Liputan6.com, Jakarta Indonesia memiliki banyak tradisi unik yang berkaitan dengan perayaan Idulfitri. Salah satunya adalah Binarundak, tradisi khas masyarakat Suku Mongondow yang tinggal di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Tradisi ini digelar sekitar sepekan setelah Idulfitri, di mana masyarakat berkumpul untuk memasak nasi jaha secara massal.
Binarundak bukan sekadar perayaan kuliner, tetapi juga memiliki makna sosial yang mendalam. Tradisi ini menjadi ajang silaturahmi dan reuni bagi warga yang merantau dan kembali ke kampung halaman saat Lebaran. Mereka berkumpul, berbagi cerita, serta menikmati hidangan khas yang dimasak bersama-sama.
Bagaimana sejarah dan makna dari tradisi Binarundak? Apa keunikan dalam pelaksanaannya? Dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, berikut ulasan lengkapnya.
Advertisement
Apa Itu Tradisi Binarundak?
Binarundak adalah tradisi memasak nasi jaha, makanan khas Sulawesi Utara yang terbuat dari beras ketan, santan, dan jahe, lalu dibakar dalam bambu. Tradisi ini dilakukan secara beramai-ramai oleh masyarakat Kotamobagu dan Bolaang Mongondow sepekan setelah Idulfitri.
Binarundak berasal dari kebiasaan masyarakat perantauan yang ingin menghabiskan waktu lebih lama bersama keluarga sebelum kembali ke kota tempat mereka bekerja. Oleh karena itu, mereka mengadakan perayaan tambahan setelah Lebaran untuk berkumpul kembali.
Puncak acara Binarundak ditandai dengan pembakaran nasi jaha secara massal. Berton-ton sabut kelapa digunakan sebagai bahan bakar, menciptakan suasana yang khas dengan kepulan asap yang memenuhi udara. Setelah nasi matang, warga bersama-sama menikmati hidangan sambil berbincang dan mempererat tali persaudaraan.
Advertisement
Sejarah dan Makna Tradisi Binarundak
Binarundak bukan sekadar tradisi kuliner, tetapi juga memiliki makna sosial yang mendalam bagi masyarakat Mongondow. Tradisi ini berakar dari kebiasaan para perantau yang ingin memperpanjang kebersamaan dengan keluarga sebelum kembali ke tempat kerja masing-masing.
Tradisi ini juga terinspirasi dari kebiasaan masyarakat Jawa-Tondano di Gorontalo, yang mengadakan perayaan khusus tujuh hari setelah Idulfitri. Masyarakat Mongondow kemudian mengadopsi kebiasaan ini dengan menambahkan unsur khas mereka, yaitu memasak nasi jaha dalam jumlah besar.
Binarundak memiliki beberapa makna penting bagi masyarakat setempat:
- Simbol kebersamaan: Tradisi ini menjadi ajang reuni bagi warga perantauan dan penduduk lokal.
- Melestarikan budaya lokal: Nasi jaha sebagai makanan khas tetap lestari dan diwariskan kepada generasi muda.
- Ungkapan rasa syukur: Dengan berkumpul dan berbagi makanan, masyarakat menunjukkan rasa syukur atas keberkahan Idulfitri.
Proses Pelaksanaan Tradisi Binarundak
Binarundak tidak hanya sekadar memasak nasi jaha, tetapi juga melalui serangkaian proses yang melibatkan seluruh masyarakat. Berikut tahapan pelaksanaannya:
1. Persiapan Bahan dan Peralatan
Sehari sebelum acara, masyarakat mulai mengumpulkan bahan-bahan utama, yaitu beras ketan, santan, jahe, bawang merah, daun jeruk, dan serai. Mereka juga menyiapkan bambu sebagai wadah serta sabut kelapa sebagai bahan bakar.
2. Memasak Nasi Jaha
Beras ketan yang telah direndam semalaman dikukus hingga setengah matang, lalu dicampur dengan bumbu-bumbu yang telah dihaluskan. Setelah itu, campuran ini dibungkus daun pisang dan dimasukkan ke dalam batang bambu.
3. Pembakaran Massal
Pada hari pelaksanaan, warga berkumpul dan menyusun bambu berisi nasi jaha di sepanjang jalan. Berton-ton sabut kelapa dinyalakan sebagai bahan bakar, menciptakan asap tebal yang khas. Proses pembakaran ini berlangsung beberapa jam hingga nasi matang sempurna.
4. Makan Bersama dan Hiburan
Setelah matang, nasi jaha dipotong-potong dan dinikmati bersama lauk seperti abon ikan cakalang, kari sapi, dan abon daging rusa. Acara ini juga dimeriahkan dengan musik tradisional dan pembacaan syair pujian sebagai bentuk syukur.
Advertisement
Keunikan dan Daya Tarik Binarundak
Binarundak tidak hanya menarik bagi masyarakat lokal, tetapi juga menjadi ikon wisata budaya di Kotamobagu. Bahkan, pada tahun 2014, pemerintah setempat meresmikan Tugu Binarundak setinggi 18 meter sebagai simbol pelestarian tradisi ini.
Beberapa keunikan yang membuat tradisi ini menarik adalah:
- Digelar di jalan raya: Selama acara, jalanan di Kelurahan Motoboi Besar dipenuhi warga yang memasak nasi jaha.
- Asap tebal memenuhi langit: Pembakaran sabut kelapa dalam jumlah besar menciptakan suasana khas yang unik.
- Menggunakan teknik memasak tradisional: Memasak dengan bambu memberikan aroma khas pada nasi jaha yang tidak bisa ditemukan dalam metode modern.
- Menjadi ajang wisata budaya: Tradisi ini menarik minat wisatawan yang ingin merasakan langsung pengalaman memasak dan menikmati nasi jaha.
Upaya Pelestarian Tradisi Binarundak
Sebagai salah satu warisan budaya, Binarundak terus dilestarikan oleh masyarakat dan pemerintah setempat. Beberapa langkah yang dilakukan untuk menjaga tradisi ini tetap hidup adalah:
- Pengakuan sebagai ikon budaya: Tugu Binarundak didirikan sebagai simbol pentingnya tradisi ini bagi identitas Kotamobagu.
- Pelibatan generasi muda: Anak-anak dan remaja diajak untuk ikut serta dalam persiapan dan pelaksanaan acara agar mereka mengenal budaya leluhur.
- Promosi sebagai wisata budaya: Pemerintah daerah mulai mempromosikan Binarundak sebagai daya tarik wisata kuliner dan budaya Sulawesi Utara.
Dengan berbagai upaya ini, diharapkan tradisi Binarundak tetap bertahan dan dikenal lebih luas, baik oleh masyarakat Indonesia maupun wisatawan mancanegara.
Advertisement
Pertanyaan Umum Seputar Tradisi BinarundakÂ
1. Apa perbedaan nasi jaha dan binarundak?
Binarundak adalah nama tradisi, sedangkan nasi jaha adalah makanan khas yang dimasak dalam acara ini.
2. Kapan tradisi Binarundak dilaksanakan?
Binarundak biasanya digelar sekitar sepekan setelah Idulfitri sebagai ajang silaturahmi dan perpisahan bagi perantau.
3. Mengapa Binarundak menggunakan bambu?
Bambu digunakan untuk memberikan aroma khas pada nasi jaha saat dibakar, mirip dengan teknik memasak lemang.
Â
Â
Â
