Misteri Letak Sidratul Muntaha dalam Perjalanan Spiritual Nabi Muhammad ke Langit Ke-7

Banyak ahli yang meyakini bahwa Sidratul Muntaha melambangkan batasan antara dunia fisik dan alam yang lebih tinggi, tempat yang tidak dapat dicapai oleh makhluk lain selain Nabi Muhammad.

oleh Edelweis Lararenjana Diperbarui 18 Apr 2025, 15:20 WIB
Diterbitkan 18 Apr 2025, 15:02 WIB
Ilustrasi bulan purnama, masjid, Islami
Ilustrasi bulan purnama, masjid, Islami. (Photo by Yasir Gürbüz from Pexels)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Perjalanan Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu peristiwa spiritual yang penuh makna dalam sejarah Islam. Dalam perjalanan ini, Nabi Muhammad dibawa ke langit ke-7 dan mencapai Sidratul Muntaha, yang dikenal sebagai titik tertinggi yang bisa dijangkau oleh makhluk hidup. Sidratul Muntaha tidak hanya menjadi simbol kedekatan Nabi dengan Allah, tetapi juga menyimpan banyak misteri yang hingga kini masih menarik perhatian para ulama dan ahli tafsir.

Letak Sidratul Muntaha menjadi salah satu pertanyaan yang sering muncul dalam diskusi mengenai Isra Mi'raj. Dalam berbagai riwayat, Sidratul Muntaha digambarkan sebagai pohon yang sangat besar dengan dedaunan yang menutupi seluruh langit, tempat dimana perintah terakhir dari Allah diturunkan kepada Nabi Muhammad. Namun, meskipun banyak penjelasan, misteri mengenai posisi dan hakikat sebenarnya dari Sidratul Muntaha tetap belum sepenuhnya terungkap, meninggalkan ruang bagi tafsiran spiritual dan ilmiah yang beragam.

Pencarian pemahaman tentang Sidratul Muntaha tidak hanya berkaitan dengan dimensi fisik, tetapi juga dengan makna spiritual yang mendalam. Banyak ahli yang meyakini bahwa Sidratul Muntaha melambangkan batasan antara dunia fisik dan alam yang lebih tinggi, tempat yang tidak dapat dicapai oleh makhluk lain selain Nabi Muhammad. Artikel ini akan mengupas lebih dalam mengenai misteri letak Sidratul Muntaha dalam perjalanan spiritual Nabi Muhammad, serta mencoba menghubungkan tafsiran-tefsiran yang ada dalam konteks ajaran Islam.

Isra Mi'raj

Ilustrasi sholat di masjid. (Dok. Pixabay)
Ilustrasi sholat di masjid. (Dok. Pixabay)... Selengkapnya

Isra Mi'raj adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah umat Islam yang terjadi pada masa terakhir kenabian Nabi Muhammad di Makkah, sebelum beliau hijrah ke Madinah.

Isra merujuk pada perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsa di Palestina. Sedangkan Mi'raj adalah peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW diangkat oleh Allah SWT ke langit, hingga mencapai Sidratul Muntaha.

Betapa luar biasanya, seluruh peristiwa ini terjadi hanya dalam satu malam. Pada peristiwa tersebut, Rasulullah SAW menerima perintah langsung dari Allah untuk melaksanakan sholat lima waktu, yang menjadi kewajiban umat Islam sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan. Kisah tentang Isra Mi'raj ini juga tercatat dalam Al-Quran sebagai bagian dari sejarah keagamaan yang sangat bermakna.

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Isra’ : 1 )

Saat Mi’raj, Nabi Muhammad SAW diangkat oleh Allah hingga mencapai Sidratul Muntaha setelah melewati langit ke-7. Banyak dari kita yang mungkin masih penasaran, di manakah letak Sidratul Muntaha atau langit ke-7 itu?

Letak Langit Ketujuh

Ilustrasi masjid, Islami
Ilustrasi masjid, Islami. (Photo created by kjpargeter on www.freepik.com)... Selengkapnya

Konsep tentang tujuh lapis langit sering kali disalahpahami. Banyak orang membayangkan langit yang terdiri dari tujuh lapisan berurutan. Istilah "sab’ah samawat" (tujuh langit) dalam Al-Qur’an sering digunakan sebagai dasar untuk mendukung pandangan adanya tujuh lapis langit tersebut.

Terdapat tiga aspek yang perlu dipahami terkait masalah ini: sejarah, makna "tujuh langit", dan hakikat langit dalam kisah Isra Mi'raj.

Secara historis, masyarakat masa lalu (sebelum Al-Qur’an diturunkan) percaya pada adanya tujuh lapis langit, yang berkaitan dengan pengamatan mereka terhadap tujuh benda langit utama dengan jarak yang berbeda. Pengamatan ini didasarkan pada pergerakan benda-benda langit, di mana benda yang bergerak lebih cepat dianggap lebih dekat. Gambaran ini menghasilkan pemahaman bahwa benda-benda langit itu berada di lapisan langit yang berbeda.

Di langit pertama terdapat bulan, yang dianggap paling dekat karena geraknya yang tercepat. Langit kedua ditempati oleh Merkurius, langit ketiga oleh Venus, langit keempat oleh matahari, langit kelima oleh Mars, langit keenam oleh Jupiter, dan langit ketujuh oleh Saturnus. Ini adalah pandangan lama yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta.

Orang-orang dahulu juga meyakini bahwa benda-benda langit tersebut mempengaruhi kehidupan di bumi, dengan pengaruh yang bergantian setiap jam, dimulai dari Saturnus yang paling jauh, hingga bulan yang paling dekat. Pengaruh ini menentukan penamaan hari-hari dalam seminggu, seperti hari Saturnus yang menjadi Sabtu, hingga hari Minggu yang dianggap hari Tuhan dalam tradisi Kristen.

   

Makna Tujuh Langit

Ilustrasi masjid, malam hari, Islami
Ilustrasi masjid, malam hari, Islami. (Photo by Sheikh Haris from Pexels)... Selengkapnya

Dalam Al-Qur'an, istilah langit (samaa’ atau samawat) merujuk pada segala sesuatu yang ada di atas kita, yang juga mencakup angkasa luar, yang dipenuhi dengan galaksi, bintang, planet, batuan, debu, dan gas yang tersebar luas.

Lapisan-lapisan yang menggambarkan tempat benda-benda langit tidaklah ada. Sementara itu, warna biru yang terlihat pada langit bukanlah warna langit itu sendiri, melainkan hasil dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh atmosfer bumi.

Kata "tujuh" atau "tujuh puluh" dalam Al-Qur'an sering kali digunakan untuk menggambarkan jumlah yang tak terhitung. Sebagai contoh, dalam surat Al-Baqarah ayat 261, Allah berfirman:

“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, setiap bulir berisi seratus biji. Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya dan Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261)

Begitu pula dalam surah Luqman ayat 27, Allah berfirman:

“Dan jika pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut menjadi tinta, ditambah lagi tujuh lautan setelahnya, niscaya kalimat Allah tidak akan habis-habisnya. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Luqman: 27)

Oleh karena itu, istilah "tujuh langit" sebaiknya dipahami sebagai tatanan benda-benda langit yang tak terhitung jumlahnya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit yang terpisah.

Tujuh Langit dalam Mi’raj

Ilustrasi bulan purnama, masjid, Islami
Ilustrasi bulan purnama, masjid, Islami. (Photo by Yasir Gürbüz from Pexels)... Selengkapnya

Kisah Isra’ Mi’raj telah lama memunculkan perdebatan, terutama mengenai tanggal yang tepat dan apakah Nabi Muhammad melakukannya dengan jasad dan ruh atau hanya dengan ruh. Begitu juga dengan hakikat langit yang dimaksud.

Muhammad Al Banna dari Mesir menyatakan bahwa sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa Sidratul Muntaha merujuk pada Bintang Syi’ra. Namun, ada pula pendapat lain, seperti yang disampaikan oleh Muhammad Rasyid Ridha dari Mesir, yang menyatakan bahwa tujuh langit dalam kisah Isra’ Mi’raj merupakan langit ghaib.

Dalam peristiwa mi’raj, terdapat perpaduan antara kejadian yang bersifat lahiriah dan ghaib. Misalnya, pertemuan dengan ruh-ruh para Nabi, melihat dua sungai di surga dan dua sungai di bumi, serta menyaksikan Baitul Makmur, tempat ibadah para malaikat. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa pengertian langit dalam kisah mi’raj ini bukanlah langit fisik yang berisi bintang-bintang, melainkan langit ghaib.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya