Liputan6.com, Jakarta - Media penyiaran di seluruh dunia sejatinya berperan penting sebagai penyedia arus informasi bagi masyarakat. Sifatnya yang mampu membentuk opini publik menjadikan media ditempatkan pada posisi yang penting dalam sistem masyarakat, salah satunya dalam pemahaman akan kesetaraan gender dalam kehidupan masyarakat.
Data Badan Pusat Statistik pada 2019 menunjukkan bahwa, baik laki-laki dan perempuan di Indonesia, 93,21 persen di antaranya masih menonton acara televisi. Hal ini menggambarkan bahwa televisi masih menjadi rujukan masyarakat dalam memperoleh informasi. Namun, tidak sedikit tayangan media yang masih mendiskreditkan pihak tertentu dan menggiring opini masyarakat, salah satunya tentang peran perempuan.
Advertisement
Baca Juga
Lena Maryana Mukti, Koordinator Maju Perempuan Indonesia menyampaikan bahwa banyak media yang masih mengeksploitasi perempuan dan menjadikan mereka sebagai objek dalam suatu tayangan, tanpa memperhatikan prinsip keadilan dan kesetaraan gender, apalagi penghormatan terhadap perempuan.
Tanpa sadar, media, terutama televisi, membentuk stigma tertentu terhadap perilaku atau peran perempuan melalui beragam tayangan atau program mereka, padahal belum tentu benar adanya. Hal ini akan sangat merugikan perempuan, terutama jika para penontonnya adalah mereka yang belum teredukasi dengan baik tentang kesetaraan gender.
"Kami mengawal isu tentang bagaimana media harusnya menampilkan sosok perempuan sebagai makhluk universal, yang harus mendapat perlakuan yang setara dan adil, sebagaimana yang diterima oleh kaum laki-laki," katanya dalam webinar bertajuk Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa: Perempuan dan Media, Rabu (14/10/2020). Ia mendorong stigmatisasi terhadap perempuan yang digiring oleh lembaga penyiaran harus segera dihapuskan.
Melihat peran media yang begitu penting dalam menggiring opini masyarakat, ia menyampaikan bahwa seharusnya media dapat menjaga netralitas, melaporkan fakta sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik, dan tidak mengeksploitasi perempuan. Maka, baginya perlu ada juga upaya bersama antara Kementeriaan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) RI, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), lembaga penyiaran, dan komunitas terkait untuk mengedepankan perempuan agar mendapatkan hak yang ama dengan laki-laki.
Penting baginya untuk melibatkan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. "Demokrasi yang tidak melibatkan dan memperhatikan kepentingan perempuan dapat dikatakan defisit. Begitu pula jika terjadi pada media penyiaran, kita tidak bisa berharap negara ini bisa maju jika peran perempuan selalu disingkirkan," tambahnya lagi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Media Mendiskreditkan Perempuan
Lena mengatakan bahwa stereotipe yang merugikan perempuan dalam dunia penyiaran itu sering sekali terjadi. Misalnya, di dalam tayangan sinetron yang kebanyakan menunjukkan karakter perempuan hedonis, sebagai pelakor, menjadi tukang gosip, dan lain sebagainya. Ia berharap media penyiaran lebih mempromosikan sikap atau kultur budaya yang juga memberi penghormatan terhadap perempuan.
"Stereotyping bahwa perempuan hanya berurusan dengan dapur, kasur, dan sumur ini justru harus dihapuskan. Jika ada pepatah bahwa yang dapat melumpuhkan pria adalah harta, takhta, dan wanita, ini sebenarnya harus diubah, karena tidak benar bahwa perempuan sebagai penggoda laki-laki dan menghancurkan hidup mereka," imbuhnya.
Ada pula tindak seksisme yang juga sering terjadi dan tanpa sadar membentuk pola pada tayangan yang dihadirkan media. Begitu pula dengan adanya mitologi kecantikan tentang bagaimana gambaran perempuan cantik yang ditampilkan media, dan mengesampingkan realita yang ada. Juga, masih ada perilaku yang menganggap perempuan sebagai kelompok marginal dalam masyarakat yang perannya tak sebanding dengan pria.
Nuning Rodiyah, Komisioner KPI Pusat juga menyampaikan bahwa penonton perempuan adalah faktor utama dinamika industri penyiaran, sehingga menjadi keharusan bagi industri penyiaran untuk menghadirkan program yang berorientasi pada kepentingan perempuan, bukan program siaran terus menerus mengeksploitasi perempuan.
"Banyak tayangan, seperti sinetron misalnya, yang mendiskreditkan perempuan, membangun stigma negatif tentang perempuan," ucap dia, "Maka, harapan kami sebagai regulator penyiaran itu meminta kepada seluruh lembaga penyiaran, untuk menghadirkan informasi yang akurat, dengan muatan nilai pendidikan di setiap siarannya, dan hiburan yang positif serta edukatif."
Advertisement
Pentingnya Edukasi
Sering kali masyarakat tertarik pada judul acara atau siaran yang bombastis, serta mendiskreditkan pihak tertentu. Maka itu, Nuning mengungkapkan bahwa tugas mengedukasi masyarakat tentang konsumsi siaran televisi yang baik adalah tugas bersama, termasuk lembaga penyiaran itu sendiri.
"Kalau masyarakat semakin cerdas dan teredukasi, mereka akan memilih siaran yang juga demikian. Selanjutnya, teman-teman industri penyiaran juga pasti akan menyesuaikan dengan apa yang diminati masyarakat tidak lagi ada judul-judul yang bombastis dan mendiskreditkan perempuan," jelasnya.
Prinsip kesetaraan geder memang harus pula ditanamkan pada pihak media dan penyelenggara program. Ia beranggapan bahwa ketika tim produksi memiliki informasi dan kapasitas pengetahuannya sudah sensitif akan gender, tentu yang akan lahir di layar kaca juga akan mendukung gerakan keadilan gender.
Nuning memberikan penjelasan bahwa seharusnya perempuan tidak ditayangkan sebagai objek, tapi lebih menonjolkan peran mereka, misalnya saja pada pembawa berita perempuan. "Maka ketika bicara kualitas, kecerdasan, dan ketangguhan perempuan, sekarang tidak lagi tentang bagaimana (cara) membuka dada, meninggikan rok, dan lainnya, tetapi sekarang bicara tentang kemampuan mereka menggali jawaban dari narasumber, itu yang menjadi prioritas," katanya.
Ia berharap, dengan semakin banyaknya perempuan yang terjun di industri penyiaran, perspektif perempuan akan semakin mempengaruhi seluruh program siaran yang tayang di televisi. "Harapannya ada nilai-nilai pemberdayaan, penghormatan terhadap perempuan, yang saat ini sedikit banyak masih menampilkan perilaku eksploitasi, dan menampilkan perempuan sebagian obyek pemberitaan atau program penyiaran," tutupnya.
Menanggapi permintaan tersebut, Direktur Program dan Produksi SCTV-Indosiar, Harsiwi Achmad, mewakili Emtek Group menegaskan akan terus memperbaiki tayangan-tayangan di televisi agar bisa meninggikan derajat dan peran perempuan di industri media. "Media itu tidak akan bisa berjuang sendiri kalau tidak didukung oleh semua aspek, dan kerja sama dengan KPI juga selama ini sangat bagus," ucap dia.
Saat ini, menurut Siwi, sinetron dan reality show adalah jenis tayangan yang paling disukai penonton TV, seperti Liga Dangdut di Indonesia. Ia menyebut pihaknya mengedepankan edukasi dan kultur dalam tayangan tersebut. "Kontestan perempuan d Liga Dangdut tidak dipandang dari penampilan saja, tapi juga dari kualitas dan talenta bernyanyinya," sambung dia.
(Brigitta Valencia Bellion)