DPR Didesak Cantumkan Pasal Krusial dalam RUU Perlindungan Saksi

Koalisi Perlindungan Saksi menilai ada kesan pemerintah tidak mau memasukkan hak reparasi bagi korban kejahatan yang lebih luas.

oleh Anri Syaiful diperbarui 21 Mei 2014, 15:34 WIB
Diterbitkan 21 Mei 2014, 15:34 WIB
Sidang uji materi tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK) di Gedung MK, Jakarta. Susno Duadji selaku pihak pemohon mengajukan uji materi Pasal 10 ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban.(Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi III DPR kembali menggodok Rancangan Undang-Undang Perubahan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada hari ini.

"Setelah menggelar pembahasan awal bersama pemerintah pada Senin 19 Mei silam. Hari ini (pukul 13.00 WIB) jadwal pembahasan akan dilakukan Komisi III dengan mengundang Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban sebagai wakil masyarakat untuk memberikan masukan kepada DPR," ucap Supriyadi Widodo Eddyono, mewakili Koalisi Perlindungan Saksi, dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Rabu (21/5/2014).

Supriyadi menjelaskan, koalisi telah menganalisa RUU versi pemerintah dan secara umum menyatakan ada beberapa pasal krusial yang perlu menjadi perhatian DPR. "Pasal-pasal krusial tersebut harus diperbaiki karena berpotensi melemahkan hak-hak saksi termasuk korban, pelapor dan pelaku kolaborator," ujar Supriyadi.

Khusus mengenai hak korban yang mencakup hak reparasi berupa hak bantuan medis dan psikososial, kompensasi dan restitusi, di RUU masih sangat terbatas dan kurang memadai.

"Ada kesan pemerintah tidak mau memasukkan hak reparasi bagi korban kejahatan yang lebih luas," kata Zainal Abidin, anggota koalisi dari ELSAM --masih dalam keterangan tertulis yang sama.

Menurut Zainal, hal itu harus dikritisi dan menjadi perhatian DPR. Ia menjelaskan bahwa ketentuan-ketentuan yang krusial tersebut mencakup:

Pertama, ketentuan mengenai hak korban mengenai bantuan medis dan psikososial. "Ketentuan ini secara definitif hanya diperuntukkan bagi korban pelanggaran HAM (hak asasi manusia) yang berat dan terorisme terlalu terbatas," ujar Zainal.

Pengaturan yang terbatas terhadap korban yang mendapatkan bantuan medis dan rehabilitasi psikososial ini, telah mengabaikan hak-hak korban kejahatan lainnya yang secara dampak memerlukan bantuan tersebut. Korban kejahatan lainnya yang juga seharusnya mendapatkan hak ini, misalnya adalah korban penyiksaan, pembunuhan dan kejahatan seksual.

"Koalisi setuju dengan usulan pemerintah untuk menambahkan bahwa korban yang berhak atas bantuan ini bukan saja korban pelanggaran HAM yang berat, tetapi korban terorisme. Namun Koalisi menambahkan bahwa para korban kejahatan penyiksaan, seksual dan para korban kejahatan lain yang menghadapi dampak yang sama dengan kejahatan-kejahatan tersebut berhak mendapatkan bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis," imbuhnya.

Kedua, Koalisi berpandangan bahwa pengaturan kompensasi ini masih jauh dari standar HAM sebagaimana yang dituangkan dalam berbagai instrumen HAM Internasional maupun regional.

"Berbagai instrumen HAM internasional menyatakan bahwa kompensasi seharusnya diberikan kepada korban pelanggaran HAM (yang berat), tanpa melihat apakah pelaku diadili atau dihukum, sepanjang diketahui bahwa ada korban dan terbukti perbuatan yang menunjukkan pelanggaran HAM telah terjadi," papar Zainal.

Menurut dia, kompensasi adalah kewajiban yang harus dilakukan negara terhadap korban pelanggaran HAM (yang berat) untuk melakukan pembayaran secara tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah.

"Seharusnya, pengertian dari kompensasi itu diberikan kepada korban bukan karena pelaku tidak mampu, tetapi sudah menjadi kewajiban negara (state obligation) untuk memenuhinya ketika terjadi pelanggaran HAM yang berat dan mengakibatkan adanya korban," urainya.

Ketiga, penegakan hukum restitusi masih kurang memadai, termasuk peran serta aparat penegak hukum. "Oleh karena itu koalisi mendorong agar DPR harus memuat perampasan aset pelaku buat pembayaran restitusi, dan dapat dilakukan segera saat penyidikan (lihat RUU KUHAP).

"RUU (juga) harus memuat hukuman tambahan bagi pelaku yang tidak membayarkan restitusi. RUU harus memuat tanggung jawab JPU untuk memasukkan restitusi dalam tuntutan harus memuat tanggung jawab hakim pengadilan agar tidak menolak permohonan restitusi yang diajukan korban," jelas Zainal.

Lebih jauh Zainal mengusulkan, RUU harus memuat tugas JPU sebagai baik sebagai perampas aset pelaku juga sebagai eksekutor pembayaran restitusi.

Zainal juga menyorot mengenai whistleblower atau pembongkar kasus. Menurut dia pengertian whistleblower yang kurang komprehensif karena hanya terbatas sebagai pelapor tindak pidana.

"Model dan jenis perlindungan bagi whistleblower masih kurang di samping juga tidak mengatur `reward` yang cukup memadai bagi whistleblower. sehingga koalisi meminta DPR harus memasukkan ketentuan pelapor tidak hanya dalam aspek laporan pidana, namun mencakup laporan-laporan yang tidak berupa `laporan pidana`.

"Tidak hanya ke aparat penegak hukum namun jika pihak-pihak lainnya, misalnya DPR, Ombusdman, KPU, KPPU dan lain-lain. Harus dibuat mekanisme reward dari Negara atau pemerintah atas laporan atau pengungkapan dari whistleblower. Baik berupa uang atau reward lainnya," tandas Zainal.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya