Hukum Peringati Hari Ibu 22 Desember dalam Islam, Ulama Beda Pendapat

Dalam Islam, ulama berbeda pendapat soal peringatan Hari Ibu. Sebagian ulama membolehkan merayakan Hari Ibu pada 22 Desember, ulama lainnya ada yang mengharamkannya.

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 22 Des 2023, 10:30 WIB
Diterbitkan 22 Des 2023, 10:30 WIB
Kesempatan Rayakan Hari Ibu dengan Fine Dining Berdua di Restoran Cepat Saji
Ilustrasi Hari Ibu. (dok. George Dolgikh/Pexels.com)

Liputan6.com, Jakarta - Sudah menjadi tradisi setiap tanggal 22 Desember banyak yang mengucapkan Hari Ibu. Bahkan, media sosial pun ramai dengan konten-konten Hari Ibu, baik itu sekadar foto atau video.

Tak hanya itu saja, pada 22 Desember juga banyak yang membebastugaskan ibu melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak, dan sebagainya. Sebagian orang menyiapkan hadiah di momen itu untuk sang ibunda.

Ya, itu adalah beberapa aktivitas menyemarakkan Hari Ibu yang setiap tahunnya diperingati pada 22 Desember. Meskipun jika melihat sejarahnya peringatan Hari Ibu ini ditujukan untuk menghargai perjuangan perempuan-perempuan Indonesia.

Tanggal 22 Desember dipilih sebagai Hari Ibu merujuk pada penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22-25 Desember 1928. Secara resmi 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu oleh Presiden Soekarno melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959.

Dalam perkembangannya peringatan Hari Ibu menjadi momentum mengingat jasa dan peran seorang ibu. Maka dari itu, kegiatan-kegiatan untuk mengisi Hari Ibu banyak seperti yang disebutkan sebelumnya.

Dalam Islam, ulama berbeda pendapat soal peringatan Hari Ibu. Sebagian ulama membolehkan merayakan Hari Ibu pada 22 Desember, ulama lainnya ada yang mengharamkannya. 

Apa hal yang mendasari peringatan Hari Ibu boleh dan haram? Simak penjelasannya dari ulasan Ustaz Husnul Haq, pengasuh pesantren mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung sekaligus dosen IAIN Tulungagung di NU Online.

 

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Boleh Peringati Hari Ibu

Ilustrasi Hari Ibu
Ilustrasi Hari Ibu. (Image by sentavio on Freepik)

Sebagian ulama meliputi Syekh Syauqi Allam (mufti Mesir), Syekh Ali Jum’ah (mantan mufti Mesir), Syekh Abdul Fattah Asyur, Syekh Muhammad Ismail Bakar, dan Lembaga Fatwa Mesir (Darul Ifta’ Al-Mishriyyah) mengatakan bahwa peringatan Hari Ibu diperbolehkan. 

Mereka beralasan bahwa peringatan Hari Ibu merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada orangtua. Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada orang tua:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا 

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS Al-Isra’: 23). 

Peringatan Hari Ibu juga merupakan salah satu bentuk bersyukur kepada orangtua, terutama kepada ibu. Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kita untuk bersyukur kepada-Nya dan kepada kedua orangtua:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ  

Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS Luqman: 14). 

Di samping itu, peringatan Hari Ibu dengan memberinya hadiah, membebastugaskannya dari tugas domestik seperti mencuci pakaian dan memasak, atau sekadar mengucapkan terima kasih atas pengabdiannya, masuk dalam kategori adat atau tradisi, bukan ibadah. Karenanya, hal itu tidak termasuk bid’ah, sebab bid’ah itu hanya dalam urusan ibadah (agama) semata. 

Imam Syathibi berkata:

 فَالْبِدْعَةُ إِذَنْ عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ، يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ للهِ سُبْحَانَهُ 

Artinya: “Bid’ah merupakan ungkapan tentang cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at, dengan mengikuti cara itu dimaksudkan untuk lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala.” (Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi, Al-I’tisham, juz I, h. 26).

 

Haram Peringati Hari Ibu

Ilustrasi Hari Ibu
Ilustrasi Hari Ibu. (Photo by Katya Wolf/Pexels)

Sebagian ulama yang lain, seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Shalih al-Fauzan, Syekh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, dan Lembaga Fatwa Arab Saudi (Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Fatwa) menyatakan bahwa peringatan Hari Ibu diharamkan. 

Mereka berpedoman pada hadis riwayat Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. 

Artinya: “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR Bukhari dan Muslim). 

Mereka juga berpedoman pada hadis riwayat Aisyah radhiyallahu anha yang lain, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ 

Artinya: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR Muslim).  

Peringatan Hari Ibu tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, para sahabat radhiyallahu anhum, dan kaum muslimin terdahulu (salaful ummat), maka termasuk bid’ah yang dilarang dalam agama Islam berdasarkan kedua hadis di atas. 

Selain itu, mereka juga berpedoman pada hadis riwayat Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ 

Artinya: “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR Abu Dawud). 

Peringatan Hari Ibu merupakan tradisi orang kafir. Memperingati Hari Ibu berarti menyerupai orang kafir, dan termasuk bagian dari mereka. Karenanya, memperingati Hari Ibu diharamkan dalam Islam menurut pendapat ulama kedua ini.

Dengan demikian, ada dua pendapat soal peringatan Hari Ibu. Namun, tampaknya pendapat yang kuat adalah yang memperbolehkan peringatan Hari Ibu. Sebab, peringatan Hari Ibu termasuk salah satu bentuk berbakti dan bersyukur atas jasa-jasa ibu. Meskipun sebenarnya dalam Islam berbakti kepada ibu tidak selalu harus di Hari Ibu, melainkan setiap saat dan sepanjang hayat.

Wallahu a'lam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya