KPI Dukung Revisi UU Penyiaran, Aturan Lama Dinilai Tak Lagi Relevan dengan Perkembangan Zaman

Komisioner KPI Pusat, Tulus Santoso mendukung niatan tersebut, lantaran UU Penyiaran sekarang tak relevan dengan perkembangan zaman.

oleh Putu Merta Surya Putra Diperbarui 11 Apr 2025, 20:17 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2025, 20:17 WIB
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Tulus Santoso.
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Tulus Santoso. (Foto: Istimewa)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta DPR RI membahas lagi terkait revisi Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Hal ini pun mendapat respons dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Komisioner KPI Pusat, Tulus Santoso mendukung niatan tersebut, lantaran UU Penyiaran sekarang tak relevan dengan perkembangan zaman.

"Kami pastinya mendukung langkah legislatif untuk merevisi UU Penyiaran. Karena memang UU Penyiaran kita sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Sehingga perlu untuk disesuaikan," kata dia dalam keterangannya, Jumat (11/4/2025).

Pria yang juga menjabat sebagai Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat menjelaskan, perkembangan teknologi berimplikasi pada berkembangnya sektor penyiaran, termasuk paparan konten audio visual yang tidak terkendali.

"Kehadiran UU Penyiaran untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya publik yakni frekuensi tidak menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat. TV dan radio melalui UU Penyiaran tahun 2002 sudah diatur sangat ketat, tapi bagaimana dengan konten audio visual yang saat ini penetrasinya lebih masif dan hadir setiap waktu digenggaman masyarakat melalui gawai," ungkap Tulus.

Dia memandang, selama ini ketika KPI berkegiatan justru masyarakat banyak yang mempertanyakan mengenai konten-konten yang beredar melalui platform digital. Menurut masyarakat banyak konten audio visual yang meresahkan.

Terkait ada pihak yang khawatir terhadap revisi UU Penyiaran dapat membelenggu pers dan demokrasi, menurutnya, hal tersebut menjadi ruang dialog yang harus didiskusikan dengan pembuat undang-undang agar tidak ada perbedaan persepsi.

"Menurut saya, kekhawatiran wajar muncul. Tapi spirit revisi inikan untuk perlindungan publik, termasuk industri tempat dimana insan pers bekerja. Kita harus juga sama-sama mengawal dan berdialog dengan pembuat undang-undang sehingga persepsinya bisa sama. Pertaruhan yang bahaya menurut saya kalau DPR dan pemerintah ingin membungkam pers," jelas tulus.

 

Banyak Konten Positif dan Edukatif

Tulus Juga menyoroti pihak yang menilai adanya revisi UU Penyiaran bisa berpotensi menghambat kebebasan berekspresi karena akan diperluas untuk mengatur konten di media sosial.

Menurutnya, penolakan tersebut lantaran belum samanya persepsi publik mengenai apa yang sebaiknya diatur dan tidak diatur.

"Kalau kita sering membuat konten yang positif, edukatif, kemudian kita juga enggan dengan konten yang sekedar mempertontonkan sensualitas, maka seharusnya pengaturan itu menjadi baik," jelas dia.

Ketika ditanya mengenai apakah mungkin mengatur konten di platform digital. Tulus menegaskan bahwa hal tersebut tidak mudah. Namun, negara tetap harus hadir.

"Banyak negara dipusingkan dengan perkembangan platform digital. Tapi apakah kemudian Indonesia hanya diam saja. Eropa bisa mengeluarkan Audio Visual Media Service Directive Act, 2018. Mereka mengatur konten audio visual," jelas dia.

"Tentu bentuk pengaturannya berbeda dengan Free To Air (FTA). Selain itu, Kami juga tidak dalam posisi bahwa media baru harus diatur KPI. Kami memasrahkan pada pembuat undang-undang. Semangat kami adalah, bahwa negara harus hadir dan kita tidak boleh kebobolan jika memang ingin melindungi masyarakat," tutupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya