Hukum Tradisi Tujuh Bulanan Kehamilan Mitoni Versi Muhammadiyah, Bolehkah?

Seseorang menanyakan perihal hukum mitoni dan dimuat di laman Muhammadiyah. Dia menanyakan dalil acara tujuh bulanan kehamilan atau mitoni

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Nov 2022, 18:30 WIB
Diterbitkan 13 Nov 2022, 18:30 WIB
Jokowi gelar acara mitoni
Keluarga Presiden Jokowi menggelar acara mitoni atau 7 bulan kehamilan menantunya, Selvi Ananda (Liputan6.com/ Reza Kuncoro)

Liputan6.com, Banyumas - Berbagai tradisi dilakukan oleh masyarakat Indonesia, salah satunya tradisi tujuh bulanan kehamilan atau mitoni. Mitoni adalah tradisi acara syukuran pada bulan ketujuh kehamilan.

Lazimnya, dalam mitoni ada berbagai acara. Mulai dari pembacaan doa, Al-Qur'an, dan beberapa lainnya juga ada tradisi yang merupakan perlambang proses kelahiran.

Kemudian, ada tradisi lain yang merupakan perlambang. Salah satunya bahwa dalam menu hidangan, ada makanan yang berbahan dari belut.

Belut dalam tradisi Jawa dilambangkan lancarnya proses kelahiran, sebagaimana licinnya belut. Kemudian, ada lagi ragam acara, misalnya rebutan uang receh untuk anak-anak.

Biasanya, acara ini digelar agar acara lebih meriah. Selain ada nilai sedekah, salah satu tujuannya yakni untuk membuat gembira anak-anak.

Lantas, bagaimana hukum mitoni?

Seseorang menanyakan perihal hukum mitoni dan dimuat di laman Muhammadiyah. Dia menanyakan dalil acara tujuh bulanan atau mitoni.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Hukum Mitoni

Bersumber dari Majalah Suara Muhammadiyah No. 11, 2014, Menurut syariat Islam, semua aktivitas kita mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali itu ada hukumnya, dan setiap hukum itu harus ada dalilnya. Jika yang ditanyakan hanyalah dalil suatu ibadah atau aktivitas, dikhawatirkan jika dalil yang kami ketengahkan tersebut akan menimbulkan salah paham.

Seakan-akan setuju dengan hukum ibadah atau perbuatan yang ada dalilnya tersebut. Hal ini karena barangkali dalil tersebut lebih lemah dibandingkan dengan dalil hukum yang lain.

Oleh karena itu, seharusnya pertanyaannya adalah tentang hukum suatu ibadah atau perbuatan, karena secara otomatis akan dijawab dengan dalilnya sekaligus. Bahkan lebih dari itu, jika ada perselisihan di kalangan para ulama mengenainya akan dipaparkan secara lengkap.

Meskipun demikian, kami berbaik sangka, saudara paham dengan yang kami maksudkan. Oleh karena itu berikut ini adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saudara.

Dalil tidak adanya acara 7 (tujuh) bulanan pada ibu hamil anak pertama. Acara 7 (tujuh) bulanan, atau sering juga disebut mitoni atau tingkeban, pada ibu hamil anak pertama atau kedua atau seterusnya adalah bukan berasal dari ajaran Islam.

Acara tersebut barangkali berasal dari adat atau tradisi Jawa yang kemungkinan besar diambil dari tradisi nenek moyang yang beragama Hindu, Budha, animisme dan dinamisme. Oleh karena itu acara seperti di atas ghairu masyru‘ atau tidak disyariatkan, karena merupakan sesuatu yang diada-adakan dalam masalah agama dan hal seperti itu dilarang berdasarkan hadis berikut:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ [رَوَاهُ البخاري ومسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengadakan sesuatu dalam urusan kami yang bukan termasuk di dalamnya maka ia tertolak” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Namun demikian, jika yang diadakan adalah acara kesyukuran karena kehamilan, berupa doa dan pengajian, hal itu tidak mengapa dan tidak dilarang, asal dilakukan tidak harus tepat tujuh bulan kehamilan atau dikaitkan dengan waktu-waktu tertentu.

Tim Rembulan

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya