Liputan6.com, Jakarta - Suasana siang itu cukup hening di ruang sidang. Semua mata tersorot kepada Majelis Hakim yang tengah membacakan vonis. Ini menjadi detik-detik menegangkan bagi Gubernur non-aktif Banten Ratu Atut Chosiyah terkait kasus suap sengketa Pilkada Lebak Baten 2014.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pun akhirnya mengetuk palu vonis pidana penjara 4 tahun kepada Ratu Atut. Tak cuma itu, Majelis juga menjatuhkan denda Rp 200 juta subsider pidana kurungan 5 bulan.
Ratu Atut tertunduk lesu mendengar vonis dari Majelis. Raut mukanya terlihat datar, seraya memainkan ‎jari-jari tangannya. Ia sama sekali tak menatap kepada Majelis saat vonis dijatuhkan. Seolah tak kuasa menerima kenyataan yang terjadi saat itu. Baju batik bercorak hitam dan abu-abu serta jilbab hitam seolah menandakan kedukaan.
Memang, sebelum menghadapi sidang vonis ini Atut sudah mempersiapkan diri agar dapat menerima apapun keputusan Majelis. Ia pasrah dan menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis dan berdoa agar hukuman diperingankan. Namun itu sepertinya tidak cukup menguatkan dirinya.
"Beliau pasrah dan hanya bisa berdoa," kata kuasa hukum Tubagus Sukatna menjelang sidang.
Ratu Atut dinyatakan terbukti bersalah secara bersama-sama dengan adik kandungnya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan melakukan suap kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar sebesar Rp 1 miliar. Uang itu diberikan terkait pengurusan sengketa ‎Pilkada Kabupaten Lebak 2013.
Kasus sengketa Pilkada Lebak berawal dari kekalahan pasangan Amir-Kasmin dari pasangan Iti Oktavia Jayabaya-Ade Sumardi. Pasangan ini kemudian mengajukan gugatan sengketa Pilkada ke MK. Selama proses tersebut, Atut diduga turut bermain dengan menyuap Akil Mochtar untuk memenangkan gugatan Amir-Kasmin.
Akil sebelumnya telah divonis seumur hidup. Sedangkan Wawan harus menjalani 5 tahun penjara, dan Susi Tur Andayani yang berprofesi sebagai advokat pun telah diputus bersalah dengan hukuman 5 tahun penjara.
Selain itu, Atut juga dijerat penyalahgunaan anggaran dalam pengadaan sarana dan prasarana alat kesehatan Provinsi Banten pada 2011-2013.
Jaksa menyatakan, perbuatan Atut terbukti melanggar dakwaan primer. Dalam hal ini melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Atut dinilai terbukti melanggar dakwaan primer, yakni melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Ada dissenting opinion atau ketidakbulatan pendapat dari Majelis dalam putusan ini. Hakim Anggota 4 menyatakan pendapat berbeda, lantaran fakta-fakta didasarkan hanya dari petunjuk dan keterangan saksi.
"Hakim anggota 4 beda pendapat, pendiriaan terhadap dakwaan tidak terbukti," kata Ketua Majelis Hakim Matheus Samiadji di sela sidang.
Dalam putusannya, Majelis mempertimbangkan hal yang memberatkan, bahwa tindakan Atut tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Sementara hal-hal meringankan adalah Atut berlaku sopan, tidak pernah dihukum, dan punya tanggungan keluarga.
Adapun menanggapi vonis ini, kubu Atut menyatakan masih mempertimbangkan apakah akan mengajukan banding atau tidak. "Kami sepakat akan pikir-pikir terlebih dahulu," kata kuasa hukum Atut, Tubagus Sukatna.
Vonis ini dinilai jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa yang menuntut Atut dengan pidana 10 tahun penjara dan denda Rp 250 juta‎ subsider 5 bulan kurungan. Jaksa juga menuntut Ketua DPP Partai Golkar Bidang Pemberdayaan Perempuan itu dengan pidana tambahan, yakni berupa pencabutan hak-hak politiknya untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.
Namun dalam vonisnya, hukuman pidana tambahan digugurkan Majelis. Alasanya, Ratu Atut sudah dinyatakan terbukti bersalah melakukan suap dan dijatuhi pidana penjara. Belum lagi, Atut juga tengah menjalani kasus lain, yakni kasus dugaan korupsi proyek pengadaan alat kesehataan (alkes)‎ Pemerintah Provinsi Banten anggaran 2012-2013.
"Sehingga dengan sendirinya akan terseleksi secara alamiah di masyarakat. Masyarakat Banten sudah cerdas dalam menilai seseorang untuk memilih dan dipilih jabatan politik. Akan tereleminir sendiri, sekalipun hak-hak‎ (politik) tidak dicabut," ujar Sutio.
Sementara di luar persidangan gedung Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, mahasiswa Banten menggelar unjuk rasa. Mereka menuntut agar Ratu Atut divonis seberat-beratnya, karena dianggap sudah menyengsarakan rakyat Banten.
Mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) itu berharap vonis lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang sebelumnya menuntut 10 tahun penjara. Sesuai dengan Pasal 6 Ayat (1) huruf a UU Tipikor yaitu 15 tahun penjara dan denda Rp 750 juta.
"Hakim harus seadil-adilnya. Atut 15 tahun penjara itu harga mati," kata Ketua Umum HMB, Jhojon Suhendar Andari di sela-sela aksi yang diikuti sekitar 50 mahasiswa itu.
"Kami mahasiswa Banten menilai Hukuman maksimal untuk Ratu Atut penting untuk memangkas dinasti korup Ratu Atut yang telah banyak menyengsarakan rakyat," sambung dia.
Ratu Glamor
Pengungkapan kasus Ratu Atut bermula dari penangkapan Wawan pada 2 Oktober 2013 lalu dalam upaya penyuapan Akil dalam sengketa Pilkada Lebak Banten 2013. Tak lama, KPK mencegah Atut berpergian ke luar negeri.
Pada pemeriksaan berikautnya Ratu Atut mulai dicecar seputar pertanyaan korupsi pengadaan alat-alat kesehatan (alkes) di Banten. Pertangahan Desember 2013, Ratu Atut ditetapkan tersangka dan ditahan KPK pada 20 Desember 2013 lalu. Atut pun digelandang ke Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Atut dan Wawan disangka menyuap Akil Rp 1 miliar demi memuluskan permohonan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten 2013. Jaksa KPK memiliki bukti kuat, di antaranya Atut berkomunikasi dengan Akil di Singapura.
Kasus ini tidak hanya menguak kasus korupsi keluarga Atut, tetapi juga menguak gaya hidup glamor. Seperti Wawan yang memiliki koleksi sejumlah mobil mewah, yang cukup menggambarkan kehidupan mewah keluarga Ratu Atut.
Ratu Atut juga memiliki sejumlah kekayaan, seperti sejumlah rumah di sejumlah kota. Seperti rumah mewah di Kompleks Intercon Blok U1, Jalan Jeruk Joglo 2, Kembangan, Jakarta Barat, Jalan Bhayangkara Serang, dan Jalan Suryalaya IV No 1 Cijagra, Lengkong, Kota Bandung.
Tak hanya rumah mewah, Ratu Atut juga memiliki sebanyak 13 item tanah yang tersebar di kota Serang, Bandung dan Cianjur dengan nilai miliaran rupiah. Total kekayaan Atut mencapai Rp 41,9 miliar.
Atut juga disebut-sebut memiliki gaya hidup mewah dan memiliki kegemeran shopping barang-barang bermerek terkenal. Catatan PPATK tentang pengguanaan kartu kredit, Atut kerap berbelanja di Singapura, Korea, Swiss dan Tokyo.
Januari 2012, di Swiss, Ratu Atut belanja sepatu seharga Rp 30 juta, beli baju untuk sang cucu Rp 40 juta dan mampir di Butik Hermes senilai Rp 50 juta. Kemudian pada 6 Februari 2012, Ratu Atut di Tokyo mampir ke Butik Hermes dengan berbelanja seharga Rp 430 juta, Rp 100 juta, dan Rp 50 juta.
Melukai Rakyat Banten
Bagi keluarga Ratu Atut, vonis ini jelas menjadi duka. Beberapa di antara mereka terlihat menangis saat mendengarkan vonis hukuman Ratu Atut. Di antara yang terlihat adalah adik Ratu Atut, Ratu Tatu Chasanah.
Beberapa saat setelah vonis dibacakan, mereka tampak berlari kecil keluar dari ruang sidang. Mereka langsung menuju musala. Tak terdengar jelas apa yang mereka katakan. Namun kebanyakan dari mereka tampak sedih dan murung mendengar vonis tersebut. Tentu kejadian ini sempat membuat ruang sidang menjadi sedikit gaduh.
Bagi Atut sendiri, merasa vonis hukuman yang dijatuhkan Majelis tidak adil. "Tidak adil. Doakan semuanya ya keadilan terjadi kepada saya," kata Atut usai sidang.
Atut mengaku, dirinya hanyalah korban kepentingan dari pihak lain. Dalam hal ini pengacara Susi Tur Andayani dan mantan calon Bupati Lebak, Amir Hamzah. "Saya korban kepentingan Susi dan Amir Hamzah," ujar Atut.
Atut juga mengaku, kedua orang itu selalu menjual namanya terkait pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak 2013 di MK. Tak cuma itu, nama adiknya, Wawan juga kerap dibawa-bawa kedua orang itu.
"Apabila komunikasi dengan Akil, Susi dan Amir juga selalu menjual nama saya dan adik saya (Wawan)," ujar dia.
Sementara pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merasa tidak puas dengan vonis hukuman Ratu Atut, mengisyaratkan akan melakukan banding melalui Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Saya kira akan banding dan pantas untuk dibanding," kata Wakil Ketua KPK, Busyro Muqaddas di Jakarta.
Bekas Ketua Komisi Yudisial (KY) itu mengungkapkan, Atut terbukti melakukan ‎suap Rp 1 miliar kepada Akil, terkait pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak 2013. Perbuatan itu, menurut dia telah menciderai demokrasi di Indonesia.
"Kasus ini telah menodai demokrasi dan MK serta melukai rakyat setempat (Banten)," pungkas Busyro.