Liputan6.com, Jakarta - Jakarta mencekam. Ribuan pengemudi angkutan umum turun ke jalan menuntut angkutan berbasis aplikasi online ditutup. Jalan utama Ibu Kota seperti Jalan Gatot Subroto, Sudirman dan Thamrin nyaris lumpuh dipenuhi massa pengunjuk rasa.
Hari semakin siang, udara panas, massa makin beringas. Pengemudi yang memadati Jalan Gatot Subroto mulai memasuki jalan tol dalam kota. Mereka menyerang sesama pengemudi taksi yang tetap beroperasi.
Kekhawatiran bentrokan makin meluas terbukti benar. Dipicu saling ejek, ratusan sopir taksi menyerang sekelompok pengemudi ojek di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Tidak mau kalah, pengemudi ojek melawan dengan melemparkan batu.
Advertisement
Baca Juga
Penolakan terhadap angkutan berbasis aplikasi bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lainnya. Sopir taksi konvensional di Paris, Prancis membuat ricuh lalu lintas dengan membalikkan taksi online. Pengguna kendaraan terpaksa berjalan kaki menuju bandara.
Di London, Inggris taksi konvensional memblokade jalan utama. Mereka sengaja parkir di tengah jalan memprotes kehadiran taksi online.
Selain Inggris dan Prancis, ada 14 negara lain yang menolak angkutan online. Di Eropa ada Jerman, Belgia, Belanda dan Spanyol. Penolakan juga terjadi di Amerika Serikat dan Kanada. Di Asia, Korea Selatan, Jepang, India, Filipina, Taiwan dan Thailand. Protes serupa terjadi di Australia.
Pengelola angkutan konvensional memang pantas kecewa. Mereka sudah mengikuti berbagai regulasi yang ditetapkan pemerintah, termasuk soal tarif. Akibatnya tarif angkutan konvensional lebih mahal dari taksi berbasis aplikasi. Mereka juga harus memiliki izin operasional, uji KIR serta menggunakan pelat kuning dan membayar pajak.
Sebaliknya, angkutan berbasis aplikasi tidak memiliki izin, tidak uji KIR serta menggunakan pelat hitam dan tidak membayar pajak kendaraan umum.
Tarif dasar dan per-km taksi reguler versus online memang jauh berbeda. Tarif dasar taksi reguler lebih mahal 2 kali lipat lebih dari taksi online. Tarif per-kilometer hampir 2 kali lipat mahalnya.
Pemerintah mengakui kalau angkutan berbasis aplikasi ilegal karena tidak mengikuti regulasi sebagai angkutan umum. Tetapi pemerintah juga tidak mungkin menghentikan begitu saja angkutan online yang sudah beroperasi.
Uber dan Grab yang memposisikan diri sebagai perusahaan penyedia aplikasi mengaku akan mengikuti arahan pemerintah agar mitra mereka para pengemudi bergabung dalam wadah berbadan hukum. Mitra Grab membentuk koperasi dan tergabung dalam Perhimpunan Pengendara Rental Indonesia (PPRI).
Sudah semestinya operator angkutan online menyelesaikan segala kewajiban hukumnya sesuai aturan main di Indonesia. Sehingga, tercipta persaingan yang adil.
Sementara angkutan umum konvensional juga harus bergegas bebenah, menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi untuk memberikan pelayanan terbaik bagi konsumen. Seperti kata pepatah, konsumen adalah raja.
Saksikan selengkapnya dalam Barometer Pekan Ini yang ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, Sabtu (26/3/2016) berikut ini.