Liputan6.com, Jakarta - Paham radikal atau radikalisme, bahkan hingga tindakan teror, masih menjadi ancaman. Tidak hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai negara di dunia.
Mereka yang berpaham radikal hingga membawanya pada tindakan terorisme itu menggunakan agama sebagai tunggangan. Dengan jargon "membela agama", praktik yang mereka tampilkan sesungguhnya telah mencederai agama itu sendiri. Merekan secara nyata telah menghancurkan agama.
Padahal, titik temu dari agama-agama di Bumi ini adalah kesamaan ajaran untuk berbuat baik kepada sesama, bahkan kepada alam. Semua itu terangkum dalam ajaran "menjadi rahmat bagi seluruh alam" atau ajaran cinta kasih.
Advertisement
Lalu mengapa mereka yang berpaham kaku ini mengambil jalan pintas, dengan memunggungi ajaran mulia dari agama yang penuh welas asih?
Mengutip Antara, mereka itu sebetulnya terjebak dalam pemahaman tafsir yang hakikinya berbeda jauh dengan pesan dasar yang dimaui Tuhan lewat pesan di kitab suci maupun lewat para nabi. Jangankan dengan yang berbeda agama, kepada yang satu agama pun mereka juga menyalahkan. Dalam Islam, kelompok ini sudah terbiasa mengafirkan Muslim yang tidak sepaham. Mereka dikenal dengan sebutan kelompok takfiri.
Baca Juga
Sebagaimana tidak mudah menyadarkan mereka yang telah terdoktrin oleh paham radikal untuk kembali ke jalan agama yang penuh cinta, proses indoktrinasi seseorang untuk menjadi radikal tentunya juga tidak mudah.
Butuh proses lama seseorang untuk bisa terpengaruh dengan paham kaku itu. Memerlukan diskusi-diskusi panjang sehingga ajaran teroris diterima kemudian diyakini sebagai kebenaran mutlak. Karena itu penggerak kelompok-kelompok garis keras ini biasanya menyasar orang-orang yang pemahaman keagamaannya dangkal.
Mereka yang selama ini merasa belum memahami ilmu agama secara lengkap kemudian merasa menemukan wadah untuk memperdalam ilmu dan menjalankan praktik beragama secara lengkap, bahkan dianggap sempurna alias kaffah.
Sementara mereka yang ilmu agamanya mumpuni cenderung tidak mudah untuk diajak masuk ke kelompok pembuat kekacauan ini karena sudah memahami betul agama itu mengajarkan kasih sayang. Mereka sudah memegang teguh paham bahwa Islam itu adalah rahmatan lil'alamiin atau menjadi rahmat bagi seluruh alam. Di kalangan pesantren kita mengenal ulama-ulama khos yang terhadap seekor semut pun tidak berani berbuat kasar.
Di sinilah pentingnya pesantren, terutama yang berpaham ahlussunah waljamaah, lebih khusus lagi di bawah naungan Nahdlatul Ulama atau NU, untuk membentengi umat dari paham yang sesungguhnya menyimpang itu.
Â
Saksikan Video Pilihan Ini:
Toleransi
Melihat para pelaku teroris di Tanah Air yang sudah ditangkap polisi, tidak ada satu pun dari mereka yang merupakan alumnus pesantren berpaham ahlussunah waljamaah. Salah satu pesantren yang dikenal melahirkan kelompok teroris ini, salah satunya ada di Jawa Tengah, yang tokohnya telah selesai menjalani tahanan penjara karena kasus terorisme. Kabar baiknya, waktu HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2022, pemimpin pesantren itu mulai melunak dan mau menyelenggarakan upacara, yang sebelumnya dianggap sebagai penyimpangan dari ajaran agama.
Kondisi itu berbeda dengan pesantren-pesantren yang selama ini ajarannya berafiliasi dengan NU dan terbiasa menyelenggarakan upacara-upacara terkait hari-hari besar nasional.
Pesantren dengan basis ajaran yang selaras dengan NU memang memiliki akar untuk mendidik santri menjadi toleran, bahkan sangat menghormati pemeluk agama lain. Mereka belajar dari ulama-ulama sepuh pendiri pesantren maupun guru-guru dari para pendiri pesantren itu dalam menerima dan menghormati umat agama lain.
Syaikhona K.H. Muhammad Kholil, dari Bangkalan, Madura, yang merupakan guru ulama-ulama besar di Jawa dan Madura, dalam kisah-kisah disebutkan, semasa hidupnya terbiasa melayani tamu-tamu non-muslim untuk sekadar berkonsultasi mengenai berbagai masalah kehidupan.
Ulama-ulama penerus dari Syaikhona Kholil itu kemudian menduplikasi penerimaan pada umat non-muslim itu hingga kini. Kita bisa melihat K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang sangat akrab dengan pemeluk agama lain. Bahkan ketika menjadi Presiden, Gus Dur dirasakan sangat mengayomi pemeluk agama lain, termasuk membolehkan perayaan hari besar agama, yang paling merasakan adalah pemeluk Konghucu dengan Hari Raya Imlek.
Salah satu pesantren besar di Jawa Timur, yakni Pondok Pesantren Nurul Jadid di Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, sudah terbiasa menerima tamu non-muslim untuk menjadi pembicara dalam tema-tema tertentu di hadapan santri.
Apalagi, ketika pesantren yang didirikan oleh K.H. Zaini Mun'im (almarhum) dan kini diasuh oleh puteranya K.H. Zuhri Zaini Mun'im ini membuka kelas-kelas bahasa asing, seperti Inggris dan Mandarin. Pesantren itu kemudian banyak dikunjungi perwakilan negara-negara asing yang non-muslim. Hal itu secara langsung mengajarkan pada santri untuk tidak menutup diri pada umat beragama selain Islam.
Selain itu, ajaran agama di pesantren yang sangat melekat di hati para santri adalah mengenai Lakum dinukum waliyadin atau "Bagiku agamaku dan bagimu agamamu". Dari penggalan dalam Ayat 6 Surat Al Kafirun di Qur'an ini mengajarkan bahwa memang tidak ada paksaan dalam beragama, apalagi memaksakan tafsir atas ajaran agama.
Pegangan kedua adalah ajaran dalam penggalan Ayat 59 Surat An Nisa', yakni Athiullaahu waathiurrasul, waulil Amri min kum, yang artinya, "Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan pemimpin di antara kamu". Ajaran ini juga sangat efektif untuk mencegah seorang Muslim untuk mengingkari ketentuan bersama dengan penganut agama lain yang kebijakannya dijalankan oleh pemerintah.
Jadi, ketaatan kepada Allah dan rasulnya itu tidaklah sempurna jika tidak diikuti dengan kepatuhan kepada pemerintah.
Advertisement