Ketika Bung Hatta Dibuang ke `Neraka` Bernama Digul

Kejenuhan dan ketidakpastian dicampur serangan malaria sungguh menjadi jalan lempang menuju kematian.

oleh Yus Ariyanto diperbarui 16 Mar 2014, 23:53 WIB
Diterbitkan 16 Mar 2014, 23:53 WIB
boven digoel
(easts.dukejournals.org)

Liputan6.com, Jakarta - Sepulang dari Belanda, pada 1932, Bung Hatta terus berpolitik. Ia bergabung dengan Pendidikan Nasional Indonesia atau biasa disebut PNI Baru. Secara formal, Sutan Sjahrir adalah Ketua PNI Baru. Tapi, Bung Hatta menjadi semacam "godfather" buat semua kader organisasi.

Bung Hatta rutin menulis, terutama untuk Daulat Ra'jat. Ia juga aktif memberikan kursus-kursus politik. Segenap aktivitas ini membuatnya jadi pantauan polisi dan intel Belanda.  Penangkapan sebenarnya tinggal urusan waktu.

Pada 25 Februari 1934, akhirnya Bung Hatta dicokok. Ia dianggap terlalu berbahaya untuk dibiarkan beraktivitas. Sejumlah pengurus PNI Baru lain juga ditahan, termasuk Sjahrir.

Bung Hatta ditahan di penjara Glodok, sementara Sjahrir di Cipinang. Kepada temannya, Murad, yang mengambil alih Daulat Ra'jat, Hatta menulis surat dari balik sel. Petikannya, "Selama saya memiliki buku, saya dapat tinggal di mana saja...Tak seorang pun menyukai penjara, tetapi meskipun jahat, penjara juga bisa menguntungkan. Ia memperkuat keyakinan kita dan membuat kita lebih pasti."

Pada 16 November 1934, turun keputusan sangat pahit: Bung Hatta diasingkan ke Boven Digul -- juga Sjahrir. Tuduhannya adalah melakukan tindakan revolusioner melawan pemerintahan selama tinggal di Belanda. Ajaib! Tuduhan itu pernah diarahkan ke dirinya. Namun, pada Maret 1928, Hatta dinyatakan tidak bersalah [baca Bung Hatta di Belanda: Belajar, Menulis, dan Dipenjara].

Digul adalah horor. Kawasan di pelosok Papua tersebut dibangun Gubernur Jenderal De Graeff pada 1927 sebagai lokasi pengasingan tahanan politik. Tempat itu dikepung hutan rimba nan lebat. Jauh dari mana-mana. Makin mencekam karena kehadiran nyamuk malaria yang masif dan ganas.

Andai mau kabur, pilihan terbaik adalah Kepulauan Thursday, Australia. Untuk itu, orang mesti menempuh hampir 500 kilometer sepanjang Sungai Digul yang penuh buaya, lalu menyeberangi Selat Torres. Setiba di Australia, polisi menunggu. Jika tertangkap, ya, dipulangkan ke Digul.

Bung Hatta tiba di Digul pada akhir Januari 1935. Di sana, ada 2 jenis tahanan: mereka yang mau bekerja untuk Belanda (werkwillig) dan yang tak bersedia (naturalis). Hatta memilih yang kedua. Maka, ia tak memperoleh uang sama sekali dan hanya mendapat jatah pangan yang pas-pasan. Yaitu, beras, ikan asin, teh, kacang hijau, dan minyak kelapa.

Untungnya, ia masih boleh menulis untuk memperoleh uang. Hatta meneken kontrak dengan koran Pemandangan di Batavia. Dengan honorarium itu, ia bisa membeli keperluan seperti sabun, minyak tanah, atau barang-barang lain.

Di Digul, para tahanan bebas bergerak. Tapi mau ke mana? Kejenuhan dan ketidakpastian dicampur serangan malaria sungguh menjadi jalan lempang menuju kematian.

Untuk menjaga kewarasan mental, Bung Hatta terus membaca dan menulis. Ke Digul, seluruh bukunya diangkut-- dalam belasan peti. Ia juga mengajarkan ekonomi, filsafat, dan sejarah kepada para tahanan yang bersedia.

Tapi, suasana di sana memang bikin 'gila'. Seperti diceritakan penulis biografinya, Mavis Rose, lelaki kelahiran 12 Agustus 1902 yang biasanya sabar dan tenang itu menjadi mudah marah dan pelupa. Bahkan, menunjukkan gejala-gejala awal stres.

Pada Maret 1935, Bung Hatta menulis surat untuk iparnya, minta dikirimi alat-alat pertukangan seperti paku, palu, dan gergaji. Ia bermaksud membangun rumah semi-permanen. Di surat tersebut, ia juga mengisahkan nestapa orang-orang buangan di Digul. Tak disangka, ipar Hatta mengirim surat tersebut ke koran di Jakarta dan Belanda. Pemerintah Belanda yang saat itu dipimpin Perdana Menteri Colijn segera panen kecaman.

Mungkin untuk meredam kritik, November 1935, Bung Hatta (dan Sjahrir) dipindahkan ke Banda Neira, ibukota Kepulauan Banda di Maluku. Tempat baru ini jauh lebih manusiawi ketimbang Digul.

"Hatiku sendiri bercabang dua, gembira dan sedih. Gembira karena aku menghadapi nasib yang lebih baik, sedih karena akan berpisah dengan teman-teman seperjuangan, terutama kawan-kawan PNI," tulis Bung Hatta di memoarnya.

 

Baca juga:
Bung Hatta, Teladan Sikap Jujur dan Bersahaja

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya