Ibu di Brebes Tega Gorok Tiga Anaknya, Ini Pendapat Psikolog

Psikolog menyebut masalah ini berkaitan dengan kondisi mental sang ibu.

oleh Tito Isna Utama diperbarui 23 Mar 2022, 11:36 WIB
Diterbitkan 22 Mar 2022, 22:00 WIB
Foto : Bonifasia Asvita Viviyanti
Dokumen pribadi

Liputan6.com, Brebes Peristiwa seorang ibu asal Kabupaten Brebes yang nekat menggorok ketiga anaknya, hingga menewaskan 1 anak, mendapatkan sorotan banyak pihak. Menurut psikolog Bonifasia Asvita Viviyanti, tindakan tersebut disebabkan adanya dorongan emosi yang impulsif, sehingga tanpa berpikir panjang melakukan hal itu.

Perempuan kelahiran Banua Martinus tersebut mengaku mengetahui informasi tersebut, dari hasil membaca dari beberapa sumber berita. Ia menyebut penyebab kejadian tersebut didasari dari adanya tekanan pada mental.

"Saya baru membaca beberapa berita, yang pasti secara mental pasti sedang kondisi tertekan, karena tidak, tidak mungkin ia melakukan keputusan yang katakanlah itu di luar logika yang bisa baik," kata Vivi, sapaan akrabnya Senin (22/3/2022).

Akan tetapi ia tidak bisa menyimpulkan dengan pasti apakah wanita asal Brebes tersebut menggalami gangguan kejiwaan.

"Bicara tentang mentalnya jelas kondisi tertekan, tapi kalau dilihat mental apakah dia ada gangguan jiwa atau tidak itu harus diagnosa lebih lanjut oleh ahli," jelasnya.

Perempuan yang sekarang menjadi salah satu Dosen Di STKIP Persada Khatulistiwa Sintang, Kalimantan Barat, ini mengatakan faktor utama pelaku bisa melakukan hal tersebut, karena didasari adanya dorongan emosi yang menjadikan seseorang bisa bersifat impulsif.

 

Penyebab perilaku impulsif

Perilaku impulsif disebabkan ketika seseorang berada di situasi yang tidak begitu aman sehingga, dengan tekanan yang ada memaksa seseorang secara cepat mengambil keputusan tanpa memikirkan akibat atas tindakannya.

"Perilaku atas dasar dorongan emosi yang impulsif, jadi ketika sedang tertekan, ketika kita sedang dalam masalah kondisi, mungkin bingung kita mengatasinya. Bagaimana akhirnya kita memilih jalur tercepat untuk menyelamatkan diri jadi kayak mekanisme pertahanan diri, bagaimana cara aku enggak terlalu banyak pikir apa yg harus dilakukan," jelasnya.

Pengakuan pelaku yang merasa tertekan, terlihat seperti yang berada pada rekaman video yang tersebar di media sosial. Pelaku mengaku selama ini kurang kasih sayang dan merasa tidak sanggup lagi hidup dengan ekonomi yang pas-pasan. Apalagi ia juga mengaku suaminya sering menganggur.

Melihat dari kondisi tersebut, Vivi mengungkapkan pelaku mendapatkan tekanan dari beberapa sisi dan tidak bisa berdamai dengan keadaan yang harus diterima keluarganya. Sehingga ia menilai, pelaku tidak berpikir panjang untuk melakukan tindakan tersebut.

"Ketika dalam kondisi yang tertekan akhirnya bingung mau ngapain akhirnya impulsif, cara berpikir paling dekat yang dia atau instan yang diambil pada akhirnya," tuturnya.

Perempuan yang juga sempat menempuh pendidikan Magister dengan profesi Psikologi Klinis Dewasa di Unika Kota Semarang ini menjelaskan ketika orang dalam tekanan yang cukup berat membuat seseorang bisa mudah mengambil tindakan tanpa berpikir secara panjang.

"Tanpa berpikir panjang, karena harus memenuhi kebutuhan anak 3 yang suami bekerja secara kontrak, pikiran bagi seorang ibu besok anaknya harus makan apa maka itu tekanan yang pasti itu cukup besar," ungkapnya.

 

Tak memiliki teman bercerita

Dia memperkirakan, dengan masalah yang dialami pelaku, hingga tidak memiliki teman untuk bercerita membuat pelaku mengambil tindakan impulsif.

"Pada akhirnya dia tidak punya teman untuk cerita, sehingga keputusannya lebih implusif tidak terkontrol," jelasnya.

Ia juga menjelaskan perilaku yang impulsif biasa terjadi tidak secara tiba-tiba, melainkan tekanan yang cukup berat dirasakan cukup lama. Sehingga ia menyimpulkan bahwa tindakan impulsif terjadi karena ada penyebab ataupun dorongan yang sangat besar membuat orang tidak memikirkan dampak yang dirasakan usai melakukan tindakan tersebut.

"Perilaku yang impulsif yang dilakukan itu bukan yang tiba-tiba langsung dilakukan saat itu juga. Perilaku implusif biasa ada pencetusnya, pecetusnya apa tekanan yang secara tidak langsung kemungkinan yang tidak tahu. Jadi kemungkinan ada situasi di mana dia mikir suaminya akan putus kontrak lagi, ini terus uangnnya bagaimana makanya ada dorongan masalah-masalah yang kemudian membuat dia berpikir cara cepat menyelesaikan masalah ini," jelasnya.

Biasanya perilaku impulsif, jelas Vivi, bisa disebut dengan perilaku spontan, saat seseorang mendapatkan tekanan.

"Implusif itu sama seperti perilaku spontan yang kita ambil ketika kita tertekan di kondisi yang kurang stabil," jelasnya.

Sementara, saat ditanya perihal pelaku mengalami gangguan jiwa ataupun tidak, Vivi pun tidak bisa memastikan hal tersebut. Ia menyampaikan sesorang bisa dianggap mengalami gangguan jiwa harus mendapatkan penanganan dari para ahli secara langsung.

Sehingga ketika seorang dianggap menderita gangguan jiwa itu tidak bisa hanya sebatas observasi saja, melainkan penanganan yang lebih dalam terlebih dahulu.

"Kalau berbicara gangguan jiwa, itu harus berbicara tentang asesmen jadi tidak bisa kita hanya melihat situasi. Itu hanya mengira-ngira untuk diagnosa gangguan jiwa itu harus dilakukan oleh asesmen dan itu harus oleh ahli dan harus bertemu secara langsung sama si pasien ini. Tidak bisa hanya mengobservasi harus ada konselingnya dengan orang ini. Jadi harus dilakukan asesmen dan dilakukan pengukuran lebih dalam," pungkasnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya