Cerita Nelayan Bangkit dari Titik Nol Pasca-Tsunami Aceh

Tsunami telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan banyak warga Aceh. Namun seorang nelayan asal Lamno, Aceh Jaya, tidak menyerah begitu saja

oleh Liputan6 diperbarui 24 Des 2014, 05:00 WIB
Diterbitkan 24 Des 2014, 05:00 WIB
Korban tsunami Aceh
Salah satu nelayan korban tsunami Aceh, Hasyimi, dengan becak motornya. (Oxfam/Jim Holmes)

Liputan6.com, Lamno, Aceh Jaya - Gempa bumi dahsyat 9,1 skala Richter yang disusul tsunami besar hampir 10 tahun silam membuat semua kehidupan di pesisir Aceh berada di titik nol. Gelombang dari laut setinggi lebih dari 30 meter itu menyapu seluruh permukiman, mulai dari Banda Aceh hingga Meulaboh. Tsunami Aceh turut berdampak pula ke 14 negara, menewaskan 230.000 orang dengan lebih dari separuhnya korban asal provinsi ujung barat Indonesia yang populer dengan sebutan Serambi Mekah.

"Kami sangat terpukul karena gelombang tsunami sebanyak 2 kali datang hingga menghantam sisi bukit dekat desa kami. Seluruh rumah dan tanah kami hancur," tutur Hasyimi, warga Desa Krueng Tunong, Kecamatan Lamno, Kabupaten Aceh Jaya kepada Oxfam, seperti Liputan6.com kutip, Rabu (24/12/2014).

Bencana tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 itu hampir mematahkan asa lelaki kelahiran Lamno, Aceh Jaya tersebut. Tapi setelah melalui masa tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi, Hasyimi bersama ratusan ribu warga Aceh yang menjadi korban tsunami mulai menata kembali kehidupan mereka.

Bangkit dari Titik Nol

"Setelah semuanya hancur oleh tsunami saya harus mulai lagi dari nol," imbuh Hasyimi yang kini berusia 43 tahun.

Hasyimi pun bersyukur, kepedulian dan uluran tangan dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal maupun asing seperti Oxfam membuat ia dan banyak warga Lamno bangkit kembali.

"Setelah tsunami tidak ada orang di sini (Desa Krueng Tunong, Lamno, Aceh Jaya). Kita semua mengungsi di kamp-kamp darurat yang berbeda. Akhirnya, saya pergi menemui staf Oxfam dan membawa mereka ke sini untuk melihat apa yang bisa dilakukan," kata Hasyimi yang sebelum tsunami menerjang berprofesi sebagai nelayan.

Ia menuturkan pula, mereka kemudian merancang program untuk Desa Krueng Tunong yang disebut Born Again (Kembali Bangkit). "Ini untuk menunjukkan kepada masyarakat di sini bahwa kita bisa membangun kembali. Dan, kini kami telah membangun kembali desa dan berharap untuk masa depan," ucap Hasyimi.

Selaku koordinator, Hasyimi kemudian memimpin warga Krueng Tunong, Kecamatan Lamno, untuk berperan dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-tsunami. Lamno yang berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan dari pinggiran Banda Aceh termasuk daerah pesisir yang hancur oleh tsunami.

"Saya memimpin dan mengoordinasi komunitas saya untuk mengikuti program Oxfam. Kami dibayar Rp 50 ribu per hari untuk membersihkan puing-puing di jalan-jalan dan lahan pertanian. Kami juga membangun kembali jalan desa dengan beton."

Setelah jalan selesai dibangun, imbuh Hasyimi, warga desa pun dapat memasarkan hasil lahan pertanian ke pasar terdekat. Hasyimi juga mengawasi pembangunan 30 rumah di desanya, Krueng Tunong, Kecamatan Lamno. Pembangunan puluhan rumah itu juga dari hibah organisasi nirlaba asal Inggris tersebut.

Sukses memimpin pembangunan kembali desanya ternyata membawa berkah tersendiri bagi Hasyimi. "Oxfam memberi saya hibah sebesar Rp 11 juta untuk membeli becak motor. Saya kemudian menggunakan becak motor untuk mengangkut warga dan anak-anak berangkat atau pulang sekolah sebagai layanan sukarela. Hanya saja aktivitas tersebut sekarang berkurang lantaran banyak orang kini memiliki sepeda motor sendiri," urai Hasyimi.

Kembangkan Usaha Wiraswasta


Selain mengantarkan warga desa dan anak sekolah, Hasyimi memanfaatkan becak motor untuk kepentingan usaha wiraswata yang dirintisnya. Kini, nelayan asal Lamno tersebut telah memiliki 2 kolam ikan dan sebuah toko di desanya. Ia pun kerap mengerjakan proyek kecil dari pemerintah.

Dengan memiliki kolam sendiri, Hasyimi dapat membudidayakan ikan ataupun udang. Ia biasanya menjual ikan hasil kolamnya tersebut senilai Rp 25 ribu per kilogram.

"Saya sekarang mempunyai 5 orang untuk bekerja pada kolam saya. Tapi, saya ingin terus meningkatkan dan menjadi lebih sukses," harap Hasyimi.


Peduli Korban Tsunami

Hasyimi adalah satu di antara korban tsunami Aceh yang dibantu Oxfam. Organisasi nirlaba dari Inggris ini bekerja sama dengan mitra lainnya turut membantu mengurangi penderitaan korban bencana tsunami pada 26 Desember 2004.

Secara global, Oxfam menerima donasi sebesar US$ 294 juta atau sekitar Rp 3,65 triliun yang 90% berasal dari pendonor swasta dalam bulan pertama. Dengan dana itu Oxfam mampu memberikan bantuan di Indonesia, Sri Lanka, India, Maladewa, Thailand, dan Somalia.

Oxfam International Executive Director, Winnie Byanyima, mengatakan apa yang dicapai dalam respons kemanusiaan atas bencana tsunami tidak akan mungkin dicapai tanpa solidaritas dan kemurahan hati para penduduk di dunia. "Ratusan ribu orang dapat membangun kembali kehidupan mereka dengan kebanggaan," kata Byanyima dalam keterangan tertulis, Kamis 18 Desember 2014.

Dalam rentang 2004-2009, Oxfam dan para mitranya telah menolong sekitar 2,5 juta orang. Oxfam membangun tempat perlindungan, menyediakan selimut, air bersih kepada lebih dari 40 ribu orang segera setelah bencana tsunami Aceh terjadi. Oxfam dan mitranya juga membangun sekitar 11.000 sumur dan sistem pengairan kota untuk 10 ribu penduduk di Aceh yang hingga kini masih berjalan dikelola oleh relawan setempat. (Oxfam/Suzi O Keefe/Kredit Foto: Jim Holmes/Ans)

Baca juga:

Ketika Korban Tsunami Aceh Mendadak Jadi Insinyur Air
Kisah Kakak Beradik Selamat dari Terjangan Tsunami Aceh

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya