Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo telah dideklarasikan sebagai capres PDIP. Pencapresan pria yang biasa disapa Jokowi itu dinilai beberapa pengamat politik membuka peluang digelarnya Pilkada DKI Jakarta 2015.
Direktur Eksekutif Cyrus Network Hasan Nasbi Batupahat mengatakan, pasangan Jokowi dan Ahok merupakan satu kesatuan dalam membangun ibukota dengan tagline 'Jakarta Baru'. Bila terpisah, kekuatan mereka akan terpecah, sehingga tidak memiliki legitimasi untuk membangun Jakarta.
"Jakarta Baru itu merupakan kekuatan dari Jokowi dan Basuki, inisialnya JB itu sesuai dengan kedua nama mereka. Kalau mereka terpisah, Ahok yang ditinggalkan tidak bisa bekerja, karena nggak punya legitimasi yang cukup. Begitu juga dengan Jokowi, meski punya kemampuan, tapi yang punya legitimasi siapa?" ujar Hasan dalam diskusi bertema 'Mungkinkah Pemilukada 2015' di Jakarta, Kamis, (27/3/2014).
Lalu, apa yang menyebabkan legitimasi Ahok sebagai gubernur akan berkurang bila ditinggal Jokowi? Menurut Hasan, sebagai seorang pemimpin, Jokowi dianggap mampu mendekati rakyat melalui turun langsung ke lapangan atau yang biasa disebut blusukan.
Sedangkan Ahok, kata Hasan, dianggap mampu membantu Jokowi menata birokrasi agar terbentuk tata pemerintahan yang baik. Bila terpisah, konsep Jakarta Baru yang selama ini digadang Jokowi-Ahok sulit terlaksana dengan baik.
"Kalau sudah terpecah seperti ini bisa bahaya. Karena konsep membangun Jakarta Baru (JB) harus terus menjadi agenda, lebih baik Jakarta Baru dilaksanakan di bawah pemimpin yang baru. Jangan salah satunya," ujarnya.
Ahok Cawapres
Maka itu, Hasan menilai, daripada ditinggal salah satu dari mereka, lebih baik keduanya mengundurkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur. Agar terpilih pemimpin baru yang dapat konsisten menjalankan roda pemerintahan, hingga masa jabatan berakhir.
"Makanya, lebih baik silakan dorong Ahok dampingi Jokowi menjadi cawapres atau mendampingi Prabowo, biar dua-duanya maju," tegas Hasan.‎
Dengan majunya 2 pucuk pimpinan Jakarta itu, otomatis Pemilukada ulang harus digelar. Menurut Hasan, langkah tersebut lebih efektif daripada Jakarta harus ditinggal pemimpinnya di tengah jalan. Pemimpin yang nantinya terpilih akan lebih fokus menyelesaikan masa jabatan hingga 2017.
Karena dipastikan, lanjut Hasan, gubernur dan wakil gubernur terpilih, tidak akan maju sebagai capres atau cawapres lantaran pemilu berikutnya digelar pada 2019.
"Daripada kita gambling, mendingan kita mulai Pemilukada 2015, sehingga Jakarta Baru dipimpin oleh pemimpin yang baru. Mungkin ini adalah win-win solution. Tapi memang kalau kedua tokoh ini dipisah maka Jakarta terancam kolaps," ujar Hasan.‎
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Sahaluddin juga mendukung dilaksanakan Pemilukada ulang. Menurutnya, sosok pengganti Ahok bila ia naik menjadi gubernur menggantikan Jokowi belum tentu mempunyai kemampuan mendekati rakyat seperti Jokowi.
"Kalau Jokowi jadi presiden, maka otomatis Ahok menjadi gubernur. Lalu pertanyaannya, apakah calon pengganti wakil gubernur DKI tersebut memenuhi syarat yang telah dipenuhi oleh Jokowi atau Ahok? Makanya, lebih baik mereka berdua maju dalam bursa pemilu presiden dan wakil presiden. Lalu kita pilih pemimpin baru," ucap Said.
Advertisement
(Shinta Sinaga)
Baca juga:
Pengamat CSIS: Terus Andalkan Tokoh, Rapor Parpol Masih Merah
Pengamat CSIS: Kritik untuk Jokowi Wajar