Terjebak Macet di Perjalanan, Bolehkah Menjamak Sholat?

Terutama bagi pengguna transportasi umum yang tidak bisa berhenti sembarangan saat macet, seringkali mengalami kesulitan dalam mencari tempat untuk sholat. Sebagai solusi, mereka mungkin memilih untuk menjamak sholat. Lalu, bagaimana hukum yang berlaku dalam situasi ini?

oleh Putry Damayanty diperbarui 18 Nov 2024, 14:30 WIB
Diterbitkan 18 Nov 2024, 14:30 WIB
Ilustrasi macet
Ilustrasi macet

Liputan6.com, Jakarta - Sholat merupakan tiang agama dan amalan yang pertama kali dihisab saat hari kiamat. Karena itu, kedudukan sholat dalam Islam sangatlah penting.  

Setiap umat muslim yang telah baligh, wajib melaksanakan sholat lima waktu. Akan tetapi, terkadang terdapat kendala dan halangan saat menunaikan sholat. Sehingga, seseorang diperbolehkan untuk melakukan jamak dan qashar

Misalnya fenomena umum yang terjadi di daerah perkotaan dengan jalanan yang sangat macet ketika berangkat dan pulang bekerja. Kemacetan yang terjadi, tentu berdampak dalam menunaikan ibadah sholat tepat waktu.

Tidak sedikit umat muslim yang masih berada dalam perjalanan karena macet sehingga ketika ia sampai di rumah, waktu sholat telah habis.

Lantas, bagaimana hukumnya jika sholat tersebut tertinggal? Apakah kita dapat menjamak dengan sholat berikutnya? Berikut penjelasannya melansir dari laman NU Online.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

Hukum Menjamak Sholat karena Macet

Ilustrasi sholat di rumah
Ilustrasi sholat di rumah. Photo by Michael Burrows:

Ketika seseorang dihadapkan dengan kondisi macet, sebagai pengguna sepeda motor dan mobil pribadi, mungkin dapat berhenti di sebuah masjid atau gedung untuk menunaikan sholat. Dengan begitu, sholat dapat ditunaikan tepat pada waktunya. Lalu, bagaimana jika kita sebagai pengguna transportasi umum yang tidak dapat berhenti di mana saja? 

Sebagaimana hadis dari Rasulullah SAW:

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

Artinya: “Sesungguhnya agama itu mudah. Dan selamanya agama tidak akan memberatkan seseorang melainkan memudahkannya. Karena itu, luruskanlah, dekatilah, dan berilah kabar gembira! Minta tolonglah kalian di waktu pagi-pagi sekali, siang hari di kala waktu istirahat dan di awal malam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadis tersebut, Rasulullah SAW menyampaikan bahwa Allah tidak memberatkan dan mempersulit hamba-Nya. Maka, saat seorang muslim dihadapkan pada kondisi macet dan tidak dapat melaksanakan sholat tepat pada waktunya, Islam memberikan alternatif yakni menjamak sholat. 

Pendapat Ulama tentang Kebolehan Menjamak Sholat

ilustrasi sholat. ©2020 Merdeka.com
ilustrasi sholat. ©2020 Merdeka.com

Menurut pendapat ulama, menjamak sholat dikarenakan kemacetan lalu lintas diperbolehkan. Sebagaimana yang pernah Rasulullah lakukan ketika beliau berada di Madinah yang termaktub dalam Bughyatul Mustarsyidin.

لنا قول بجواز الجمع في السفر القصير اختاره البندنيجي وظاهرالحديث جوازه ولو في حضر كما في شرح مسلم وحكى الخطابي عن أبي اسحق جوازه في الحضر للحاجة وان لم يكن خوف ولامطر ولامرض وبه قال ابن المنذر.

Artinya: “Kami mempunyai pendapat yang membolehkan jamak bagi seseorang yang tengah menempuh perjalanan singkat yang telah dipilih oleh Syekh Albandaniji. Sebuah hadis mengungkapkannya dengan jelas, walaupun jama’ dilakukan oleh hadirin (bukan musafir) seperti tercantum dalam Syarah Muslim. Dari Abu Ishak, Alkhatthabi menceritakan kebolehan jamak dalam perjalanan singkat karena suatu hajat. Hal ini boleh saja meskipun bukan dalam kondisi terganggunya keamanan, hujan lebat, dan sakit. Ibnul Munzir pun memegang pendapat ini.”

Pendapat serupa juga tertuang dalam Kifayatul Akhyar, 

“Menurut Imam Nawawi, pendapat yang membolehkan jamak sembahyang bagi orang sakit, sudah terang. Dalam shahih Muslim, Nabi Muhammad SAW menjamak sembahyang di kota Madinah bukan dalam kondisi terganggunya keamanan, hujan lebat, dan sakit. Menurut Imam Asna’i, pilihan Nawawi didasarkan pendapat Imam Syafi’i yang tercantum dalam kitab Mukhtasar Imam Muzanni. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah perbandingan di mana alasan sakit layaknya perjalanan jauh menjadi alasan sah orang untuk membatalkan puasa. Kalau puasa saja boleh dibatalkan, maka penjama’an sembahyang lebih mendapat izin. Bahkan, sekelompok ulama membolehkan jamak bagi hadirin untuk sebuah hajat. Dengan catatan, ini tidak bisa menjadi sebuah kebiasaan. Abu Ishak Almaruzi memegang pendapat ini. Ia mengutipnya dari Syekh Qaffal yang diceritakan oleh Alkhatthabi dari ahli hadis. Ibnul Munzir Syafi’i dan Syekh Asyhab Maliki menganut pendapat di atas.”

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya