh masyarakat Banjarnegara. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
7 gunungan hasil bumi dan buku dikirab sebelum diperebutkan oleh masyarakat Banjarnegara. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)... Selengkapnya

Tradisi Nyadran Sonoageng dilaksanakan dengan meriah di Nganjuk melalui arak-arakan sesaji jolen atau tumpeng besar berisi hasil bumi. Prosesi ini meliputi rute sepanjang 3 kilometer dari balai Desa Candirejo menuju Candi Lor, diikuti ratusan warga berkostum tradisional Jawa.

Keunikan tradisi ini terletak pada pertunjukan berbagai kesenian tradisional, termasuk tari Mongde. Puncak acaranya adalah perebutan tumpeng oleh warga sebagai simbol berbagi keberkahan dan doa tolak bala menjelang bulan puasa.

22. Cuci Karpet di Mata Air Umbulan Pasuruan

Tradisi mencuci karpet masjid dan mushala di Mata Air Umbulan menjadi kekhasan masyarakat Pasuruan dalam menyambut Ramadan. Kegiatan ini dilakukan secara bergotong royong untuk memberikan kenyamanan bagi jamaah yang akan melaksanakan ibadah tarawih.

Mata Air Umbulan yang terletak di Desa Umbulan, Kecamatan Winongan dipercaya memiliki air yang jernih dan berkualitas. Proses pencucian karpet dilakukan dengan sangat teliti, dari merendam, menyikat, membilas, hingga menjemur, mencerminkan ketelitian dan kehati-hatian dalam mempersiapkan tempat ibadah.

23. Gerebeg Apem di Jombang

Tradisi Gerebeg Apem menjadi perayaan yang ditunggu masyarakat Jombang menjelang Ramadan. Inti tradisi ini adalah pembuatan dan arak-arakan gunungan kue apem dari GOR menuju Bundaran Ringin Contong Jombang.

Setelah prosesi arak-arakan, gunungan apem yang berisi ribuan kue diperebutkan oleh warga yang hadir. Masyarakat meyakini bahwa mendapatkan kue apem dari acara ini membawa keberkahan tersendiri untuk menjalani ibadah puasa.

24. Resik Lawon di Banyuwangi

Resik Lawon merupakan warisan budaya khas Banyuwangi dalam menyambut Ramadan. "Resik" berarti membersihkan, sementara "lawon" adalah sejenis kain mori atau kafan yang digunakan sebagai penutup cungkup pada petilasan Ki Wongso Karyo atau Buyut Cungking.

Dalam tradisi ini, warga membersihkan kain kafan sepanjang 110,75 meter di Dam Krambatan, Banyu Gulung. Prosesi ini tidak hanya sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, tetapi juga simbol pembersihan diri secara spiritual menjelang Ramadan.

25. Pasar Bandeng di Gresik

Pasar Bandeng menjadi tradisi khas Gresik menjelang Ramadan yang sudah ada sejak zaman Sunan Giri. Selama beberapa hari menjelang puasa, pusat kota Gresik dipenuhi pedagang bandeng dengan berbagai ukuran dan olahan.

Keunikan Pasar Bandeng tidak hanya terletak pada transaksi jual-beli ikan bandeng, tetapi juga pada nilai historis dan kulturalnya. Pembeli berdatangan dari berbagai daerah di Jawa Timur untuk membeli bandeng yang akan disajikan saat berbuka puasa pertama.

Keragaman tradisi menyambut bulan puasa di Indonesia mencerminkan kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai. Setiap tradisi memiliki keunikan dan makna mendalam yang menjadi cerminan bagaimana nilai-nilai Islam dapat berpadu harmonis dengan kearifan lokal di berbagai daerah.

Melestarikan tradisi-tradisi ini bukan sekadar menjaga warisan budaya, tetapi juga mempertahankan nilai-nilai luhur seperti gotong royong, silaturahmi, dan kepedulian sosial yang semakin langka di era modern. Mari kita jaga dan wariskan tradisi-tradisi ini kepada generasi mendatang sebagai bagian dari identitas bangsa Indonesia yang majemuk namun tetap bersatu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya