Liputan6.com, Jakarta - Memasuki 1979, kesehatan Mohammad Hatta menurun drastis. Jantungnya melemah. Geraknya terhambat karena kaki yang membengkak. Menurut penulis biografi politiknya, Mavis Rose, Sang Proklamator kian mendekatkan diri ke agama.
Pihak keluarga kerap memintanya tak ke masjid untuk shalat Jumat. Ketika anjuran itu datang, Hatta gusar dan berujar, "Kenapa tidak boleh bersembahyang Jumat? Saya masih kuat berjalan." Keluarga khawatir karena ia pernah terjatuh akibat hilang kesadaran dan kepalanya terluka.
Pada 14 Maret 1980, pada usia 78, ia menghembuskan nafas terakhir. Ribuan warga mengantarkan Hatta ke peristirahatan terakhir di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Ucapan duka datang dari dalam maupun luar negeri. Perdana Menteri India Indira Gandhi, misalnya, mengatakan," (Hatta adalah) salah seorang raksasa pelopor yang bersama-sama ayah saya mengambil peran memimpin negara masing-masing berjuang mencapai kemerdekaan."
Sepanjang hayatnya, Hatta menjadi tipikal pemimpin penuh integritas dan bersahaja. Ada sejumlah kisah tentang hidup Hatta yang jauh dari berlimpahnya harta. Pada awal 1970-an, ia bahkan kesulitan membayar iuran air minum dan iuran rehabilitasi daerah (Ireda).
Hal ini kemudian diketahui Gubernur DKI Jakarta saat itu Ali Sadikin. "...terharu saya mendengarnya. Saya segera mencari akal, mencari jalan apa yang dapat saya perbuat semampu saya untuk membantunya," kata Ali dalam memoarnya, Demi Jakarta 1966-1977.
Langkah pertama Ali adalah menetapkan Hatta sebagai warga utama Jakarta. Setelah itu, mengusulkan ke DPRD DKI Jakarta agar sang warga utama dibebaskan dari kewajiban membayar iuran air minum dan Ireda. DPRD menyetujui.
Kisah lain -- yang agaknya sudah bukan rahasia -- menyangkut sepatu Bally. Suatu ketika Hatta pergi ke luar negeri. Di sebuah toko, ia melihat sepatu Bally dan terpesona. Tapi, tak cukup uang di saku. Di masa itu, Bally merupakan merek ternama nan mahal. Saking mengidamkan, guntingan iklan sepatu Bally di koran disimpannya. Ia berharap suatu waktu bisa membeli.
Sampai Hatta wafat, sepatu Bally idamannya tetap tak terbeli. Uang tabungan tak pernah mencukupi -- selalu terpakai untuk keperluan rumah tangga, menolong kerabat, dan kebutuhan lain.
Advertisement
Baca Juga
Advertisement
Mesin Jahit yang Tak Terbeli
Ini cerita lain lagi. Istrinya, Rahmi, menghemat pengeluaran keluarga agar bisa membeli mesin jahit. Setelah uangnya terkumpul dan hampir mencukupi untuk membeli mesin jahit, tiba-tiba ia dikejutkan berita bahwa Pemerintah RI menerbitkan kebijakan sanering atau pemotongan nilai uang. Diturunkan hingga tinggal 10 persennya. Maka, Rp 1.000 menjadi Rp 100 dan seterusnya. Tujuannya untuk mengatasi kondisi ekonomi yang memburuk waktu itu.
Duit Rahmi yang hampir mencukupi tiba-tiba menjadi tidak ada nilainya. Dengan hati sedih ia mendatangi suaminya dan berucap, ”Pak, Bapak kan Wakil Presiden. Bapak pasti tahu bahwa pemerintah akan mengadakan sanering. Mengapa Bapak tidak memberi tahu kepada ibu?”
Hatta menjawab, ”Bu, itu rahasia negara. Kalau Bapak beritahu pada ibu, berarti itu bukan rahasia lagi.”
Ia memang terkenal karena sikapnya yang tak suka menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Pada 1950, ibunda Hatta ingin bertemu anaknya. Kemenakan tiri Hatta, Hasjim Ning, diminta menjemput Mak Tuo, panggilan Sang Ibunda, ke Sumedang, Jawa Barat. Hasjim mengusulkan kenapa tak memakai mobil dan supir Hatta saja. Pasti Mak Tuo bangga dijemput dengan mobil Perdana Menteri.
"Tidak bisa. Pakai saja mobil Hasjim. Mobil itu bukan kepunyaanku, kepunyaan negara," kata Hatta seperti dikutip dalam otobiografi Hasjim, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Menurut Sekretarisnya, I. Wangsa Widjaja, kesederhanaan Hatta juga terlihat saat ia pergi ke luar negeri. "Ia pergi membawa satu koper dan pulang dengan satu koper pula," tulis Wangsa di Mengenang Bung Hatta. Wangsa bilang, Hatta tak suka menghamburkan uang untuk belanja ini dan itu.
Hatta juga nyaris tak pernah memanfaatkan kunjungan ke luar negeri untuk bersenang-senang. "Kalaupun beliau menghendaki liburan, satu-satunya hiburan beliau adalah mengunjungi toko buku dan membenamkan diri di antara rak-rak buku selama berjam-jam," lanjut Wangsa yang bekerja untuk Hatta sejak November 1945 itu.