Peristiwa Rengasdengklok, Konflik Dua Generasi Jelang Proklamasi

Buat Sukarno dan Hatta, kemerdekaan tak bisa diumumkan secara sepihak. Mesti melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

oleh Yus Ariyanto diperbarui 15 Agu 2015, 16:54 WIB
Diterbitkan 15 Agu 2015, 16:54 WIB
Ilustrasi Soekarno Hatta dan rumah di Rengasdengklok
Sukarno, Hatta, dan rumah tempat mereka "diamankan" di Rengasdengklok

Liputan6.com, Jakarta - Iding tengah makan sahur saat perintah datang. Prajurit Pembela Tanah Air (PETA) itu diperintahkan menyiapkan truk. Tak diberi tahu keperluannya, Iding hanya diminta menuju Jatinegara.

Ia berangkat dari baraknya di Jalan Jaga Monyet, dekat Harmoni, Jakarta. Jalanan lengang. Di kepala Iding berkecamuk rasa penasaran.

Di sekitar Jatinegara, sudah menunggu 2 mobil. Iding kaget karena penumpang mobil itu adalah Sukarno, Mohammad Hatta, istri Sukarno, Fatmawati, dan Guntur Soekarnoputra yang baru berusia 9 bulan. Mereka pindah kendaraan, masuk ke truk yang dikendarai Iding.

Iding diminta membawa truk ke Rengasdengklok. Perjalanan yang tak nyaman karena jalan penuh lubang. "Saya tidak tega melihat Ibu Fatmawati dan bayinya yang digendong terguncang-guncang," tutur Iding seperti dikutip Her Suganda dalam Peristiwa Rengasdengklok.

Lewat tengah malam, Kamis 16 Agustus 1945, Sejumlah pemuda memutuskan membawa Sukarno dan Hatta menuju Rengasdengklok, sekitar 80 kilometer di timur Jakarta.

Beberapa jam sebelumnya, di beranda rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur No 56, ketegangan meledak di antara mereka. Para pemuda menginginkan Sukarno dan Hatta segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Dua tokoh terpenting dalam gerakan nasionalis tersebut menolak. Saat itu desas-desus kekalahan Jepang dari Sekutu dalam Perang Dunia ke-II telah santer terdengar. Belum ada pernyataan resmi soal kekalahan itu.

Buat Sukarno dan Hatta, kemerdekaan tak bisa diumumkan secara sepihak. Mesti melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang sudah bekerja sejak 7 Agustus 1945. Sukarno adalah Ketua PPKI, sementara Hatta merupakan wakilnya.

Dalam Sekitar Proklamasi, Hatta mengenang, "...Proklamasi Indonesia Merdeka harus ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, karena badan itu anggotanya datang dari berbagai penjuru Indonesia dan dianggap mewakili seluruh Indonesia. Esok hari, PPKI menjadwalkan rapat pada pukul 10.00."

Di puncak perdebatan, salah seorang pemuda, Wikana berkata, "Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman Kemerdekaan itu malam ini juga, besok akan terjadi pembunuhan dan penumpahan darah."

Mendengar kata-kata Wikana, Sukarno naik pitam. Ia menuju Wikana sambil menunjukkan lehernya dan berujar, "Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, sudahi nyawa saya malam ini, jangan menunggu sampai besok."

Wikana kaget. Lantas ia berkata, seperti dikutip Hatta, "Maksud kami bukan membunuh Bung, melainkan kami mau memperingatkan, apabila kemerdekaan Indonesia tidak dinyatakan malam ini juga, besok rakyat kita akan bertindak dan membunuhi orang-orang yang dicurigai, yang dianggap pro Belanda, seperti orang-orang Ambon dan lain-lain."

Menjemput Sebelum Sahur


Suasana panas. Hatta mengusulkan supaya ada rehat 15 menit. Tapi tak ada perubahan sikap di masing-masing pihak. Tak ada titik temu. Sukarno masuk ke dalam rumah, yang lain pulang ke rumah masing-masing.

Sepulang dari rumah Sukarno, para pemuda berkumpul di Jalan Cikini 71. Mereka membahas penolakan Sukarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan.

Kemudian diputuskan bahwa kemerdekaan harus dinyatakan sendiri oleh rakyat, jangan menunggu kemerdekaan sebagai hadiah. “Putusan terhadap Bung Karno-Hatta,  mereka harus dibawa menyingkir keluar kota, di daerah di mana rakyat dan tentara (PETA) siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang timbul jika proklamasi sudah dinyatakan," catat Adam Malik dalam Riwayat Proklamasi Agustus 1945.

Dalam anggapan pemuda, jika Sukarno-Hatta masih di Jakarta, mungkin mereka digunakan Jepang untuk menghalangi pernyataan kemerdekaan.

Beberapa jam kemudian, mendekati waktu makan sahur, beberapa pemuda mendatangi rumah Hatta. Seorang tokoh pemuda, Sukarni, mengatakan, karena Sukarno tidak mau memproklamasikan kemerdekaan tadi malam, para pemuda akan bertindak sendiri. Menjelang tengah hari, 15 ribu rakyat akan menyerbu kota dibantu para mahasiswa dan anggota PETA. Mereka mau melucuti serdadu Jepang.

"Lalu, Bung Karno dan Bung Hatta kami bawa ke Rengasdengklok untuk meneruskan pimpinan Republik Indonesia dari sana," kata Sukarni seperti dikutip Hatta.

Saat itu Hatta coba meyakinkan Sukarni bahwa yang direncanakan para pemuda itu fantasi belaka dan akan terbentur pada realitas. Kendati sudah menyerah, tentara Jepang di Jawa masih utuh. “Dengan menyerang kekuatan Jepang di Jakarta, saudara-saudara bukan melaksanakan revolusi, tapi melakukan putsch yang akan membunuh revolusi yang akan dimulai,” kata Hatta.

Sukarni menjawab, "Ini sudah menjadi keputusan kami semua dan tidak dapat dipersoalkan lagi. Bung ikut saja bersama Bung Karno, pergi ke Rengasdengklok."

Hatta mengaku, saat itu, di matanya sudah tergambar kehancuran cita-cita menegakkan Indonesia Merdeka. Apa jadinya dengan anggota PPKI lain yang sudah diundang rapat pada pukul 10.00 nanti?

Setelah meninggalkan pesan pada adik dan dua kemenakannya, Hatta pergi. Ia masuk ke sedan yang membawanya ke rumah Sukarno. Bersama Fatmawati dan Guntur, Sukarno telah siap berangkat ketika Hatta tiba.

Di sebuah persimpangan, rombongan berhenti. Hatta dan Sukarno bersama keluarga diminta pindah ke sebuah truk yang disopiri Iding. Alasan para pemuda, sedan terlalu besar untuk melewati jalan menuju tujuan akhir. Setelah beberapa saat, Hatta mafhum, ini siasat Sukarni cs supaya supir sedan itu tak tahu ke mana Hatta dan Sukarno dibawa.
    
Sesampai di Rengasdengklok, Hatta dan Sukarno dibawa ke sebuah asrama PETA. Mereka masuk ke sebuah ruangan berlantai papan, tanpa meja dan kursi. Hanya ada tikar pandan. Rupanya ini ruang tidur para prajurit PETA.

Setelah satu jam di sana, Hatta dan Sukarno diberitahu bahwa ada sebuah rumah milik seorang tuan tanah Tionghoa, Djiaw Kie Song, yang dikosongkan untuk mereka. Hatta, Sukarno, Fatmawati, dan Guntur pindah ke rumah yang dimaksud.

Waktu berjalan. Hatta ingat, kerja mereka saat itu hanya bergantian mengasuh dan memangku Guntur. Bocah tersebut ingin minum susu namun kaleng susu terbawa sedan yang kembali ke Jakarta. Lupa memasukkannya ke truk. Dalam versi Fatmawati dan Sukarno, susu memang sudah tidak tak terbawa sejak Jakarta.

Ketika Hatta memangku Guntur, terjadi hal tak disangka. Guntur kencing. Hatta segera menurunkan Guntur ke lantai tapi tak urung celananya basah juga. "Maka celana yang basah sebagian itu terpaksa dipakai terus sampai kering dengan sendirinya. Cuma dengan celana itu saya tidak dapat mengerjakan sembahyang," kenang Hatta.

Sekitar pukul 12.30, Hatta meminta pemuda yang berjaga di muka pintu untuk memanggil Sukarni. "Siapa itu, Tuan?" kata pemuda itu.

"Dia itu salah seorang pemuda yang mengantarkan kami ke rumah ini," terang Hatta.

Tak lama berselang, ia kembali dengan Sukarni yang langsung bertanya, “Ada apa, Bung?”

"Sukarni, revolusi yang akan mulai pukul 12 siang hari sudah dimulai? Apakah 15 ribu rakyat itu sudah masuk ke kota?"

"Saya belum dapat kabar soal itu, Bung."

"Kalau demikian, ada baiknya kau menelepon teman di kota, untuk memastikan hal itu."

Dijemput Subardjo

Sekitar satu jam kemudian,  Sukarni kembali. Ia bilang tetap belum mendapat kabar. Jakarta pun tak mengirim kabar.

Hatta segera menekan, “Jika begitu, revolusi sudah gagal. Buat apa kami di sini bila di Jakarta tidak terjadi apa-apa?!”

Sukarni menampik anggapan itu. Ia lalu pergi.

Guntur sudah tenang. Seorang pemuda datang membawakan susu untuknya. Tiga orang dewasa itu hanya duduk bercakap-cakap. Hatta merasa waktu merambat sangat pelan.


DI JAKARTA, KAMIS 16 AGUSTUS sekitar pukul 08.00,  Soediro "Mbah" muncul di rumah bosnya, Ahmad Subardjo, di Jalan Cikini Raya No 82. Dengan gugup, staf pribadi Subardjo itu melapor, "Mereka telah menculik keduanya."

Subardjo adalah anggota, sekaligus penasihat, PPKI. Dia dekat dengan Laksmana Muda Tadashi Maeda, perwira penghubung Angkatan Laut Jepang di Jakarta. Kelak, ia menjadi menteri luar negeri pertama Indonesia.

"Keduanya siapa?" kata Soebardjo seperti dituliskannya kembali dalam buku Lahirnja Republik Indonesia.

"Sukarno dan Hatta."

"Ke mana mereka pergi?"

"Saya tidak tahu. Mereka sekarang sedang mengadakan rapat di kantor kita di Prapatan dan Wikana ada di antara mereka. Mereka tidak mau memberitahukan di mana kedua pemimpin itu disimpan."

Sempat melaporkan hal ini ke Maeda, Subardjo menuju kantornya di Jalan Prapatan No 59 untuk menemui Wikana, yang juga salah seorang stafnya. “Apa yang telah kamu perbuat terhadap Sukarno dan Hatta?” ujar Subardjo.

"Hal itu merupakan keputusan kami dalam pertemuan semalam. Untuk keselamatan mereka, kami membawa ke sebuah tempat di luar Jakarta," kata Wikana.

"Apakah akibat dari tindakan tersebut telah kamu pikirkan?"

"Putusan itu bukan keputusan pribadi saya tapi merupakan keputusan dari semua golongan pemuda. Tugas saya adalah membujuk Sukarno untuk memproklamasikan kemerdekaan pada malam kemarin dan kembali melaporkan."

Subardjo mendesak Wikana untuk membocorkan tempat Sukarno dan Hatta dibawa. Wikana gamang. Ia lalu bilang akan merundingkan hal itu dulu dengan teman-temannya. Wikana pergi.

Beberapa waktu kemudian, Wikana datang kembali bersama Pandu Kartawiguna, pemuda yang bekerja di kantor berita Jepang Domei.

“Nah, apa keputusannya?” cecar Subardjo.

Pandu menjawab, "Kami tidak dapat mengatakan kepada Bung karena kami pun tidak tahu tempatnya.  Teman-teman PETA yang tahu. Mereka bahkan tidak mau mengambil risiko dengan memberi tahu kami. Kita semua sedang menunggu seseorang yang akan membawa kabar tentang itu."

Setelah alot bernegosiasi, Subardjo akhirnya diberitahu bahwa Sukarno dan Hatta ada di Rengasdengklok. Ia berangkat menjelang sore untuk menjemput.

Tak ada penolakan dari pihak pemuda, terutama setelah Subardjo menyampaikan kabar bahwa Jepang telah resmi menyerah dari Sekutu.

Pada Kamis 16 Agustus sekitar pukul 21.00, Sukarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Bayang-bayang kemerdekaan kian jelas terlihat. (Yus)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya