Liputan6.com, Khartum - Sementara magrib menjelang di Sudan, sejumlah warga desa bergegas memberi tanda agar kendaraan yang berlalu di jalan raya menepi dan berhenti.
Dengan ramah mereka mengundang pengemudi dan penumpang kendaraan untuk berbuka puasa bersama. Padahal, kesulitan ekonomi yang parah telah mencengkeram negara itu selama beberapa waktu ini.
Baca Juga
Tikar-tikar dibentangkan di tepi jalan. Tempat itu seperti disulap menjadi tempat makan dadakan untuk berbuka puasa bersama.
Advertisement
Aboulmaali Mohamed Ibrahim, warga desa Nuba, mengatakan, "Ini adalah kebiasaan yang dimulai oleh kakek-kakek kami. Ini dimulai di jalan-jalan desa. Sewaktu jalan menuju Khartoum dibangun, mereka mulai mengundang orang-orang dari luar desa untuk berbuka bersama di tepi jalan."
Jalan tersebut dibangun pada tahun 1960-an dan desa Nuba sendiri terletak sekitar 50 kilometer dari ibu kota Sudan, Khartoum.
Bagi orang-orang yang berpuasa selagi bepergian, nan panjang yang melelahkan di jalan-jalan yang banyak bergelombang di Sudan.
Tetapi bagi warga di desa-desa di sepanjang jalan hidangan itu merupakan jeda yang disambut baik sewaktu melakukan perjalaersebut, ini merupakan bagian dari menjunjung tradisi lama, bersikap ramah tamah kepada orang asing. Dan di tengah-tengah krisis ekonomi, ini merupakan bukti bahwa hal-hal penting dalam hidup tidak boleh berubah.
Suara azan Magrib menandai waktunya berbuka puasa dan orang-orang pun salat berjamaah.
Hidangan kemudian dihidangkan. Jus dingin menyegarkan disajikan terlebih dulu untuk orang-orang yang telah seharian berada di bawah terik matahari itu
Berkendi-kendi minuman khas setempat, hilw-mor, minuman yang dibumbui jahe dan kayu manis, juga dituangkan ke gelas-gelas.
Setelah itu, sederet makanan tradisional, mulai dari bubur hingga kurma disajikan untuk dinikmati semua orang.
ementara sejumlah warga desa membagikan makanan, yang lainnya masih sibuk melambaikan tangan, memberi tanda agar mobil-mobil dan bus-bus di jalan raya yang sibuk itu menepi dan berhenti. Mereka mengajak pengemudi untuk berhenti dan bergabung dalam dika, atau berbuka puasa bersama di tepi jalan.
Ibrahim, meskipun kesulitan dengan sedikitnya penghasilannya sebagai guru, bersikukuh untuk berbagi hidangan berbukanya sejak Ramadhan dimulai pada 13 April lalu. Ia mengemukakan, "Kebiasaan ini tidak terpengaruh oleh kondisi ekonomi karena Allah SWT mengulurkan kasih dan sayangnya selama bulan suci ini. Buktinya adalah jika ada seseorang tidak punya sesuatu pun dan duduk mengikuti dika mereka akan menemukan makanan bergizi."
Sementara itu, Mudather Saad, warga desa Nuba, Sudan lainnya, menjelaskan, "Semua hidangan yang Anda lihat di tepi jalan ini adalah apa yang tersedia di rumah-rumah. Ini disiapkan oleh para istri atau anak-anak perempuan di rumah, atau oleh siapa pun yang ingin menawarkan makanan berbuka untuk mereka yang berpuasa, atau untuk orang yang tidak dapat berpuasa selama Ramadhan karena sakit seperti diabetes. Orang itu mempersiapkan makanan dan membawanya ke tempat ini. Tetapi kebanyakan hidangan adalah makanan rumahan, sederhana, apapun yang tersedia di rumah dibawa ke meja iftar."
Â
Saksikan Video Berikut Ini:
Tak pernah khawatir
Sudan mengalami kesulitan sejak digulingkannya presiden Omar al-Bashir yang berhaluan keras pada April 2019, menyusul protes menentang pemerintahannya yang dipicu oleh kesulitan ekonomi.
Kekurangan bahan makanan yang parah dan kenaikan harga-harga menjadi salah satu isu yang menekan, dua tahun setelah jatuhnya Bashir, kata Ibrahim. Inflasi bulan lalu melejit lebih dari 330 persen, kata pemerintah.
Orang-orang kini kerap antre berjam-jam untuk membeli makanan pokok atau mengisi bensin untuk kendaraan mereka.
Rumah-rumah sering mengalami pemadaman listrik, dan tabung gas untuk memasak kerap sukar diperoleh.
Pemerintah transisi, yang berkuasa setelah Bashir disingkirkan, telah memulai reformasi yang diharapkan dapat membangun kembali perekonomian.
Pada Februari lalu, pemerintah memperkenalkan sistem nilai tukar mata uang mengambang dalam upaya menutup kesenjangan lebar antara nilai tukar resmi dan nilai tukar di pasar gelap.
Langkah berani lainnya mencakup mengurangi subsidi bahan bakar dan berbagai komoditas lainnya. Tetapi yang lainnya khawatir langkah-langkah itu berisiko menyebarkan ketidakpuasan rakyat sebelum hasilnya muncul.
Sementara itu warga tidak peduli berapa banyak tamu yang harus mereka jamu. Mudather Saad, sambil memberi tanda berhenti dan makan di tepi jalan mengatakan, "Jumlah tamu meningkat pada hari Kamis sewaktu orang-orang meninggalkan Khartoum untuk mengunjungi keluarga di desa-desa. Biasanya, kami menjamu antara 150 dan 200 orang. Tetapi pada hari Kamis, kami dapat menjamu hingga 300 orang."
Dalam beberapa menit sebelum azan Magrib, Saad dan teman-temannya telah berhasil menghentikan bus yang dipadati sekitar 60 penumpang.
Omar Hussein, pengemudi bus tersebut, rutin melewati jalan raya itu dan ia selalu berhenti begitu waktu berbuka puasa menjelang. Hussein menyatakan ia tidak pernah khawatir akan ketinggalan berbuka puasa. Ia selalu yakin akan ada orang yang menawarinya makan di tengah perjalanannya.
Advertisement